Kamis, 03 Desember 2009

Kearifan Pada Alam

Bencana gempa di berbagai daerah yang sudah dan masih mengintai, ancaman banjir, dan fenomena perubahan iklim global memberikan pemahaman bahwa alam tidak bisa dikuasai. Alam harus menjadi mitra dan sahabat dalam menjalankan perintah Tuhan di bumi ini.
Tentunya ini bertentangan dengan konsep kosmologi sains modern yang memahami alam hanya sebagai obyek. Obyek untuk diteliti, dieksploitasi bahkan dihancurkan. Itu lah paradigma Cartesianisme, yang menganut logika oposisi biner, subjek-objek, hitam-putih.
Akibatnya, alam rusak oleh keserakahan manusia. Atasnama keuntungan ekonomi, sumberdaya alam dieksploitasi. Iklim terus berubah, bencana alam terjadi dimana-mana. Bukan alamnya yang marah, tapi manusia berada di posisi yang bertentangan dengan aturan alam yang sudah ada semenjak alam ini diciptakan (hukum alam). Jangan marah jika banjir, karena hutan dirusak dan pembangunan perumahan tidak memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan.
Lihatlah di Jawa Barat, betapa banyak hutan yang rusak. Bandung yang dulu dikenal sejuk, kini sudah mulai terasa panas. Padahal, dulu Bandung disebut Paris Van Java. Kota dimana para inohong Belanda berwisata, menikmati keindahan alam Bandung yang sejuk, segar, sehat dan tentunya membuat betah untuk tinggal.
Kini, kalau kita perhatikan wilayah utara Bandung, pembangunan perumahan yang serampangan membuat daerah resapan air itu pun rusak. Tangkuban Perahu pun mau dimanfaatkan, tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan. Lihat juga sungai yang mengalir di Jawa Barat. Bisa dihitung jari, sungai yang masih bersih. Limbah pabrik dan rumah tangga yang tidak dikelola, telah merusak ekosistem alam. Maka, jangan marah jika bencana siap mengintai setiap saat.

Kearifan lokal
Manusia modern telah melupakan nilai hidup yang telah lama diajarkan nenek moyang. Nilai hidup itu bernama kearifan lokal. Pada level diskursus filsafat, kearifan lokal adalah salah satu model filsafat abadi (perennial). Disebut filsafat perennial, karena konsep dasarnya sudah ada semenjak manusia berfilsafat. Sementara, saat ini karena dominasi filsafat modern yang melupakan nilai-nilai tradisional, keberadaannya menjadi kurang mendapatkan perhatian. Saatnya manusia menyadari bahwa paradigma sains modern yang materialistik sudah tidak bisa menjawab persoalan.
Dalam konsep filsafat perennial, alam dan manusia dipahami sebagai makro dan mikro kosmos. Keduanya memiliki akar yang sama, produk kreatif Tuhan. Karena berasal dari Tuhan, maka tak ada yang berhak merusak satu sama lain. Makro dan mikro hanya soal peran saja. Keduanya harus saling menjaga, melindungi dan membangun harmonisasi. Merusaknya berarti mengingkari hakikat awal penciptaan. Makro dan mikro harus saling melengkapi. Namun karena manusia diberi kewenangan untuk mengelola alam, yang dibolehkan adalah memanfaatkan dan tetap menjaga keberlangsungannya.
Wacana soal hubungan makro dan mikro kosmos menjadi perhatian para intelektual dunia dewasa ini. Agama dan nilai tradisional yang semula dipinggirkan oleh sains modern, kini mulai mendapatkan tempat dan ikut mewarnai. Muncul lah berbagai upaya mencari titik temu antara sains, agama dan nilai tradisional masyarakat.
Dalam level yang praktis, mengakar dari semenjak nenek moyang, kearifan lokal jangan dipandang sebelah mata. Dalam konteks keseimbangan alam, kearifan lokal yang berkembang mengajarkan arti penting menjaga alam. Konsep hutan larangan dan berbagai adat istiadat di masyarakat banyak memberikan informasi kepada kita bahwa alam itu diyakini harus dijaga sepenuhnya. Konsep huluwotan (sumber mata air), tempatnya jin atau makhluk ghaib lainnya adalah strategi pencegahan cerdas yang dilakukan oleh nenek moyang kita. Tapi kini, manusia lebih jahat dibanding jin, sehingga tidak takut dengan berbagai pamali (larangan dalam masyarakat Sunda), akibatnya alam pun dirusak.
Misalnya dalam tradisi Sunda, ada pepatah yang menyatakan mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (memetik itu harusnya yang perlu dipetik saja, mengambil harus memberitahu). Pepatah ini bukan hanya soal jangan mencuri kepada pemiliknya, tapi harus memperhatikan alam. Bukan hanya kepada pemiliknya, manusia. Tapi juga kepada pencipta awalnya, yaitu Tuhan. Jadi, ketika memanfaatkan alam, tanaman atau pun sumberdaya alam, harus diperhatikan keseimbangan ekologis, kelanjutannya (jangan mengambil yang masih kecil atau yang baru tumbuh), dan kelestariannya.
Secara global, soal ini menjadi isu perubahan iklim global (climate change). Kondisi dimana dunia ini sudah mulai rusak akibat rusaknya lingkungan. Hutan rusak oleh industri kertas yang serakah, laut rusak oleh sampah dan limbah nuklir, sungai dan air semakin rusak karena dimanfaatkan tanpa diperhatikan keseimbangannya.

Pendosa Besar
Sudah saatnya, kembali memperhatikan nilai agama dan kearifan lokal sebagai prinsip kearifan kepada alam. Ada beberapa prinsip kearifan kepada alam yang bisa dirumuskan.
Pertama, dalam konsep pembangunan, bukan alam yang menyesuaikan dengan kehendak manusia, tapi manusia lah yang harus menyesuaikan dirinya dengan alam. Alam diciptakan oleh Tuhan dengan prinsip kausalitas, qadha dan qodarnya. Alam diciptakan Tuhan berikut potensinya.
Pembangunan tak boleh merusak alam. Jika memperhatikan prinsip awal kearifan kepada alam, tidak ada istilah pembangunan pemukiman dan kota di wilayah rawan gempa. Demikian juga, desain bangunan yang dibuat, tentunya akan menyesuaikan dengan potensi gempa. Bangsa Jepang terbukti mampu membuat model bangunan yang tahan gempa. Masyarakat kampung Naga, di Tasikmalaya terbukti memiliki kecerdasan lokal dalam memahami bencana gempa.
Prinsip berikutnya adalah, alam tidak pernah menghancurkan manusia, tapi manusialah yang merusak alam. Karena itu, sebaiknya dikembangkan sikap peduli terhadap alam di seluruh lapisan masyarakat. Perusak alam, dalam perspektif teologi kearifan kosmologis adalah pendosa besar. Iman kepada qadha dan qadar salah satu pembuktian imannya adalah dengan tidak merusak alam.
Prinsip ketiga dalam konsep kearifan alam adalah bahwa makro dan mikro kosmos, yaitu lingkungan, tumbuhan, hewan, dan manusia harus harmonis dalam satu kesatuan. Sebagai sebuah siklus kehidupan, semuanya pada hakekatnya tetap. Menggunakan teori efek kupu-kupu, alam ini adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Membunuh seekor ulat di belah bumi barat, akan merusak ekosistem belahan bumi lain.
Alam kita telah rusak, jangan terus menambah kerusakan. Kini, bukan hanya soal kita, tapi generasi anak cucu ke depan. Haruskah kita mewariskan kerusakan?







Selesaikan Bacanya!......

Selasa, 17 November 2009

Kuasa dan Kebenaran Dalam Wacana Cicak Lawan Buaya

Teater politik dan hukum Indonesia masih didominasi episode cicak melawan buaya. Siapa yang menang dan kalah, endingnya belum dapat diketahui. Demikian juga, siapa yang terlibat, yang menjadi dalang, yang menjadi martir atau dikorbankan, publik belum bisa menyimpulkan.

Namun, di tengah ramainya pentas teater itu, para facebooker membuat kejutan dengan memberikan dukungan atas pembebasan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Suatu dukungan yang hingga tulisan ini dibuat, jumlahnya sudah 1,2 juta lebih. Untuk sementara, pemenang dari teater cicak lawan buaya adalah facebooker itu sendiri.
Dari berbagai ulasan yang dibuat terkait soal cicak lawan buaya, suatu wacana yang diproduksi oleh Polri dan diralat oleh Kapolri, penulis melihat ada yang luput dari perhatian, yaitu keterkaitan antara kuasa, wacana dan produksi kebenaran. Suatu fakta baru, bangkitnya kekuatan sipil yang dalam ekspresi politiknya menggunakan media facebook.
Bentuk keterbukaan informasi dan pandangan politik masyarakat yang terbuka dan bebas. Terbuka dan bebas karena tidak adanya aturan main (rule of games) yang bisa diatur dan dicurangi oleh kelompok kepentingan tertentu. Setiap orang dapat menyampaikan idenya dan tak ada satu institusipun yang berhak untuk menutupnya. Facebooker merdeka kepada dan untuk dirinya sendiri. Jika media massa masih bisa dikangkangi oleh kepentingan pemilik modal, maka facebooker tak dapat disumbat. Karena jika pun disumbat, ada media lain yang bisa dijadikan media seperti twitter dan yang lainnya.

Kuasa
Michel Foucault, salah satu filosof Prancis terkemuka menyatakan, saat ini, kuasa bukan lah milik seseorang, seperti raja atau pejabat, tapi strategi. Kuasa dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami berbagai pergeseran.
Kita bisa melihat dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan dan sistem-sistem regulasi. Itu lah bentuk kuasa dan di situ kuasa sedang berkerja. Kekuasaaan selalu terakumulasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa memproduksi realitas, memproduksi lingkup-lingkup, objek-objek dan ritus-ritus kebenaran. Menghukum dan membentuk publik lewat opini. Publik tidak dikontrol menurut kekuasan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat wacana
Kuasa dalam pentas teater cicak lawan buaya diproduksi oleh facebooker dan media massa baik cetak dan elektronik yang secara masif memberitakan perkembangan kasus tersebut. Facebooker memperteguh kuasanya dengan melipatgandakan jumlah pendukung. Suatu pembuktian atas tesis yang menyatakan media massa sebagai salah satu pilar demokrasi di tengah mandulnya gerakan politik di parlemen. Hal ini juga menunjukkan bahwa civil society (masyarakat sipil) terus melakukan edukasi dan pencerdasan atas dirinya. Suatu fakta menggembirakan sekaligus ironi. Menggembirakan karena publik menunjukkan dirinya sudah tidak bisa dibodohi lagi. Di sisi lain, menjadi ironi karena diam-diam telah terjadi delegitimasi dan semakin melemahnya kepercayaan publik kepada aparat hukum.
Presiden, Mahkamah Konstitusi (MK), KPK, Kepolisian, Tim 8 dan Kejaksaan hanyalah salah satu produsen kuasa yang terbukti tak berkutik menghadapi dominasi facebooker yang kekuatannya terus membesar di setiap menit seiring semakin banyaknya yang bergabung.

Wacana
Menurut Foucault, setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu menimbulkan efek kuasa.
Produksi wacana berkait bagaimana terbentuknya bangunan wacana. Produksi wacana selalu berkaitan dengan realitas. Realitas tidak bisa didefinisikan jika tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar. Wacana membentuk dan mengkonstruksi peristiwa tertentu dan gabungan dari peistiwa tersebut ke dalam narasi yang dapat dikenali dalam kebudayaan tertentu.
Dalam teater cicak lawan buaya, wacana yang diproduksi kepolisian dikalahkan dengan telak oleh wacana yang dibangun media massa dan facebooker. Suatu realitas yang tidak terbantah sebagai salah satu bentuk demokratisasi dan menguatkan kekuatan sipil (civil society). Facebooker telah menjadi wacana dominan, mainstream dari wacana cicak lawan buaya. Wacana yang dibangun oleh selain itu tenggelam tak terdengar. Terciptalah wacana, Kepolisian dan Anggodo salah. Sementara, Bibit dan Chandra tertindas, benar dan harus dibela. Kepolisian pun dihakimi dan KPK pun dibela. Walau tentu faktanya belum tentu demikian. Semuanya masih mungkin terjadi, hanya Tuhan dan pelakunya yang tahu. Namun, wacana yang terbentuk telah memberikan kesimpulan bahwa Bibit dan Chandra tidak menerima suap dan KPK harus dibela. Di tengah carutmarutnya sistem hukum di Indonesia, gerakan facebooker tersebut seperti oase yang membuat dahaga akan keadilan dan kebenaran sejenak terpuaskan. Karena lembaga hukum yang seharusnya memproduksi keadilan dan kebenaran terbukti telah dikangkangi oleh segelintir manusia serakah yang kemaruk dengan harta.

Produksi Kebenaran
Kuasa menjamin perbedaaan antara benar dan tidak benar. Ada berbagai prosedur untuk memperoleh dan menebarkan kebenaran. Dukungan 1,2 juta lebih facebooker adalah prosedur untuk memperoleh dan menebarkan kebenaran tersebut.
Prosedur dan model penebaran kebenaran tersebut harus dilihat sebagai bentuk baru yang bisa jadi akan menjadi strategi berbagai kelompok kepentingan di masa yang akan datang.
Memang hanya sekian persen dari total penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta. Tapi itu semua merupakan ekspresi politik kelas menengah. Ingatlah, perubahan sosial politik baik dalam bentuk reformasi maupun revolusi dilakukan oleh kelas menengah. Suatu produksi kebenaran yang akan memiliki dampak sosial politik dan ekonomi.
Jika dukungan tersebut adalah bentuk kekecewaan publik atas penegakkan hukum, akan melahirkan ketidakpercayaan publik baik di dalam maupun luar negeri. Jelas, berdampak kepada investasi di satu sisi. Di sisi lain, bisa berdampak kepada meningkatnya kebrutalan masyarakat dalam menyelesaikan perkara hukum karena tidak adanya institusi yang diyakini dapat memberikan keadilan. Karena itu, kita berharap rekomendasi Tim 8 akan memberikan masukan yang tepat kepada Presiden sehingga dapat mengambil langkah tepat dan cepat untuk mengakhiri kemelut hukum ini.
Terlepas dari fakta dan data yang nantinya akan diungkap oleh Tim 8, kini, produksi kebenaran telah diambilalih oleh dunia maya, facebook. Suatu bentuk baru dari produksi kebenaran yang menghakimi sistem pengadilan kita karena selama ini dituding hanya menjadi bahan permainan para mafioso pengadilan.
Facebooker telah menyatukan visinya untuk menjadikan Indonesia yang berkeadilan secara hukum. Suatu bentuk pengambilalihan peran yang tragis, karena seharusnya peran ini dilakukan oleh aparat hukum.
Sebegitu parahkah sistem hukum Indonesia, facebooker telah menghakimi dan memutuskannya. Kini kembali kepada Presiden, sejauhmana upayanya yang tegas dan adil dalam menyelesaikan kemelut ini. Atau, bisa jadi gerakan facebooker berubah menjadi gerakan mendelegitimasi kekuasaan yang sedang menyemai kinerja 100 hari pertama. Jangan sampai ini terjadi, karena pertumpahan darah mungkin terjadi dan bangsa ini kembali mundur ke pusaran sejarah konflik yang membuat bangsa ini lambat bangkit. Ini lah tantangan KIB II untuk “memproduksi kebenaran rasa publik” dan sesuai rasa keadilan publik.




Selesaikan Bacanya!......

Kemana Idealnya Arah Pendidikan Islam?

Jika Aa Nafis menulis novel runtuhnya surau kami, maka jika kita mau jujur, saat ini ‘lampu kuning’ pendidikan tengah menyala, karena bisa jadi runtuhnya madrasah (baca: lembaga pendidikan) akan terjadi.


BANYAK contoh yang menggambarkan keruntuhan madrasah itu tengah terus terjadi. Bicara kualitas, belum banyak keluarga atau pun lembaga pendidikan Islam yang memiliki kualitas tinggi, hanya bisa dihitung jari. Bahkan, tak sedikit, lembaga pendidikan yang harus gulung tikar, atas sekedar ada saja.

Akibatnya, produk pendidikan Islam dinilai gagal menghadapi realitas sejarah. Tantangan zaman yang menuntut kesanggupan mental, skill dan keterampilan yang mumpuni belum sepenuhnya bisa dihadapi. Bukan sekedar kecerdasan intelektual dan keterampilan, tapi juga kecerdasan emosional dan spiritual harus dimiliki produk pendidikan Islam.

Celakanya lagi, terdapat pemahaman keliru, bahwa pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada lembaga pendidikan formal dan informal. Padahal pengertian lembaga pendidikan Islam termasuk di dalamnya adalah keluarga. Justru keluarga itu lah sebagai tempat inti terjadinya proses pendidikan setiap saat. Bahkan, pendidikan itu sudah dimulai semenjak sang ibu membangun komunikasi penuh cinta dengan sang bayi yang masih di kandungan.

Memang, masih ada keluarga yang menjadi basis pendidikan Islam. Sudah banyak juga lembaga pendidikan Islam seperti pesantren yang melakukan transformasi diri. Namun jumlahnya belum banyak dibanding kebutuhan. Karena jika dilakukan perbandingan, jumlah umat Islam tidak sebanding dengan jumlah lembaga pendidikan Islam berkualitas.

Jika demikian, kemana idealnya arah pendidikan Islam? Sebuah pertanyaan yang menggugat sekaligus mengingatkan kepada kita semua sebagai stakeholder pendidikan Islam, tentang pentingnya merumuskan kembali konsep pendidikan Islam dengan basis epistemologi yang cocok, ideal.

Dalam seminar internasional bertajuk Epistemologi Dalam Perspektif Islam; Teori dan Aplikasinya Dalam Institusi Pendidikan Tinggi, yang diselenggarakan UIN Bandung, 13 November 2009. Sebagai pembicara, hadir Osman Bakar, Deputy CEO, International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia; Ahmad Tafsir, Ketua Program Doktor Pendidikan Islam UIN Bandung dan Nanat Fatah Natsir, Rektor UIN Bandung.

Disimpulkan bahwa peradaban dibangun oleh epistemologi. Praktik epistemologi salah satunya ada dalam pendidikan, lebih praktis lagi ada dalam kurikulum. Dalam praktik nyatanya, orang tua, guru dan dosen menjadi pelaku, mediator dari basis epistemologi tersebut. Pendidikan adalah model transformasi nilai, epistemologi dan pengetahuan antar generasi. Pendidikan adalah sistem keadaban yang ada semenjak manusia ada, diciptakan. Modelnya dari pendidikan sederhana sampai yang sifatnya bertingkat. Akarnya adalah epistemologi.

Namun, soal ini, rupanya sebagian besar pelaku pendidikan banyak yang tidak menyadari atau mungkin tidak memahami. Akibatnya, produk pendidikan Islam atau pendidikan Indonesia seperti kebingungan dan hanya bisa mengekor dengan konsep pendidikan yang basis epistemologinya berasal dari Barat. Terlebih, di lingkup keluarga, sebagai lembaga pendidikan inti, dominasi tayangan televisi telah menjadi guru baru yang menguasai kesadaran dan pengetahuan keluarga.

Osman Bakar, Ph.D dalam paparannya menyatakan semua kebudayaan dan agama, memiliki basis epistemologinya sendiri-sendiri. Karena itu, keliru jika dengan serta merta dan tanpa sikap kritis mengambil epistemoli dari peradaban Barat. “Tak mungkin kita memiliki epistemologi yang unggul tanpa memiliki kosmologi (pandangan dunia tentang alam) dan psikologi (pandangan dunia tentang manusia) yang komprehensif,” katanya.

Lebih lanjut, Osman menyatakan, kosmologi dan psikologi Islam dibangun dengan prinsip tauhid. “Kita bersedia untuk mengambil dari berbagai sumber, selama itu cocok dengan semangat tauhid yang menjadi konsep keimanan umat Islam,” tegasnya.

Pengetahuan dan kebenaran, lanjut Osman, sangat penting dalam prinsip epistemologi Islam. “Islam adalah agama pengetahuan. Ilmu pengetahuan menuntut kebenaran. Ilmu dan kebenaran adalah dua asmaulhusna yang penting,” ujarnya.

Nanat Fatah Natsir, Rektor UIN Bandung yang juga pembicara seminar tersebut menegaskan bahwa tidak perlu lagi ada dikotomi (pemisahan) antara ilmu agama dengan ilmu umum. Dengan prinsip dasar ini, semua ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam harus didasarkan juga pada nilai-nilai agama, tauhid. “Semua ilmu dikembangkan dari Sang Maha Pencipta, Allah Swt, baik dalam bentuk ayat qauliyah (al-Quran) dan ayat kauniyah (alam semesta). Mempelajari ilmu itu dalam rangka pengabdian diri sebagai khalifah dan abdi Allah di bumi ini,” tegasnya.

Dapat disimpulkan, basis epistemologi pendidikan Islam adalah tauhid. Dengan prinsip tauhid, tidak perlu lagi ada dikotomi antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada kepribadian yang terbelah dari produk pendidikan Indonesia .

Dalam praktiknya, seluruh lembaga pendidikan Islam, termasuk di dalamnya keluarga, harus merumuskan ulang model pendidikannya. Mulai dari merumuskan epistemologi, kurikulum, Satuan Acara Perkuliah/Pengajaran, dan bahan ajar. Dalam keluarga, sistem pendidikan keteladanan dan peran orang tua dalam mendidik anak sangat vital.

Mungkin rumit, namun harus dimulai dan dilakukan. Atau pendidikan Islam akan semakin dibanjiri oleh sistem yang keliru, memproduk manusia yang gagal. Akibatnya peradaban menjadi peradaban gagal. Seperti sesaknya hati kita melihat carutmarut hukum di negeri ini. Sebagaimana muaknya kita melihat korupsi yang terjadi dimana-mana. Sadar atau tidak, itu produk pendidikan yang keliru.

Seperti pohon, akarnya harus benar, disiram dan dipupuk yang tepat. Dengan demikian, tumbuhnya pun akan baik dan buahnya akan lebat dan bermanfaat. Demikianlah pohon pendidikan Islam harus tumbuh, bukan hanya di dalam lembaga pendidikan formal, resmi seperti pesantren, universitas, sekolah, tapi juga dalam keluarga.

Kini, kembali kepada diri kita semua. Haruskah pendidikan Islam yang ditopang oleh keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan harus semakin tenggelam oleh model pendidikan yang salahkaprah? Marilah memulai dari diri kita, saat ini, dan dari hal yang kecil. Selamatkan generasi muda dari kekeliruan pendidikan, karena masa depan umat ada ditangan kita. Jangan warisi mereka tradisi kebodohan.



Selesaikan Bacanya!......

Senin, 16 November 2009

Memberdayakan PKL

Apakah Pedagang Kaki Lima (PKL) tergolong dalam usaha mikro? Secara ekonomi tentu ia. Bahkan jumlahnya sangat signifikan. Tengoklah berbagai kota di Indonesia, ciri khasnya antara lain PKL. Di Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan seluruh kota, baik kota besar dan kecil di Indonesia dipenuhi oleh PKL. Bahkan di negara lain pun, seperti Thailand misalnya, demikian adanya.

Di Bandung misalnya, begitu banyak pusat jajanan pinggir jalan yang jika malam tiba dipadati oleh pengunjung. Bahkan jajanan pinggiran yang itu dilakukan oleh PKL merupakan bagian dari pariwisata, karena dinikmati oleh wisatawan yang berkunjung. Di Malioboro Yogyakarta juga, akan lebih asyik jika makan malam di pinggiran sambil menikmati suasana kota.
Dari sudut pandang filsafat ekonomi, PKL adalah antitesis dominasi korporatisme global yang mendominasi seluruh sudut kota dengan jaringan pertokoan ritel. Sebagai antitesis, PKL adalah manifestasi perlawanan dari si kecil melawan si besar. Perlawanan pemodal kecil dengan pemodal besar yang mampu membangun pusat pertokoan di berbagai lokasi strategis, tentu dengan biaya mahal.
Bagi konsumen, PKL adalah solusi pemenuhan kebutuhan di tengah harga-harga yang melambung tinggi. Konsumen dengan daya beli rendah akan cenderung memilih barang-barang dari PKL dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu saja, ada simbiosis mutualisma antara konsumen dengan PKL. Dengan demikian, pemerintah sebagai pelayan masyarakat, seharusnya bukan mengobrakabrik PKL, namun seharusnya memberdayakannya.
Dari sisi budaya, PKL adalah penyemarak kegairahan budaya, ekonomi dan pariwisata suatu kota. Bahkan bukan sekedar penyemarak, PKL adalah penanda (icon) suatu kegiatan perkumpulan, pesta dan kerumunan masa. Lihat saja, pasar tumpah yang terjadi diberbagai sudut kota di hari minggu, dimana masyarakat banyak yang melakukan aktivitas pagi di pusat keramaian tertentu. Di Bandung, itu terkonsentrasi di Gasibu dan tempat lainnya.
Bagaimana jika data dan sejarah ekonomi republik ini yang bicara? Harus diakui, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang di dalamnya ada PKL, sangat berperan dalam membangun pondasi perekonomian nasional. Selain menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1.505,3 triliun (30,3 persen), sektor usaha mikro juga mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 83.647.711 (89,3 persen). Pelaku usaha mikro di negeri kita mendominasi jenis usaha bangsa ini dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut pengelolaan database usaha mikro, kecil dan menengah, jumlah usaha mikro di Indonesia adalah sekitar 50,70 juta usaha atau 98,9 persen.
Coba kita bandingkan dengan usaha besar yang hanya berjumlah 43,7 ribu dan menyerap tenaga kerja 2,3 juta (2,9 persen). Meskipun sumbangan bagi PDB relatif besar, terlihat jelas UMKM lebih berperan bagi pemberdayaan masyarakat. Maka, untuk menciptakan kekuatan ekonomi bangsa ke depan, diperlukan transformasi atau upaya ekspansif dari pengusaha mikro untuk memajukan usahanya. Dalam bahasa lain, ekspansi dari jenis usaha mikro, kemudian menjadi usaha kecil sampai bertransformasi dalam bentuk/jenis usaha menengah.
Dari sisi regulasi, keberadaan PKL yang makin menjamur dan dinilai mengganggu ketertiban umum itu mencerminkan ketidakpastian aturan yang ditetapkan dan bermainnya oknum-oknum aparat yang menikmati jasa keamanan. Argumentasi ini lah yang dipergunakan aparat pemerintah untuk membubarkan PKL.
Jika dilihat dari sisi teologi, keberadaan PKL jika itu dinilai mengganggu ketertiban umum, tentunya tidak dibenarkan oleh ajaran agama sekalipun. Meski demikian, membubarkan dan mengejar-ngejar PKL di suatu lokasi, sementara di lokasi lain tidak dilakukan juga tentu bukan suatu kebijakan yang tepat. Terlebih jika pembubaran itu dimaksudkan untuk memuluskan kepentingan pemodal (investor) yang akan mendirikan pusat perbelanjaan, mengingat di lokasi tersebut telah terkonsentasi masa, jelas itu perbuatan yang tidak bermoral.
Di atas itu semua, sesungguhnya diperlukan kebijakan komprehensif dan berkelanjutan untuk menangani dan memberdayakan PKL. Argumentasinya jelas, landasan konstitusional pemberdayaan PKL diatur oleh kewajiban negara untuk memberikan penghidupan yang layak bagi warga negaranya.
Faktanya, pelaku usaha PKL adalah mereka yang secara ekonomi lemah. Menjadi PKL demi untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, bukan untuk memperkaya diri. Dengan demikian, keberadaan PKL harus dijaga dan diberdayakan.
Pemberdayaan itu dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, melakukan edukasi soal aturan hukum dan kesadaran keagamaan. Dalam konteks ini, jangan ada sikap rancu dan premanisme. Jika kebijakannya ambigu, disatu sisi dibubarkan, di sisi lain diminta setoran, maka selama itu PKL akan ada. PKL adalah wajah kebobrokan oknum aparat keamanan dan ketertiban negara.
Dalam edukasi dan pembinaan keagamaan, sebaiknya dilakukan kerjasama dengan organisasi keagamaan yang dekat dengan wilayah tersebut. Selain itu, PKL harus diorganisir. Kepentingan diorganisir adalah agar keanggotaannya terkontrol dan tidak terjadi hukum rimba. Selama ini, pengorganisasian itu lebih untuk kepentingan memungut retribusi dibandingkan pembinaan. Lebih lanjut, di setiap wilayah didirikan koperasi sebagai lembaga yang menaungi para anggota PKL yang telah diorganisir itu.
Kedua, bagi PKL yang lokasinya tidak mengganggu ketertiban umum, sebaiknya terus dibina dan diberdayakan untuk menjadi duta pariwisata. PKL yang dilokalisir di daerah tertentu, dengan keunikannya yang khas, akan bisa menjadi primadona pariwisata.
Ketiga, edukasi dan pembinaan sebaiknya diarahkan juga pada upaya untuk menaikkelaskan PKL. Keberadaan koperasi dan lembaga keuangan penting agar PKL yang omsetnya ratusan ribu naik kelas menjadi ratusan juta. Berbagai pelatihan bidang administrasi dan akses ke perbankan harus dilakukan.
Keempat, konsistensi pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pemda harus melihat PKL sebagai aset ekonomi yang mampu menggerakan ekonomi masyarakatnya lebih baik. Bukan sebaliknya, dipandang sebagai pengganggu ketertiban dan sumber retribusi semata. Pemda harus mengatur PKL di lokasi yang strategis dan memang selama ini banyak pembeli yang datang. Namun harus diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban. Komitmen itu harus dibangun oleh kelompok PKL yang diorganisir. Sehingga merekalah yang menjaga agar lokasi usahanya tetap tertib.
Selama ini, penolakan pemindahan yang dilakukan PKL karena lokasi yang ditawarkan selalu bermasalah. Ini soal moralitas kepemimpinan. Pemerintah harus berpihak kepada PKL.
PKL usianya sama dengan usia keberadaban manusia yang mulai mengenal pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Jadi, secara antropologis, PKL adalah kebudayaan ekonomi yang telah lama usianya dan penting bagi kehidupan manusia. Jika demikian, yang penting adalah memberdayakannya, bukan membubarkannya. Karena, PKL pun harus makan, punya anak dan istri yang tiada lain adalah anak bangsa yang harus hidup layak.


Tayang di Harian Kompas Edisi Jawa Barat, 17 November 2009





Selesaikan Bacanya!......

Kamis, 15 Oktober 2009

Derita Ekonomi Pertanian Kita

Oleh IU RUSLIANA

SELAIN bangsa pelaut, negeri ini terkenal dengan bangsa petani. Bertani atau bercocok tanam merupakan warisan nenek moyang yang telah berkembang sejak ratusan abad silam. Dari profesi tertua ini juga lahir falsafah hidup, kebudayaan, bahkan sistem kepercayaan yang unik dan sinkretik. Dengan demikian, ada yang menyebut Indonesia sebagai sebuah kiblat wilayah penelitian etnologi, antropologi, sosial-kemasyarakatan, dan budaya yang tak bakal pernah bosan diamati. Tak heran jika Pramoedya Ananta Toer, menyebut bangsa Indonesia sebagai anak segala bangsa.


Namun, kita terenyak kaget dengan kebijakan pemerintah yang memangkas subsidi pupuk bagi petani. Membaca "Tajuk Rencana" harian ini (Rabu, 30/9) anggaran subsidi yang semula Rp 17,5 triliun pada 2010 tinggal Rp 11,3 triliun tentunya akan menyebabkan petani kewalahan menghadapi kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk. Melihat realitas kebijakan pemerintah tersebut, kita mesti mempertanyakan janji anggota legislatif, presiden, dan wakilnya saat masa kampanye. Betulkah mereka sungguh-sungguh akan membela kepentingan rakyat miskin, yang notabene dihuni kaum petani?

Petani, sebagai penyumbang suara terbesar pemilihan umum, baik legislatif maupun presiden dan wakilnya, tidak begitu seksi menyita perhatian pemerintah. Akibatnya, kebijakan yang ditelurkan lebih berpihak pada "konglomerat berdasi" yang menjanjikan dari sisi ekonomi. Pemerintah pada Agustus meliris tujuh target pemulihan ekonomi, di antaranya menargetkan pertumbuhan ekonomi lima persen serta tumbuhnya pertanian, perikanan, dan kehutanan 3,6 persen.

Memperhatikan petani

Apabila pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi lima persen pada 2010, tentunya mesti memperhatikan perekonomian negara yang disumbang sektor pertanian. Dari sisi ekonomi dan kebudayaan, bercocok tanam merupakan profesi yang masih dilakukan mayoritas penduduk di Indonesia, khususnya, di Pulau Jawa. Tak heran jika dalam bahasa Arab, padi dikenal dengan sebutan "jawawut". Ini mengindikasikan sejak zaman dulu, negeri kita dihuni para petani yang mengekspor hasil panennya ke negeri luar. Kedatangan bangsa Portugis ke bumi nusantara juga karena alasan kekayaan rempah-rempah yang sangat dibutuhkan setiap manusia.

Selama manusia memiliki lidah dan perut, selama itu pula hasil pertanian akan dibutuhkan umat manusia yang hidup di belahan dunia. Ketika harga eceran tertinggi (HET) pupuk tidak bersubsidi atau tidak memenuhi kebutuhan petani (karena hilang di pasaran), selama itu pula kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat akan pangan. Jadi keniscayaan bagi pemerintah untuk memikirkan ulang pemangkasan subsidi bagi petani karena akan mengakibatkan bertambahnya tingkat kegelisahan rakyat yang berprofesi sebagai petani.

Kalau toh, pemerintah tidak dapat mengubah kebijakannya, menaikkan harga jual hasil pertanian juga merupakan solusi yang lahir dari niat untuk mengimbangi kebijakan pemangkasan tersebut. Namun, solusi ini juga tidak akan berimplikasi pada terjaminnya hak rakyat untuk dapat mengakses pangan secara mudah. Sebab, dalam beberapa kasus, banyak terjadi rakyat yang rela memakan nasi aking karena tidak mampu membeli beras yang mahal. Oleh karena itu, perlu kerja sama pihak terkait, pengusaha pupuk, bulog, dan departemen pertanian untuk melahirkan solusi yang dapat menyelesaikan masalah ekonomi pertanian kita.

Solusi kemiskinan

Menurut komite penanggulangan kemiskinan (2002), masyarakat miskin ditandai dengan ketidakmampuan dalam hal: 1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan (basic needs). 2) melakukan kegiatan produktif. 3) menjangkau akses sosial dan ekonomi (inaccessibility). 4) menentukan nasibnya sendiri, mempunyai rasa takut dan curiga, serta sikap apatis dan fatalistik (vulnerability). 5) membebaskan diri dari budaya miskin dan memiliki martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor).

Bangsa ini mestinya berkaca pada kesuksesan negara India, yang berhasil menekan angka kemiskinannya dari 40 persen pada 1990-an menjadi 26 persen pada awal abad ke-21 dan target 2015 tidak ada lagi penduduknya yang miskin. Hal ini dapat diraih karena negara tersebut memokuskan pada pengembangan pertanian dan perdesaan serta menciptakan lapangan kerja. Oleh karena itu, India mampu mengangkat harkat dan martabatnya. Pemangkasan subsidi pupuk tentunya akan memberatkan sektor pertanian sehingga tanam padi tahun ini akan dirasakan berat dan berimbas pada ekonomi pertanian masa mendatang.

Jadi, memberikan subsidi secara berimbang di sektor pertanian merupakan langkah cemerlang dalam mengangkat perekonomian Indonesia. Namun, melihat kebijakan pemangkasan subsidi petani kali ini mengindikasikan, pemerintah tidak begitu peduli dengan kesejahteraan petani yang di negeri ini menempati posisi pertama sebagai profesi yang banyak dijalani rakyat. Apakah benar seperti itu? Wallahualam.***

Penulis, dosen Fakultas Ushuludin UIN Bandung, mahasiswa Program S-2 Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia (UI).


Selesaikan Bacanya!......

Senin, 14 September 2009

Puasa dan Pesan Anti Teror

DISAAT umat Islam Indonesia gundah gulana akibat diawasinya kegiatan dakwah oleh Kepolisian, ibadah puasa (shaum) menjadi oase, sekaligus kekuatan bagi umat Islam untuk melatih diri dan menunjukkan jika stereotipe yang berkembang bahwa Islam menjadi biang teroris adalah keliru.


Harus disadari, sebagaimana ajaran agama lain, Islam pun bisa dipahami dari ragam perspektif. Baik itu pemahaman yang terbuka dan toleran atau sebaliknya, pemahaman keagamaan yang ekslusif bahkan keras, sehingga membenarkan cara teror dalam menjalankan keyakinan Islam.
Sarjana muslim maupun sarjana barat yang melakukan studi Islam biasanya mengkategorisasikan menjadi kelompok liberal, inklusif, ekslusif dan radikal. Ragam wajah pemahaman Islam, sama dengan beragam dan berbedanya kemampuan dan pengetahuan tentang agama bagi setiap setiap orang. Jangankan dari keluarga yang berbeda, dalam satu keluarga pun, pengetahuan dan pemahaman agama pasti ada perbedaannya, walau mungkin sedikit. Terlebih, fakta historis mewariskan kepada umat Islam, adanya beragam mazhab fiqih, kalam, tafsir, tasawuf dan pemahaman keagamaan lainnya.
Namun tentu, bagi mereka yang telah secara utuh memahami Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah agama rahmat, terbuka, toleran, namun kukuh dalam pemahaman akidah. Dalam praksisinya, Islam adalah agama yang mendunia juga meng-akhirat, anti kekerasan, namun pemeluknya diajarkan untuk kokoh memegang akidah sebagai prinsip dasar beragama.
Keimanan bukan hanya diukur sekedar ibadah spiritual, namun juga diukur melalui ibadah sosial. Membuang sampah atau duri di jalanan adalah bentuk keimanan. Peduli dan menyayangi saudara dan tetangga sebagaimana menyayangi diri sendiri adalah bentuk keimanan. Demikianlah gambaran sederhana dan salah satu contoh dari konsep Islam yang membumi.
Dengan hadirnya Ramadhan, sesungguhnya dapat dijadikan sarana pelatihan diri bagi seluruh umat Islam yang menjalankan ibadah puasa (shaum) untuk menjadikan Islam benar-benar sebagai agama yang membumi. Membumi dalam pengertian, Islam adalah agama yang peduli kemanusiaan dan lingkungan. Cara-cara teror yang dilakukan oleh para “pengantin” dan teroris yang merindukan surga bukanlah cara benar, melainkan doktrin salahkaprah karena sama dengan bunuh diri yang dibenci Allah Swt. Akan lain halnya jika hal itu dilakukan di daerah yang benar-benar sedang perang seperti di Palestina.
Ada beberapa alas an mengapa puasa menjadi sarana melatih diri umat Islam dan menjadikan Islam sebagai agama membumi yang anti teror. Pertama, di samping sebagai ritual personal, privacy, dan rahasia; puasa juga berdampak secara psikis. Inti pelaksanaan puasa adalah kontrol diri (self contro). Dengan demikian, umat Islam yang melaksanakan ibadah puasa dengan benar akan menjadi manusia yang mampu menahan dirinya dari segala perbuatan yang zalim.
Dalam konteks melawan perilaku keagamaan yang meyakini teror sebagai cara sah melakukan jihad melawan kafir (dimana kelompok keagamaan yang satu ini menjadikannya sebagai salah satu rukun iman), ber-puasa yang sungguh-sungguh diharapkan menjadi cara menjalankan keimanan yang terbaik. Bagi umat Islam, bukan melawan teroris yang harus dilakukan, karena itu tugas pemerintah dan aparat keamanan, yang harus dilakukan umat Islam adalah melatih setiap diri, keluarga dan jamaahnya untuk melawan potensi teroris dalam diri masing-masing.
Ketika si pengamal mampu mengontrol emosinya, tidak bakal ia snewen atau grasak-grusuk menafsirkan doktrin ajaran Islam untuk melegitimasi laku keras dan bengis. Bukankah ketika kita berpuasa dan ada yang mengganggu atau mengajak berkelahi, pesan Rasulullah Saw., jawablah: “Ana Shaaimun”? ya, jawaban dari seorang muslim yang berpuasa adalah “saya sedang berpuasa”. Tidak lantas ia meladeni kebejatan orang lain.
Kedua, ada salah kaprah dalam pemahaman keagamaan kelompok radikal, yang meyakini bahwa teror sebagai cara terbaik dalam berjihad. Rasulullah Saw justru mengingatkan, menahan hawa nafsu justru merupakan jihad terbesar. Dengan puasa lah, latihan mengendalikan hawa nafsu sebagai diintensifkan. Bukan hanya kemarahan, kebencian atau kekerasan, tapi juga ketamakan dan sikap berlebihan.
Ketiga, puasa pada level sosial, akan mendorong semangat saling tolong menolong dan kepedulian kepada sesama. Perihnya rasa haus dan lapar akan meningkatkan rasa kesetiakawanan, sekaligus meneguhkan kesadaran, ketika teror ditebar, akan banyak linangan air mata para keluarga korban yang berjatuhan.
Untuk konteks terorisme, yang mengatasnamakan Islam dalam melegitimasi laku teror, kebencian terhadap Amerika Serikat (AS) bukan dilawan dengan kejahatan lagi. Percayalah, kekerasan tidak bisa menjadi penyelesaian masalah. Malahan menjadikan masalah bertambah. Perang dilakukan untuk menjaga diri, dan itu lah yang dilakukan Rasulullah, Saw. Dari 47 poin Piagam Madinah, hampir seluruhnya menyarankan umat Islam untuk membina perdamaian dengan setiap agama, suku status sosial, dan orang di sekitar.
Aksi teror merupakan satu dari sekian luapan nafsu atau emosi yang tak terkendali. Dengan latihan di bulan Ramadan, seharusnya kita dapat mengambil pelajaran bahwa bulan-bulan ke depan, dimana ibadah puasa sudah tidak dilaksanakan lagi, kita juga harus dapat mengontrol emosi. Sebab, inti berpuasa adalah mampu mengontrol segala emosi yang dapat merugikan kehadiran manusia di muka bumi.
Ingat, perang yang dilakukan umat Islam pada masa kenabian, merupakan bentuk defensif. Mempertahankan tanah air karena diserang secara fisik. Tidak adil rasanya kalau yang diserang oleh pihak asing adalah soal pemikiran, gaya hidup, ekonomi, politik dan kebudayaan; kita membalasnya dengan cara yang tidak tepat, bahkan sangat salah. Orang yang rajin dan ikhlas berpuasa akan dapat berpikir secara jernih, ketika hal itu terjadi dalam hidupnya. Ia tidak akan grasak-grusuk dan bernafsu membalasnya dengan cara yang tidak beradab.
Mari belajar terus menunaikan ibadah puasa dengan benar. Disebut belajar terus karena tak ada kata sempurna dalam beribadah selain terus melaksanakanya semaksimal dan sebaik mungkin. Semoga puasa kita kali ini dapat mengantarkan kita menjadi manusia beradab. Bukan lantas menjadikan kita manusia yang super tak beradab alias biadab! Meminjam bahasa Alfred North Whitehead (Mencari Tuhan Sepanjang Zaman, Mizan, 2009), puasa semestinya dapat membentuk kesadaran sosial (social consciousness), yakni sebuah kesadaran untuk memperlakukan orang lain secara damai dan cinta. Sebab itu, puasa mesti menjadi pesan pembumian konsep pemeliharaan (preservation) dan anti teror. Wallahua’lam

Selesaikan Bacanya!......

Puasa Yess, Konsumerisme No

Setiap tahunnya, ibadah puasa yang dilakukan di Indonesia selalu meriah dan berdampak besar bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Bagi kehidupan sosial, kesadaran sosial dan berbagi sangat menguat.

Ini diindikasikan dengan membesarnya penerimaan infaq, zakat dan shadaqah lembaga zakat. Belum lagi, di kota besar, jumlah pengemis pun semakin banyak. Jumlah pengemis yang membanyak, karena di bulan ini, orang berlomba-lomba untuk bershadaqah. Andai saja, kegemaran umat Islam berinfaq, bershadaqah dan berzakat relatif konstan, ekonomi dan kesejahteraan umat Islam pasti akan meningkat tajam dalam hitungan tahun. Namun di sisi lain, ada penyakit sosial yang meningkat, yaitu kriminalitas.
Secara ekonomi, terjadi peningkatan konsumsi masyarakat, yang berdampak kepada meningkatnya permintaan akan barang-barang. Kondisi tahunan ini biasanya ditumpangi oleh perilaku tak terpuji spekulan, menimbun barang dan melakukan tindakan pemalsuan barang. Terjadilah kenaikan harga dan gairah di berbagai pusat perbelanjaan.
Secara politik, bulan puasa biasanya ditandai dengan menurunnya tensi politik dan disertai dengan berbagai manufer politik yang mengarah kepada kerjasama antar elit dan partai politik.
Dari sisi budaya, puasa menjadi élan vital, bagi tumbuhnya berbagai budaya yang berwarna dalam masyarakat Indonesia. Ngabuburit, ngabedug, keliling kampung waktu sahur dan lain sebaginya begitu mentradisi dalam masyarakat kita.


Mewaspadai Konsumerisme
Barangkali, yang harus menjadi perhatian dan disadari kita semua adalah meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat yang cenderung mengarah pada konsumsi berlebihan atau budaya konsumeris. Bagi kaum postmodernis, konsumerisme adalah trend budaya. Dimana, penanda (icon) status sosial ditentukan oleh barang, toko, tempat belanja dan berapa harganya.
Dari sisi ilmu ekonomi, meningkatnya konsumsi menunjukkan adanya peningkatan pendapatan (kemampuan ekonomi). Ini tentu membahagiakan karena menggambarkan tingkat kesejahteraan ekonomi dan pendapatan per kapita penduduk semakin tinggi. Jangan lupa pula, Indonesia adalah negara yang pertumbuhan ekonominya sebagian besar ditopang oleh konsumsi domestik.
Namun yang harus diwaspadai adalah jika kemampuan ekonomi itu sipatnya buble (gelembung) saja yang disebabkan banyaknya tunjangan, infaq atau bantuan mengingat meningkatnya kegemaran orang kaya membantu si miskin. Lebih mengkhawatirkan lagi, jika meningkatnya daya beli itu karena ditopang oleh utang, misalnya penggunaan kartu kredit, atau pinjaman renternir. Ini mungkin terjadi karena masyarakat cenderung memaksakan diri untuk merayakan lebaran, padahal kemampuan keuangannya sedang memburuk. Perilaku ekonomi semacam itu jelas sangat membahayakan, karena mendorong lahirnya kriminalitas, korupsi dan tindakan tak terpuji lainnya.
Di sisi lain, kelompok sosial menengah ke atas ada kecenderungan untuk bermewah-mewahan. Budaya pamer kesuksesan di kampung halaman ketika mudik, seakan menjadi trend. Pusat perbelanjaan pun selalu ramai, terlebih dengan promo diskon dan berbagai upaya menggaet pembeli lainnya.
Sadar atau tidak, umat Islam yang tengah berpuasa sedang dijangkiti oleh konsumerisme. Penyakit budaya ini justru berlawanan dengan semangat berpuasa yang mendorong seorang muslim untuk sederhana, mampu menahan diri dari hawa nafsu yang negatif, dan peduli kepada sesama.
Setan mungkin diikat dan dikerangkeng Allah Swt. Tapi nafsu berbelanja berlebih menjadi syahwat tersendiri yang membahayakan. Karena itu, ibadah puasa yang dilakukan hendaknya mampu menahan budaya belanja dan perilaku ekonomi yang bermewah-mewahan.
Konsumerisme adalah fakta budaya yang tak bisa dihindari. Konsumerisme adalah sikap budaya yang menjadikan kemewahan dan konsumsi sebagai panglima. Hal ini yang diingatkan oleh Allah Swt dalam surat At-Takatsur, yang mengingatkan bahwa bermewah-mewah membawa kepada kelalaian dan mengantarkan kita masuk neraka Jahim. Jika konsumerisme dibiarkan, hanya akan membuat ibadah puasanya tak bermakna, sekedar lapar dan dahaga.
Tujuan dari ibadah puasa adalah menjadikan seorang mukmin untuk meraih ketaqwaan, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 183. Istilah taqwa dapat diterjemahkan sebagai “kewaspadaan kepada Allah SWT”. Pada umumnya, ahli tafsir menerjemahkan term tersebut untuk beberapa pengertian seperti kepatuhan, kesalehan, keteguhan, perilaku baik, penjagaan diri dari kejahatan, takut kepada Allah SWT, dan kesadaran akan adanya Allah SWT. Dalam masyarakat sendiri, taqwa diartikan sebagai sikap menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.
Kata taqwa sendiri berarti “melindungi, berjaga-jaga, berhati-hati dan waspada. Jelasnya ia merupakan sebuah sikap yang melambangkan setiap kebaikan manusia, dan dalam konteks al-Qur’an kebaikan tersebut mestilah ditujukan kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah menyatakan, manusia yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa (QS 49: 13).
Patut dicatat di sini, ketaqwaan adalah sebuah sikap mental, dan buah ketaqwaan dapat dirasakan melalui setiap amal perbuatan. Taqwa harus dipahami lebih sebagai kata kerja, bukan kata benda. Maksudnya, taqwa tidak dapat dipahami dalam konteks identitas individu maupun kelompok yang merupakan identitas sosial keagamaan. Ketaqwaan dapat diraih oleh setiap muslim yang melakukan amal ibadah secara sempurna dan penuh keikhlasan. Ketaqwaan tidak identik dengan kiai. ulama, ustadz, orang tua dan semua kedudukan sosial yang berbau kesalehan. Ketaqwaan tidak pula identik dengan seorang muslim yang memiliki gelar haji atau hajjah. Sekali lagi harus ditekankan bahwa ketaqwaan adalah hasil bagi setiap muslim yang secara sungguh-sungguh beribadah kepada Allah dengan ilmu dan keikhlasannya.
Puasa juga mengandung nilai dan sikap meneladani sifat-sifat Allah. Walau tidak selama 24 jam, umat Islam dilatih untuk tidak makan dan minum, serta tidak berhubungan badan. Demikian halnya dalam praktik totalitasnya, seseorang yang tengah berpuasa harus meningkatkan perilaku kesehariannya sebagai pribadi yang berakhlaq baik.
Dengan demikian, ironi kalau ibadah puasa yang dilakukan dicemari dengan budaya konsumerisme yang sangat bertentangan dengan nilai dasar Islam yang melarang perilaku berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. Tentu saja, berbelanja untuk kebutuhan yang sifatnya dasar, primer (dharuriyat), sekunder (haaziyat), bahkan yang sifatnya memperindah diri, tersier (tahsiniyat), adalah kebolehan selama tidak berlebihan atau merugikan orang lain. Jika pun berbelanja, cukupi kebutuhan diri dan keluarga serta berbagilah untuk yang membutuhkan.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga berbagai upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi selama berpuasa melatih dan menyadarkan kita arti penting berbagi dan peduli sehingga mencapai target utama puasa yaitu menjadi manusia paripurna (taqwa).
Selesaikan Bacanya!......

Yang Terbaik

Benarkah kita gagal ketika rencana yang telah ditetapkan tidak tercapai? Dalam sudut pandang sebagai manusia yang memiliki keinginan, mungkin ia. Sesal, kecewa, sedih dan marah bercampuraduk.


Sadari dan tanamkan dalam hati dan pikiran, dibalik sesuatu yang dinilai gagal itu sesungguhnya ada hikmah. Bukankah yang terbaik selalu diminta kepada Allah Swt. Allah Yang Maha Rahman dan Rahim selalu memberi yang terbaik, bukan yang selalu diinginkan. Ilustrasinya, sebagai orang tua, apakah kita akan memberikan pisau kepada anak terkasih, sementara pisau itu akan digunakan untuk gagah-gagahan atau menakuti orang lain? Tidak kan. Apakah itu artinya tidak memenuhi keinginan anak? Kita memberikan yang terbaik untuk anak, bukan memenuhi keinginan anak. Faktanya, keinginan dan yang terbaik itu ada kalanya sama, ada saat berbeda. Di sini lah maksud dari firmannya dalam QS Al-Mu'min (40): 60:”Berdo’alah kepada ku, maka akan aku menerima doa kalian.”
Allah Swt pasti akan memenuhi doa, baik langsung atau tidak langsung dan memberikan yang terbaik bagi makhluk-Nya, bukan karena keinginan makhluk-Nya. Karena keinginan itu belum tentu sesuai dengan kadar, kemampuan atau kondisi terbaik makhluk-Nya.
Ini lah yang dimaksud takdir. Secara etimologis, takdir (taqdir) berasal dari kata qaddara. Akar katanya adalah qadara yang diartikan ukuran, memberi kadar atau mengukur. Dengan demikian, sebagai pencipta (khaliq), Allah Yang Maha Kuasa telah menetapkan ukuran, batas tertentu dalam ciptaan-Nya. Seperti produsen yang tahu betul kualitas produk yang dipasarkannya.
Dalam al-Qur’an al-Karim, ada banyak ayat yang berbicara tentang takdir, antara lain dalam QS Al-Furqan (25): 2, Ya Sin (36): 38-39, Al-Shaffat (37): 96, Al-A’la (87): 1-3, dan seterusnya. Dalam QS Al-A’la (87): 1-3 disebutkan: “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi; Yang menciptkan semua makhluk dan menyempurnakannya; Yang memberi takdir kemudian mengarahkannya.”
Keyakinan akan takdir bukan berarti membuat kita pasrah apalagi putus asa. Putus asa sangat dibenci Allah Swt. Allah Yang Maha Kuasa hanya menetapkan batas kemampuan dan ukuran makhluknya saja. Berusaha keras sampai darah tinggal satu aliran, nafas satu helaan adalah wajib hukumnya. Setelah seluruh daya upaya terbaik dilakukan, bertawakal dan memohonlah kepada Allah Swt yang terbaik. Terimalah dengan senyum apapun hasilnya, berusaha keraslah untuk meraihnya kembali jika dianggap masih belum maksimal. Jangan-jangan karena strategi, situasi dan kondisi yang belum pas. Bukankah dalam banyak hal, kita tidak tahu dimana batas kemampuan? Sementara kemampuan itu tumbuh seiring dengan bertambahnya pengalaman, ilmu dan kapasitas diri. Yang hari ini tidak mampu dilakukan, mungkin esok bisa.
Bersabar, pantang menyerah dan tawakal lah atas semua proses yang dijalani. Ini lah hidup, berbuatlah yang terbaik dan bermanfaat bagi diri, manusia dan lingkungan sekitar. Yakinlah, dengan berbagi dan bermanfaat bagi seluruh makhluk, Allah Yang Maha Rahman dan Rahim memberi kita yang terbaik. Wallahu’alam
Selesaikan Bacanya!......

Senin, 22 Juni 2009

Kejujuran Dalam Berbisnis

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang; (yaitu) orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi;
dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka
mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam”
(Al Muthaffifin [83]: 1-6).


Ayat di atas mengajarkan makna kejujuran dan dampak dari kecurangan. Tentu saja, bukan hanya Islam, agama lain dan etika bisnis modern menjadikan kejujuran sebagai prinsip dasarnya.
Sedari awal, Allah Swt sudah memperingatkan bahwa manusia memiliki sifat ingin menguntungkan diri sendiri. Dengan demikian, sedari awal Allah Swt sudah memperingatkan jika kecurangan bukan hanya mungkin dilakukan pedagang, pembeli pun bisa melakukannya. Pengertian pedagang dan pembeli pun bukan sekedar dalam pengertian umum, sebagaimana dipahami. Lebih dari itu, dimaknai juga dalam pengertian pelayanan di birokrasi, pelayanan publik atau interaksi mualamah lainnya. Dimana, ada pihak yang dilayani dan melayani. Ketika terjadi kecurangan, ada yang dirugikan ada yang diuntungkan. Islam jelas dan tegas melarang hal itu terjadi.
Bahkan, melalui ayat tersebut, Allah Swt telah memperingatkan bahwa perilaku curang itu akan membawa kepada kecelakaan. Bukan hanya kecelakaan di dunia, tapi juga di akhirat.
Di dunia bsinis, reputasi yang buruk akibat sikap tidak jujur akan membuat orang kehilangan kepercayaan (trust). Padahal, kepercayaan dan imej adalah kunci dalam bisnis saat ini. Marak dan pesatnya bisnis media cetak dan elektronik serta jasa periklanan adalah satu satu buktinya. Imej atau kesan konsumen atas suatu produk menjadi kunci bagaimana produk itu diterima oleh konsumen. Ini juga menyangkut kepercayaan. Jika kejujuran sudah tiada, kepercayaan sudah tiada, maka kerusakan datang bak banjir bandang. Naudzubillah.
Banyak contohnya bagaimana suatu produk yang sedang booming, laku keras, hanya karena isu tertentu, langsung anjlok penjualannya. Bahkan, soal kepercayaan ini, jasa periklanan menjadikannya sebagai tujuan. Sayang, umat Islam tidak bisa menangkapnya dengan cepat maksud lain dari ayat tersebut. Jadi, bukan sekedar kejujuran, namun mampu mengemas kejujuran sebagai suatu jasa yang mampu menggerakkan ekonomi. Mudharabah, musyarakah, wakalah dan kegiatan bermualah lainnya harus didasarkan pada kejujuran. Jadi, kejujuran bukan hanya sebagai sifat, nilai dasar yang harus dimiliki, namun saat ini menjadi kebutuhan dan sifatnya telah menjadi kebutuhan bisnis global di seluruh sektor. Bukankah krisis keuangan di Amerika Serikat yang dampaknya terasa ke Indonesia juga gara-gara hilangnya kejujuran?
Selain kejujuran, hal lain yang membedakan dengan etika bisnis umum adalah adanya janji hari pembalasan. Tentu saja, bagi manusia sekuler atau yang tak yakin adanya kiamat dan hari pembalasan, itu semua hanyalah omong kosong. Namun jika kita lihat, konsep hari pembalasan ada dalam setiap konsep agama-agama besar di dunia ini.
Secara logika, hari pembalasan itu wajib ada, karena mengandung prinsip kausalitas, sebab akibat. Jika kaum sekuler tidak percaya hari pembalasan, mereka lucu, karena hari pembalasan itu niscaya, sebagai bentuk keadilan.
Saya kira, dengan kondisi ekonomi umat yang masih terpuruk secara sosial ekonomi, menengok ulang nilai-nilai Islam dalam praktik bisnis adalah kebutuhan. Secara praktis, bagi seorang muslim, berbisnis harus melandaskan pada kejujuran sehingga aktivitas ekonomi tidak hanya mengarah pada hasil duniawi semata. Di dalam bisnis, terdapat sejumlah usaha untuk mendapatkan keuntungan.
Sebagai muslim, mestinya kita memberikan sumbangsih bagi kemajuan ekonomi umat. Pertama, memperkokoh aspek keislaman sehingga memberikan pondasi
yang kuat untuk membangun integritas moral bagi para pelaku bisnis (karyawan, pengusaha, kaum profesional). Misalnya, dalam setiap praktik bisnis mesti dipenuhi dengan kejujuran, kesederhanaan, dan menjunjung tinggi etika kebenaran. Itulah integritas yang harus di miliki seorang pebisnis muslim.
Kedua, mampu mengembangkan etos kerja yang berorientasi pada kemajuan dan keunggulan kinerja (excellent performance). Pada posisi ini, spiritualitas mestinya mampu dijadikan driving force (kekuatan pendorong) yang kuat untuk menancapkan motivasi dan etos kerja yang selalu mengacu pada prestasi terbaik. Sebuah niat suci untuk selalu menganggap pekerjaan kita sebagai sebuah ibadah dan bentuk pengabdian kita pada Allah Swt.
Ketika kita bekerja di kantor dengan asal-asalan, atau ketika hanya mampu menciptakan pelayanan yang amburadul dan membikin para pelanggan jera dengannya, mestinya kita menanggap ini semua sebagai "dosa" dan merasa malu kepada-Nya.
Sebaliknya, ketika kita selalu bisa mempersembahkan kinerja yang istimewa, atau ketika kita mampu mengagas dan melaksanakan ide-ide kreatif untuk memajukan perusahaan, mestinya tidak melulu didasari keinginan untuk naik pangkat, atau mendapat bonus yang besar, melainkan dilatari oleh niat suci untuk beribadah. Sebuah niat yang didorong oleh kehendak untuk mengabdi dan memuliakan-Nya.
Ketiga, kita mesti mampu membangun apa yang disebut dengan learning organization. Sebab, hampir semua agama mendorong umatnya untuk terus belajar dan menuntut ilmu. Dalam Islam misalnya, ayat pertama yang diturunkan berbunyi iqra' (artinya, bacalah!): merupakan simbolisasi yang menekankan pentingnya proses belajar dan menuntut ilmu bagi kemajuan peradaban manusia. Dengan demikian, upaya membangun “learning culture” di bidang bisnis, adalah upaya mendorong para karyawan untuk terus merengkuh ilmu.
Islam mengajarkan kepemilikan mutlak ada di tangan Allah. Allah menganugerahkan sumber daya alam agar manusia bisa mendayagunakannya. Kerja merupakan unsur utama produksi untuk memenuhi hak hidup, hak keluarga, dan masyarakat guna
mendorong fungsi produksi dalam mengoptimalkan sumberdaya insani. Wallahuálam

Selesaikan Bacanya!......

Senin, 08 Juni 2009

Mengenal Tarekat

Salah satu fenomena keberagamaan yang menarik adalah berkembangnya tarekat di kalangan umat Islam. Bahkan, pengaruhnya sangat kuat. Para politisi pun rela antri datang untuk menjadi murid dan meminta restu. Sebut saja, Habib Luthfi Bin Yahya, sosok ulama kharimatik di Pekalongan, sosok tokoh tarekat yang jumlah muridnya ratusan ribu.
Sebenarnya apa sih tarekat itu? Istilah “tarekat” (thariqah atau al-thariq) secara harfiah berarti “jalan” atau jalur yang ditempuh dengan berjalan kaki. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut dipergunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan pekerjaan, baik terpuji maupun tercela (Shihab, 2001: 171).
Dalam terminologi tasawuf, tarekat adalah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju ke hadapan Allah SWT. Perjalanannya mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya. Sufi yang tengah melakukan perjalanan disebut pengembara (salik). Dari sini kita dapat mengambil pengertian bahwa tarekat adalah perjalanan para salik yang melangkah untuk membuka hijab dan mendekati realitas ruhaniah (Ali Kianfar dalam Zauqi Shah (ed), 2002: 84). Tarekat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syarat, karena jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq. Salik melakukan perjalanan spiritual melalui tahapan spiritual (maqam) tertentu setelah melalui jalan (thariq), guna mencapai tujuan bersatu dengan-Nya.
Tarekat juga dalam tasawuf adalah hal penting sehingga disebut ilmu suluk. Tarekat itu pada dasarnya tak terbatas jumlahnya, karena setiap “salik” semestinya harus mencari dan merintis jalan (thariq)-nya sendiri, sesuai dengan bakat dan kemampuan atau pun tarap kebersihan hati mereka. Kaum sufi percaya, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama (syari’ah). Sedang jalan lain (thariqah) merupakan cabang yang lebih sempit dan lebih sulit dijalani salik (Schimmel, 2000: 123).
Dalam perjalanan spiritual ini, salik akan melalui maqam dan hal. Maqam adalah suatu taraf yang berlangsung terus yang dicapai oleh manusia berkat usahanya sendiri (Schimmel, 2000: 125). Ia adalah hasil dari usaha riyadlah dan mujahadah para salik. Sedangkan hal adalah keadaan spiritual yang turun dari Tuhan ke hati manusia, tanpa dapat ditolak kedatangannya atau dicegah kepergiannya, dengan usahanya sendiri (Schimmel, 2000: 124). Hal merupakan karunia dari-Nya. Di setiap maqam dan hal inilah salik menyingkap (mukasyafah) hijab yang ada di dsalam dirinya. Jika di dalam tasawuf kita kenal ada proses penyingkapan Tuhan, itu terjadi karena salik sudah sampai pada maqam tertinggi, sehingga hijab-hijab yang menghalanginya telah tiada dan ia pun suci.
Meski tarekat beragama jalannya tak terhingga, namun nampaknya secara umum jalan ruhaniah itu dapat diringkas jadi tiga tahap, yaitu: pertama, penyucian hati. Pada penyucian hati, salik harus melakukan dua hal: mawas diri dan menguasai atau mengendalikan nafsu-nafsu. Kemudian, membersihkan hati dari ikatan pengaruh keduniawian (Simuh, 1997: 47).
Kedua, konsentrasi untuk ber-dzikir pada Allah. Pada tahapan ini, kaum sufi tidak memberikan satu detik pun hatinya untuk lalai dari Allah. Bagi kaum sufi, dosa adalah lalai dari usaha ber-dzikir pada Allah. Ada banyak metode yang digunakan kaum sufi dalam ber-dzikir.
Ketiga, fanna’ fillah. Pada tahap ini, kaum sufi telah sampai pada puncak spiritual tertinggi. Di sinilah terdapat perbedaan tajam antara para sufi yang cenderung falsafi dengan yang cenderung “akhlaqi”. Bagi yang menganut faham kesatuan Tuhan (wihdatul wujud), mereka bisa mengalami syukr (mabuk) dan fana’ sehingga ketika berucap mereka sering ber-syathahat. Mereka pun percaya bahwa Tuhan itu ada pada diri manusia, sehingga Tuhan itu immanen sekaligus transenden.
Bagi yang cenderung akhlaqi, kesatuan dengan Tuhan tidak berarti kita bersatu dengan-Nya, tapi merasa Dia bersama kita, sehingga seluruh perilaku kita adalah perilaku-Nya. Tarekat selain dilihat sebagai jalan spiritual, juga mengandung arti sebagai kesatuan persaudaraan kesufian (sufi brother hood) (Madjid, 1995: 110).
Sebagaimana dijelaskan di atas, tarekat adalah jalan spiritual, berarti tarekat adalah bentuk pengalaman individual. Namun, dari pengalaman individu itu kemudian seseorang mengalami publikasi dan itu dialami banyak orang sehingga yang semulanya privacy jadi milik publik. Dari segi sosial dapat kita temukan bahwa tarekat berarti persaudaraan kesufian. Segi sosial tarekat, lahir dari kewajiban dan rasa tanggung jawab untuk mengajar dan membimbing umat. Maka, kita mengenal ada istilah pembimbing spiritual (mursyid) dan salik (murid). Alasan menggunakan mursyid, karena diyakini perjalanan spiritual itu penuh dengan halangan dan godaan, sementara salik baru masuk ke dalam alam spiritual. Maka ia perlu pembimbing yang telah mengetahui dan mengalami jalan ruhani.
Tarekat kemudian berkembang jadi persaudaraan kesufian yang berkembang luas. Secara historis pertumbuhan tarekat sudah dimulai sejak abad ke-3 dan ke-4, seperti al-Malamatiyah yang didirikan Ahmadun Al-Qashar, atau Ta’rifiyah yang mengacu pada Abu Yazid al-Busthami, atau pun al-Khazzajiyah yang mengacu pada Abu Dzaid al-Khazzaz, tarekat-tarekat tersebut dan semacamnya masih dalam bentuk yang amat sederhana dan bersahaja.
Perkembangan dan kemajuan tarekat justru terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 H, dan yang pertama kali mendirikan tarekat pada periode tersebut adalah Syeikh Abdul Qadir al-Jailani pada awal abad ke-6 H, kemudian menyusul tarekat-tarekat lainnya. Semua tarekat yang berekembang dalam periode ini merupakan kesinambungan tasawuf Sunni al-Ghazali dan dengan berdirinya berbagai tarekat tasawuf Sunni mengalami tahap perkembangan baru hingga kini (Alwi Shihab, 2001: 172).
Dari pelacakan historis di atas, kita dapat membagi fase historis tahapan perkembangan tarekat ke dalam tiga fase yaitu: pertama, tahap khanqah (pusat pertemuan sufi), di mana syaikh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat. Hal ini berbeda dengan tahap selanjutnya yaitu: tahap thariqah, yakni pada tahap ini, tasawuf sudah membentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode yang sangat ekslusif.
Selanjutnya adalah tahap tha’ifah, di mana pada fase ini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Tarekat berkembang pesat hingga belahan dunia yang lainnya, pemujaan kepada syaikh jadi kebiasaan. Tasawuf pada fase ini mengambil bentuk kerakyatan. Sehingga pada fase ini, tarekat memiliki makna lain yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syaikh tertentu (Nasution, 1998: 366-367).
Proses perjalanan ruhaniah yang dilakukan di dalam tarekat dimulai dengan pengambilan “bai’at” (sumpah) dari murid (salik) di hadapan syaikh setelah murid menjalani penyucian diri. Setelah mencapai tahapan sempurna, murid akan memperoleh “ijazah” dari mursyid dan setelah itu salik biasanya berhak menjadi mursyid. Dalam tarekat ada tiga ciri umum yaitu: syaikh, murid dan bai’at (Shihab, 20001: 172).
Ototritas mutlak mursyid dalam masalah-masalah spiritual maupun material terhadap murid-muridnya adalah salah satu ciri khas tarekat. Sehingga, dalam tarekat, mursyid lah yang membai’at muridnya. Akibatnya, muncul kultus individu atau “idiolatri” atas mursyid oleh para muridnya. Karena sifatnya yang teratur dan ekslusif serta ajarannya yang khas, tarekat kemudian jadi pseudo religion atau agama dengan struktur ide-ide, praktik-praktik dan organisasinya sendiri yang ekslusif (Rahman, 1984: 217).
Di Indonesia sendiri dikenal beberapa tarekat yang memiliki keterkaitan dengan tarekat yang berasal dari luar Indonesia atau pun tarekat yang lokal. Di antaranya tarekat Qodariyah, Naqsabandiyah, Wahidiyah, Shiddiqiyah, Syahadatain, Tijaniyah, Sanusiyah (Shihab, 2001: 174-175).
Semua yang berkembang itu adalah pendekatan keagamaan. Maka, biarkan lah itu berkembang menjadi pendekatan. Tak harus saling mengakimi siapa yang benar, yakini saja apa yang diyakini, amalkan sebaik mungkin, selesai. Karena kita pun tak tahu, mana yang lebih benar. Wallahu'alam

Selesaikan Bacanya!......

Demokrasi Lahan Subur Tumbuhnya Ekonomi Kreatif

Ekonomi kreatif hanya mungkin tumbuh dalam sistem politik dan masyarakat yang mengakui kebebasan berekspresi. Demokrasi, kalau dipercaya sebagai jalan politik yang mengakui kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai hak asasi, adalah ladang subur semaian ekonomi kreatif.

Lebih lanjut, perlindungan hak kekayaan intelektual menjadi faktor penting yang dibutuhkan untuk merawat tumbuh suburnya ekonomi yang berbasis budaya (baca: ide) tersebut. Kalau pra syarat tersebut tak terpenuhi, yang ada adalah pemalsuan-pemalsuan karya dan kekayaan intelektual seseorang, bukan orisinalitas karya yang lahir. Perlindungannya bukan hanya di level nasional, tapi internasional.
Mengapa perlindungan hak kekayaan intelektual penting? Karena ekonomi kreatif lahir dari gagasan atau ide kreatif banyak orang. Jika tidak dilakukan perlindungan akan menimbulkan sengketa hukum dan sikap prustasi dari manusia-manusia kreatif karena merasa karyanya tak dihargai.
Sebagai negara yang kaya budaya, Indonesia memiliki rekam jejak yang potensial dalam membangun ekonomi kreatif. Karena berekonomi sama artinya dengan menjaga tradisi leluhur, warisan orang tua yang harus dipelihara. Sebagaimana kita temukan dalam ekonomi lokal batik, sepatu Cibaduyut dan karya ekonomi berbasis budaya lokal lainnya..
Meski dengan basis budaya pop dan modern, kelahiran berbagai sektor industri kreatif seperti animasi, komik dan lainnya di Indonesia harus diapresiasi sebagai sentuhan baru dalam ekonomi kreatif. Fakta ini tak bisa ditolak seiring dengan semakin canggihnya teknologi.
Bagi saya, karya ekonomi berbasis budaya lokal yang sifatnya turun temurun dan yang lahir dari tangan anak muda kreatif dengan basis teknologi canggih tak harus dipertentangkan. Walaupun tidak ada garis batas yang jelas, pada dasarnya kreativitas yang muncul dapat dipisah menjadi dua hal pokok, yakni kreativitas berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge based) dan kreativitas berbasis seni (artistic based).
Menurut Departemen Perdagangan, tahun 2006, sekitar 1,5 juta usaha kecil dan menengah kreatif Indonesia menyerap 4,5 juta tenaga kerja dan menyumbang 7.8 persen terhadap PDB. Fakta ini menunjukkan betapa akan membesarnya ekonomi kreatif jika dikelola dengan baik melalu kebijakan yang tepat.
Agar memilik nilai lebih (added value), terpasarkan dengan baik, menyerap tenaga kerja dengan sangat besar, menghasilkan pendapatan bagi negara dari pajak dan retribusi serta memberi multiplayer effect bagi masyarakat sekitar lah, perlu dilakukan industrialisasi atas ekonomi kreatif. Itu lah yang disebut industri kreatif. Kalau proses industrialisasi dilakukan, suntikan modal mutlak dilakukan karena umumnya sektor ini masih merupakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sektor ini mampu bertahan karena dirasa menjadi bagian dari hidup, warisan orang tua yang harus dijaga. Jangan aneh jika banyak sekali sektor usaha ekonomi kreatif di daerah yang tidak disentuh kebijakan pemerintah, akhirnya mati.

Membangun Manusia Kreatif
Di atas itu semua, faktor manusia sebagai produsen ide kreatif lah yang menjadi panglima tumbuh atau tidaknya industri kreatif. Menurut hemat saya, kreativitas adalah landasan setiap industri apa pun. Apabila kita telaah, pergeseran yang terjadi secara global dari era agro, industri, informasi, dan sekarang era ekonomi kreatif terlihat adanya pergeseran dunia ke suatu parameter yang lebih mendasar secara vertikal dan bukan sekadar menciptakan sektor baru.
Perusahaan air kemas mineral umpamanya, memerlukan sumber daya kreatif
karena tidak bisa melepaskan diri dari perkembangan teknologi informasi. Perusahaan ini harus merekrut tenaga kerja kreatif agar apa yang diproduksinya laku di pasaran. Jadilah industri jasa iklan tumbuh besar. Tim kreatif suatu perusahaan menjadi penentu hidup atau tidaknya perusahaan itu. Terjadilah pergeseran ke konsep human capital. Dimana, karyawan pun dinilai sebagai aset berharga, bukan sekedar bagian dari faktor produksi yang sama dengan mesin, modal dan lahan.

Membangun Kota Kreatif

Kita punya Bali yang menjadi tujuan wisata internasional. Dalam berbagai perjalan saya ke berbagai kota di Indonesia dan negara lain, industri kreatif menjadi pilihan dan tumbuh subur ketika pariwisata menjadi primadona.
Di Bandung misalnya, kita akan melihat pertumbuhan industri kreatif ini seperti home industry, percetakan, penerbitan, factory outlet, distro, dan sektor yang memanfaatkan jasa. Bandung dan Jawa Barat, umumnya Indonesia, berpotensi menjadi tempat industri kreatif besar di dunia berkat kekayaan alam, keragaman budaya, serta kemampuan manufaktur dan home industri.
Tidaklah mengherankan apabila Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia yang pernah menjuarai beberapa kali ajang bergengsi British Council International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Award di Inggris. Yang menarik disimak, wakil nasional untuk IYCE Design Award (arsitek Ridwan Kamil dan pemimpin komunitas kreatif Gustaff Iskandar tahun 2006 dan 2007) berasal dari Bandung. Pada tahun 2008 juga, tercatat beberapa wakil yang berasal dari daerah Bandung (Irfan Amalee).
Jadi, tidaklah salah kalau saya menyebut Bandung sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia yang akan menjadi penggerak sektor ekonomi kreatif. Seperti yang pernah dibibicarakan Jacoeb Oetama, ketika seseorang bergelut di industri dan ekonomi kreatif, dia tidak akan merasa resah dari pemutusan hubungan kerja. Selama masih memiliki otak dan pikiran, selama itu pula dia akan bertahan di dunia kerja.
Sebab, industri kreatif mengandalkan ide dan gagasan kreatif yang akan lahir selama seseorang mampu menelurkan gagasan-gagasan kreatif dan imajinatif.
Bahkan teman saya – lebih tepatnya kader saya semasa aktif di organisasi kemahasiswaan – setelah selesai kuliah menggantungkan hidupnya dari aktivitas jula-beli gagasan kreatif. Dengan menjadi tenaga lepas di sebuah penerbitan dan kadang menulis buku Agama popular, ia sudah mampu menghidupi dirinya. Ia telah menjadi warga yang mandiri disebabkan memiliki gagasan kreatif. Meskipun secara formal dia tidak terikat oleh sebuah perusahaan atau tidak menjadi pekerja formal di salah satu industri, toh dapat menghasilkan uang dari atraksi kreativitas yang memukau. Wallahua’lam



Selesaikan Bacanya!......

Senin, 06 April 2009

Ayahku, Idolaku

Saya bersyukur kepada Allah, dilahirkan dari keluarga yang taat beragama tapi tidak panatik dengan khilafiah yang berkembang. Walau ayah bukan kiai/ ustadz, tapi beliau sangat taat dalam ibadah. Kebiasaan kami, jika jam 2 dini hari mendengar suara zikir ayah, sampai subuh tiba.

Ayah ditunjuk sebagai Ketua DKM pun sudah puluhan tahun. Demikian dengan ibu, ketua majelis taklim. Tak ada yang mau menggantikannya, walau ayah selalu mempersilahkan kepada siapapun menggantikannya. Kata ayah, sudah saatnya yang muda yang memimpin. Tapi ya itu, di kampung kami, setiap ada acara keagamaan, pembangunan masjid dan madrasah, melalui komunikasi ayah lah para donatur dari luar kampung, banyak membantu. Karena kata ayah, menunggu infaq dari warga akan sangat tidak mungkin. Bahkan tak jarang kami lah yang turun tangan membantu menyiapkan dana, utamanya kakak kami yang di Lippo Karawaci, yang memang secara ekonomi hidupnya sudah berkecukupan.
Bagi saya, ayah adalah idola dalam setiap hal. Kesabarannya dalam hidup, melewati masa-masa sulit, demi membiayai sekolah anak-anaknya, beliau tampak tangguh dan tawakal.
Dalam kehidupan sosial, sewaktu beliau belum terkena strooke, beliau lah yang selalu terdepan membantu masyarakat yang membutuhkan. Ke rumah sakit, membantu rumah warga jompo dan miskin yang sudah sangat rusak, membantu yang sakit, dan berbagai amal sosial, dia lah yang selalu pasang badan.
Tak jarang, kami harus berbagi beras dengan tetangga yang membutuhkan. Ayah selalu mengembalikan haknya sebagai amilin zakat atau panitia kurban untuk dibagikan kepada yang lebih berhak. Bahkan, ayah tak segan datang ke rumah panitia untuk menyerahkan bantuan, padahal, beliau dituakan. Beliau mau melayani tanpa pamrih.
Beliau sangat kami cintai dan kagumi. Walau hanya lulusan SD, bagi saya beliau lebih bijak dibandingkan mereka yang doktor sekalipun. Ilmu hidupnya lah yang memberi saya jalan sampai sekarang ini. Ilmu nya bukan ilmu omong, tapi teladan.
Beliau tidak pernah marah jika anaknya belum shalat. Tapi, sebagai anak yang setiap hari melihat bagaimana taatnya beliau shalat, shaum, shalat sunah dan shalat malam, kami tentu diberikan contoh yang baik tentang bagaimana hidup beragama.
Kami hidup sederhana. Ayah hanyalah pegawai negeri golongan II B ketika pensiun tiga tahun lalu. Tapi kecintaannya kepada pendidikan membuat semua anaknya sarjana. Bahkan, setiap kali saya pulang, selain menanyakan kesehatan saya, istri dan cucunya, pertanyaan selanjutnya adalah soal sekolah ku. Jangan lupa S-2 dan S-3 nya ya, segera selesaikan.
Begitulah ayah yang sewaktu aku masih usia 5-6 tahun, selalu menggendongku waktu pulang dari memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Aku ingat betul, sering tertidur atau kelelahan ketika ayah sedang berceramah kepada ibu-ibu atau bapak-bapak mengenai pentingnya hidup sehat, bersih, rukun. Beliau selalu menyitir ayat Al-Quran atau hadits.
Kami pulang larut, tak ada kendaraan melewati jalan rusak dan hutan. Tapi ayah selalu pulang karena ingat ibu dan kakak ku yang ada di rumah kami yang tidak lah besar. Kami jalan kami dengan menggunakan colen (obor-red). Ayah selalu pulang dan dia dikenal sosok yang pemberani. Aku digendongnya dengan penuh kasih sayang.
Kebanggaan ku akan ayah semakin menguat. Aku bangga karena ayah dikenal dan dihormati warga. Beliau lah yang selalu melerai dan dimintai pendapat ketika ada konflik atau perkelahian. Bahkan, rumah kami dari dulu tempat kumpulnya anak muda yang dengan bebasnya mereka makan di rumah. Ayah tidak pernah mengeluh, ayah selalu mengingatkan kami untuk selalu berbagi dan berbuat baik kepada siapapun, hatta kepada orang yang menyakiti kita sekalipun.
Gaji kecil, anak banyak dan semuanya sekolah membuat ayah dan ibu baru punya rumah yang cukup permanen setelah saya bekerja. Alhamdulillah, semua kebun dan sawah yang dulu sempat dijual sudah bisa dibeli oleh kami. Demikian juga dengan kebun dan sawah yang dulu digadaikan, sudah kami tebus. Bahkan, telah kami beli lagi beberapa petak sawah dan kebun. Aku sampaikan ke ayah dan ibu, ini dibeli agar anak cucu keturunannya tidak lupa kampung halaman, di sebuah desa jauh di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi sana.Biar anak cucunya tahu, bahwa ayah, nenek kakek, buyutnya adalah orang kampung.
Ayah tidak pernah meminta adik ku dan kakak ku yang perempuan untuk berjilbab. Tapi menjelang usia 20, kakak ku yang perempuan berjilbab. Demikian juga dengan adik bungsu ku yang kini sedang kuliah dan ikut dengan kami di bandung, dengan kesadaran mereka, harus menutup aurat. Tidak ada paksaan, tapi kesadaran. Yang penting, selalu menjaga aurat dan masih di batas-batas kesopanan, begitu kata ayah dalam suatu obrolan dengan kami.
Dalam hal ekonomi, dia anti ijon, tapi tidak pernah secara keras menolak ijon. Dia anti renternir, tapi tidak pernah menolak keras dan berbicara kepada banyak orang, karena memang banyak tetangga yang menjadi pengijon dan renternir. Sikap menolaknya diaplikasikan dengan sikap membantu sesama. Meminjamkan uang tanpa harus ada bunga. Bahkan, bi Encih, utangnya Rp 400 ribu pun sudah ayah anggap lunas karena, tiga hari lalu meninggal dunia, akibat sakit. Bahkan ayah mengingatkan saya untuk menyisihkan rezeki membiayai sekolah anak bi Encih yang kini yatim piatu. Ayah dan ibu pun kini punya anak asuh yang sedang dibantu sekolah dan punya warga binaan yang diberikan bantuan modal usaha. Ayah tidak kaya, tapi menurutku, jiwanya kaya dan aku sangat mencintai ayah dan ibu.
Dalam hal politik, ayah tidak pernah terbuka mendukung siapa, partai mana. Ini semata-mata ia lakukan agar semuanya merasa mendapatkan dukungan ayah. Kemarin saja, banyak sekali caleg dan tokoh partai yang datang dan memohon dukungan. Kepada semuanya ayah memberikan dukungan, tanpa pamrih. Kata ayah, berbuat baiklah dan tanamlah budi baik sebanyak-banyaknya, maka buah kebaikan akan kita petik, sekarang ataupun nanti.
Selamat ulang tahun ayah, ayah kini sudah berusia 70 tahun. Kalau dari KTPnya, udah berusia 68 tahun. Kata ayah, dulu menghitung umur cukup dengan mengira-ngira saja.
Ayah dan ibuku adalah lembar kehidupan yang penuh teladan. Hidupku belajar kepada mereka tentang hidup yang sejati, meraih bahagia dunia dan akhirat. Ayah dan Ibu, biarlah kami melayani dan membahagiakanmu. Semga rahmat Allah selalu bersama keluarga kita. Amin.

Jl. Cibiru Indah VII, Bandung



Selesaikan Bacanya!......

Kamis, 02 April 2009

Rindu Ka'bah

Jika saja Ka'bah dekat, mungkin aku tiap saat shalat di dekatnya. Sayang, Ka'bah ada di Makkatal Mukarramah. Aku rindu Ka'bah dan selalu hatiku seakan didekatnya. Semoga Allah segera mengundangku melaksanakan ibadah umrah dan haji.

Allah Swt telah memberi anugerah teramat besar bagi kota Makkah dan Madinah, karena hingga akhir zaman, tiap tahunnya ada ratusan triliun dana yang masuk dari kegiatan umrah dan haji. Bahkan ritual ibadah itu pun memberikan multiplayer effect kepada seluruh negara yang ada penduduk muslim. Biro perjalanan haji dan umrah serta aksesoris yang terkait dengan kegiatan ibadah haji dan umrah menjadi dagangan yang laris manis.
Itu baru dari sisi ekonomi. Belum lagi sisi politik, sosial dan ekonomi. Demikian lah berkah itu terus bertambah dan bertambah. Tak akan habis hingga akhir zaman nanti. Karena itu, rindukan lah Ka'bah. Tapi jangan berhalakan Ka'bah.
Merindukannya artinya ingin hidup selalu di bawah naungan ridla Allah Swt, titik. Tak ada yang diinginkan selain itu. Karena dengan niat seperti itu, hidup ini terasa menyenangkan, membahagiakan dan menentramkan.
Apa yang kita cari? Bukan kah kebahagiaan? Doa kita disetiap usai shalat selalu berulang meminta agar di dunia menjadi hasanah dan di akhirat menjadi hasanah, tapi mengapa kita menjauhinya, mengingkari doa itu. Naudzubillah.
Menipu, gila harta dan jabatan, sek bebas, mabuk-mabukan, korupsi, menghina orang, berprilaku tidak sepatutnya, meninggalkan ibadah. Semoga Allah menjauhkan kita dari segala perbuatan yang membuat-Nya murka.
Sebagai intelektual, atasnama kritik atas agama kita mengkritisi sesuatu yang menurut Filosof Iran Muhammad Baqir Shadr sebagai sesuatu yang tashdiq, benar adanya dan tak perlu dipertanyakan lagi karena hanya akan mendatangkan kesia-siaan.
Tuhan pun digugat, dikritik lalu shalat sebagai ibadah dianggap sebagai kesia-siaan. Naudzubillah. Bahkan dengan bangganya menggunakan aksesoris agama lain, meneriakkan kebebasan beragama, padahal sejatinya kita ini membutuhkan agama dan seharusnya beragama. Karena itu tentu ada banyak perintah agama yang harus dilaksanakan. Atas nama kebebasan beragama juga memakai purdah dianggap pengkerangkengan kepada kebebasan beragama. Padahal Allah Swt sudah jelas memerintahkan untuk menutup aurat.
Sekedar aurat pun diperdebatkan dan kita pun menjadi dungu. Bangga karena telah menjadi juru bicara kepentingan asing di negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Lalu menjadi juru bicara kebebasan beragama. Doku pun jadi penuh karena dollar mulai masuk ke kantong dari berbagai proyek atasnama kebebasan beragama, demokrasi, kesetaraan jender dan yang lainnya.
Sekedar soal peran istri, perempuan dan suami (laki-laki) pun diperdebatkan. Padahal soal itu adalah soal karakter yang apabila semuanya dibangun dengan komunikasi yang baik tidak ada masalah.
Sekedar demokrasi aja menjadi isu menarik. Padahal atasnama demokrasi juga Indonesia hingga kini belum sejahtera. Demokrasi hanya cara, alat untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Kita dungu, lupa tujuan dan sekedar menyenangi pesta. Lupa tujuan sesungguhnya dan lebih senang dengan berbagai kampulase, keramaian, pesta dan berbagai aksesoris yang sesungguhnya sekedar aksiden, bukan esensi.
Sementara, pada hal kecil pun masih lupa. Kebersihan misalnya. Apakah lingkungan kita telah bersih. Bukan sekedar iman tentu, kesehatan, kenyamanan dan keindahan akan sangat tertata kalau sudah bersih.
Ekonomi umat bagaimana? Kita akhirnya hanya sibuk seminar. Sementara renternir yang lahir dari umat itu sendiri berjumlah sangat banyak. Ramai, riuhrendah dan menguasai ekonomi umat. Lihat Mang Udin yang harus menggigit jari ketika panen tiba padahal dia taksir hasil panennya lebih dari membayar utang karena sebelumnya sudah berutang.
Bi Encih, pedagang ikan di kampung saya, Cisolok Sukabumi, sampai mencium kaki ibu dan bapak karena sudah dua tahun berdagang tak mendapatkan apa-apa selain harus membayar utang. Siapa renternir itu? Mereka umat Islam, demikian juga perusahaannya. Sementara, oleh Bapak dan Ibu diberikan pinjaman uang lebih dari cukup tanpa bunga dan diwajibkan membayar tiap hari, dengan cara menabung sampai jumlah utang pokoknya selesai. Bapak pun mengingatkan, uang itu ditabung di sekolah anak Bi Encih, agar tetap bisa menabung dan jika sudah cukup bisa melunasi utang dan jika tetap mau, bisa meminjam lagi dengan jumlah yang lebih besar.
Edi, saudara saya sekampung hampir saja berhenti sekolah karena tidak mampu membayar SPP. Beruntung ada seorang sahabat saya yang tak kaya-kaya amat, tapi punya hati mulia. Mungkin dia adalah sosok yang kaya hati.
Rizki yang diperoleh sahabat itu sepertinya sudah dia atur agar cukup untuk keluarganya, bisa menabung dan membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan.
Suatu hari, kami pun berbincang. Menurutnya, jika aku memiliki uang Rp 100 ribu, rasanya cukup bagi kami Rp 50.000 untuk dikonsumsi, 20 ribu untuk ditabung dan 30 ribu untuk disedekahkan.
Allahu Akbar, Subhanallah. Begitu mulianya sahabat ini. Tetangga dan saudaranya sangat hormat dan sayang padanya. Bagaimana tidak, 30 persen hartanya dia berikan untuk saudaranya yang membutuhkan. Alhamdulillah, aku bersyukur ternyata masih banyak saudara ku yang berpikir seperti ini.
Dia tidak ingin terlihat kaya, mewah. Cukup lah motor baginya untuk bergerak kemana-mana. Atau menggunakan angkutan umum saja. Tapi kalau ada permintaan sumbangan untuk kepentingan umum, dibandingkan mereka yang kaya raya, dia selalu terbesar, terdepan.
"Yang saya cari dan inginkan adalah kebahagiaan, bukan harta benda melimpah tapi kita kikir. Saya berlindung kepada Allah dari godaan harta yang membuat saya silau dengan dunia. Ketahuilah, berbagi menerangkan hati." Kata sahabat tersebut suatu ketika.
Kemiskinan dan pendidikan adalah problem utama umat Islam. Mengapa tidak perhatian kita dicurahkan untuk persoalan tersebut. Keilmuan, program dan aksi nyata hendaknya diarahkan untuk itu.
Mengapa kita tidak menggugat persoalan keuamatan dan kebangsaan yang nyata di depan mata. Malah sibuk dengan ragam wacana yang tak jelas juntrungannya hanya karena sekedar hendak mendapatkan rupiah atau dollar dari donor asing atasnama proyek. Naudzubillah. Itu bukan proyek, tapi jalan menuju neraka. Bukan kah itu pengkhianatan intelektual. Bukan kah itu hegemoni dan penjajahan baru.
Kini soal nyata itu bernama ekonomi dan pendidikan dan seluruh energi kita harus menyatu untuk itu. Karena itu, jadikahlah hidup kita penuh manfaat bukan menambah madharat. Biarkan lah Ka'bah ada dihatimu, seperti cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga tak ada waktu untuk kita sekedar membuang waktu dan menumpuk kesenangan duniawi semata. Tetaplah seimbang agar di dunia bahagia, di akhirat juga. Amin. Semoga

Graha Pena, 2 April 2009



Selesaikan Bacanya!......

Rabu, 01 April 2009

Jangan Sekedar Pesta Demokrasi

Hingar bingar pasar politik makin ramai saja. Begitu seorang kawan membuka perbincangan di kedai bubur kacang ijo, depan kantor. Ya, memang dagangan politik di sebuah pasar bernama Indonesia. Dagangan yang disertai beragam pesta, sehingga terasa meriah dan ramai.

"Aku khawatir, kita tidak memperhatikan produk yang ditawarkan dari dagangan itu kang," ujarku menimpali. "Jangan-jangan kita lebih senang melihat pestanya ketimbang produk yang dijual. Lebih tertarik memilih produk yang kemasannya bagus padahal kualitasnya nol. Bangsa ini nampaknya lebih senang dengan pesta, tertarik dengan pestanya dibanding memperhatikan hasil dari pesta dan perhelatan lima tahunan itu," sambung aku.
"Memang ini lah pasar politik kita kang. Jangan pernah terjebak di pesta, perhatikan outputnya. Jangan salah memilih pemimpin atau lebih baik nggak usaha milih aja," begitu kawan yang merupakan wartawan senior di Jawa Pos itu.
Pasar yang penuh hingar bingar para pedagang, pencopet, sales promotion girl (SPG), pedagang asongan, orang yang sekedar mau masuk ke pasar aja, cuci mata tapi tak niat belanja dan sebagainya. Pokoknya ramai dan sangat ramai, berdesak-desakan. Penuh gairah dan semuanya punya mimpi.
Berkisah soal pasar dan pesta, saya sangat khawatir jika saja kita lupa dan terlalu tenggelam asyik dalam pesta politik, lupa ada output bersama yang ingin dicapai.
Pemilu hanyalah pesta dari suatu keputusan bersama, falsafah politik bernama demokrasi. Dalam pemilu lah, pesta digelar dan diharapkan lahir para pemimpin bangsa yang benar-benar merealisasikan keinginan bangsa. Pemilu bukan sekedar pesta yang dari sisi ekonomi menghabiskan dana penggerak ekonomi sampai Rp 30 triliun. Pemilu, lebih merupakan upaya bersama mendapatkan pemimpin terbaik, dimana cita-cita berbangsa direalisasikan.
Dalam pemilu itu lah ada jualan, agar dagangannya laku, setiap kandidat harus mampu menjual dirinya dengan baik. Kalau kita perhatikan, calon Presiden-Wakil Presiden selain memerlukan basis masa riil, mesin politik yang produktif, juga harus mampu mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang memang tepat untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Maka tidak pelak lagi, mereka harus memoles dirinya dengan publikasi besar-besaran baik melalui media masa baik elektronik, cetak, media luar luar seperti billboard, baligho, bahkan melalui berbagai media alternatif seperti pamplet, spanduk, dan sticker. Para kandidat harus berusaha menampilkan citra positif atas dirinya, sehingga diharapkan rakyat akan memberikan kepercayaan politik kepada dirinya.
Dalam berkampanye, para calon Presiden-Wakil Presiden dan teamnya berusaha menampilkan diri sebagai sosok yang relatif sempurna. Kontrak politik, pendidikan murah, pembukaan lapangan kerja sebesar-besarnya, pemberantasan korupsi, harga murah, ketertiban dan keamanan serta jaminan sosial (kesejahteraan) menjadi bahan kampanye yang tidak habis-habisnya disampaikan oleh para juru kampanye masing-masing calon. Lagu lama itu diputar kembali dengan harapan rakyat akan terpengaruh dan kemudian memilihnya.
Kita mungkin layak menyebut diri sebagai bangsa pemimpi. Bahkan kitapun jangan-jangan akan dipimpin oleh para pemimpi. Dimana janji-janji saat kampanye hanya menjadi omong kosong yang sulit terealisasi. Kampanye hanya menjadi ajang pesta pora dan bukan sebagai ajang presentasi visi dan misi para kandidat.
Pemilu bukanlah “permainan” atau “hiburan”, demikian syair lagu Iwan Fals dalam albumnya “Manusia Setengah Dewa”. Kita adalah pemilik kedaulatan negeri ini. Kita hanya menitipkannya kepada mereka kedaulatan, dan berhak menagihnya kembali.
Siapapun calon Presiden dan Wakil Presidennya, mereka tentu dapat membungkus dirinya dengan tampilan kebaikan dan janji. Siapapun tentu akan mengklaim dirinya bersih, jujur, dan amanah. Tetapi, realitas objektifnya belum tentu demikian adanya. Karenanya, publik (baca:rakyat) harus memperoleh informasi berimbang yang tidak hanya dari seluruh team kampanye, tetapi dari media dan pengamat. Sehingga akan diperoleh informasi imbang mengenai track record para calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan dipilih nanti.
Memilih Secara Kritis
Bagi kita sebagai pemilih, kekritisan menjadi sikap politik penting yang diperlukan. Kita jangan sampai terbius oleh janji-janji para calon Presiden-Wakil Presiden. Segala bentuk upaya kecurangan seperti money politic harus dijadikan catatan untuk menilai apakah mereka layak kita titipi amanah atau tidak.
Ada beberapa informasi objektif yang harus kita miliki sebelum memilih. Pertama, ketahuilah track record masing-masing kandidat. Terkait didalamnya mengenai kekayaan, keluarga, hubungannya dengan rezim politik masa lalu dan prestasi yang dilakukannya selama ini. Hal ini diperlukan untuk menilai kualitas pribadi para kandidat. Bukan hanya informasi searah dari para tim kampanye yang harus kita ketahui, tetapi informasi dari berbagai sumber yang objektif seperti media masa dan para pakar.
Keterkaitan kandidat dengan rezim masa lalu -yang telah membawa kehancuran negeri ini dengan merajalelanya korupsi,kolusi dan nepotisme- menjadi salah satu bahan pertimbangan kita selaku pemilih, karena apabila mereka yang terkait dengan rezim masa lalu menjadi Presiden negeri ini, akan sulit diperoleh keputusan tegas darinya. Hal ini terjadi karena ada beban sejarah dan politik kepentingan "saling menyelamatkan" diantara mereka.
Apakah kita tidak merasa akan dibodohi lagi? Atau jangan-jangan memang kita masa bodoh dan menganggap memilih mereka sama-sama saja, karena tidak ada perbaikan yang berarti. Atau karena tergiur oleh iming-iming materi yang tidak seberapa dan sesaat.
Kedua, ketahuilah visi misi dan program kerja setiap kandidat. Semua program yang disampaikan oleh para kandidat atau tim kampanyenya sangat luar biasa karena memang disusun oleh para ahli. Persoalannya terletak pada sejauhmana tingkat kongkritisasi program sehingga mereka benar-benar mampu merealisasikannya. Siapakah yang akan dipercaya untuk merealisasikannya dan bagaimana kemungkinan pencapaiannya?
Publik bersama-sama harus berusaha dan diberikan hak mengetahui bagaimana program kerja kongkret, siapa menterinya, dan apa target yang hendak dicapai dalam 100 hari pertama. Inilah bentuk kontrak sosial-politik yang penting dilakukan oleh publik atas calon Presiden dan Wakil Presiden. Apabila tidak dilakukan upaya tersebut, dipastikan kita akan kembali menjadikan Pemilu Presiden-Wakil Presiden pertama ini sebagai ajang pesta sesaat yang hanya akan menghasilkan rezim baru yang sama sekali tidak akan memberikan perbaikan nasib bangsa.
Ketiga, dapatkan informasi objektif mengenai sekeliling para kandidat. Informasi ini penting untuk membaca arah policy yang akan dikeluarkan ketika mereka terpilih nanti. Apakah yang menjadi team kandidat tersebut adalah para tikus bangsa atau yang merugikan umat? Pertanyaan ini harus diajukan karena ditangan Presiden akan dihasilkan keputusan yang menyangkut hajat hidup warga bangsa ini. Kitapun berhak mengetahui siapa, organisasi apa yang mendukung para kandidat tersebut.
Keempat, pastikan kita terlibat aktif dalam proses Pemilu ini dengan menjadi pengawas, sehingga kita dapat menemukan kandidat manakah yang banyak melakukan pelanggaran dan kandidat mana yang tidak atau lebih sedikit. Terlebih berkaitan dengan money politic, pastikan kita tidak memilih calon Presiden-Wakil Presiden yang melakukan money politic.
Semoga saja kita bukan bangsa pelupa dan pemimpi. Oleh karena itu, mari kita pilih Presiden-Wakil Presiden yang amanah agar tercipta kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Kemudian secara bersamaan kita tumbuhkan gerakan kultural yang mampu bersinergi dan mengkritisi setiap kebijakan negara demi merealisasikan mimpi-mimpi bangsa.
Merealisasikan mimpi bangsa bukanlah pekerjaan sederhana. Sehingga seluruh elemen bangsa harus bersinergi satu sama lain. Mimpi bangsa telah dicanangkan dengan jelas dalam teks-teks konstutusi dan falsafah negeri ini. Mimpi bangsa telah dipancangkan oleh para founding father bangsa, persoalannya terletak kepada political will pemerintah dan dukungan warga bangsa. Momentum pemilihan Presiden-Wakil Presiden harus dijadikan langkah perbaikan bangsa. Masihkah kita ingin menonton dagelan politik dan hukum yang bertentangan dengan rasa keadilan. Apakah kita mau mimpi indah tentang kesejahteraan itu akan sirna dengan mimpi buruk bangsa yang ada diambang kehancuran. Karenanya, sebagai sumbangsih kepada bangsa kita harus menjadi pemilih yang kritis.
Nuranilah yang harus menuntun kita menentukan pilihan politik. Bukan karena sedikit sumbangan (baca:money politic) atau keterpesonaan kita akan pribadi kandidat yang lebih banyak manipulasinya tinimbang kenyataan yang sebenarnya. Semoga Tuhan membukakan hati kita untuk memilih kandidat terbaik untuk memimpin negeri ini dan memberikan kita kekuatan memberdayakan diri dan yang lain demi masa depan bangsa yang lebih baik. Jangan terjebak dengan pesta, karena itu hanya kampulase dan peramai saja. Lampu pesta pasti menyilaukan, tapi bukan berarti kita silau dan tak tahu mana yang baik dan sekedar polesan kan? Semoga…

Graha Pena Jakarta, 1 April 2009




Selesaikan Bacanya!......

Selasa, 31 Maret 2009

Cape Euy...

Pekerjaan itu tidak pernah habis. Begitu seorang sahabat mengingatkan, ketika saya curhat, sedang cape banyak pekerjaan banget. Maklum lah, dari mulai bikin artikel, makalah kuliah, makalah presentasi seminar, berita, advertorial, konsep program dan yang lainnya semuanya harus beriringan mengantri sesuai jam dan waktu yang telah ditentukan dan sepakati.

Belum lagi jadwal rapat, meeting dengan beberapa petinggi, rapat program dengan mitra usaha, ke kampus, perjalanan jakarta-bandung, membuat saya seperti lupa diri, yen awak teh sanes robot. Begitu seorang sahabat lain mengingatkan agar kesehatan tetap dijaga.
Tapi ya itu, ari nuju resep mah, terus saja semuanya dimainkan. Bergerak dan terus bergerak. Tapi yah, di kantor untung ada mas yatmo. Di bumi juga untung ada mang agus, tukang pijit yang bikin badan nu pararegel teh rada raos. Belum lagi menu madu, antangin dan multivitamin menjadi kawan seperjuangan. Ya, termasuk, pikiran itu tetap dibuat relax, karena walau kita tertekan stress, tetap bisa menjaga diri agar selalu santai. Be enjoy friend, begitu seorang sahabat selalu mengingatkan. Kalah, salah, cape, rumit, banyak pekerjaan adalah permainan indah yang harus dinikmati dan terus dizinahi. Supaya, menjadi menang, benar, tetap segar, mudah dan terkesan pekerjaan tak banyak.
Senyum dalam perjuangan adalah kisah awal dan akhir yang tak boleh terpisah karena ada tangis di tengahnya. Senyum dan tertawa lah yang harus mendominasi walau tangis tentu tetap ada.
Cape, ya cape. Tapi begitu lah hidup. Semakin cepat mesin dan gas ini dipacu, maka anginnya pun semakin kencang menerpa kita. Jangan bayangkan di mobil, karena sesungguhnya di mobil pun, angin itu kencang menerpa. Teu karaos we, da kahalangan ku kaca mobil. Makanya mobil itu, untuk yang sport, cenderung dibuat lancip, model sedan, itu semata-mata untuk mengurangi arus lawanan angin yang akan membuat gesekan dan mengurangi kecepatan.
Apalagi para bikers, pasti karaos pisan kalau kecepatan itu semakin kencang, angin pun sanes ti payun wae, dari depan pinggir pun menggoyang.
Ini sekedar ilustrasi aja, betapa gangguan itu pasti ada. Godaan itu selalu ada. Demikian lah, dalam hidup, semuanya penuh ujian dan tantangan. Hanya tinggal kita menyikapinya.
Ketika kaya kita diuji, demikian juga sebaliknya. Di kantor, di rumah atau dalam kehidupan bermasyarakat, semuanya juga menguji dan menilai kita. Kalau ada yang menguji untuk sekedar mengetes kemampuan, ya biasa aja. Pokoknya terus aja jalan, menuju tujuan. Tong gedag kaanginan, lempes kaibunan. Terus maju pantang mundur.
Seperti menulis, menjalankan kaki melakukan aktivitas adalah rantai catatan hidup yang harus terus diukir. Jika salah, segeralah perbaiki, jika benar, terus meneruslah lakukan. Jangan puas dengan prestasi, tapi jangan kejar prestise karena yang silau prestise hanya akan menumpuk prestise untuk dijual dengan menggadaikan harga diri. Naudzubillah.
Kita makhluk merdeka. Bekerjalah, maka engkau eksis. Begitu Karl Marx mengingatkan. Berpikir lah, maka engkau ada, demikian Rene Descartes mengubah peradaban manusia dari kegelapan menjadi modern dan semakin canggih. Ini hidup, jadikan lah setiap helaan napas ini sebagai ibadah dalam peran sebagai pelayan (ábdi) dan sebagai khalifah di muka bumi. Ingat lah, sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi yang lain.
Karena itu, bangun lah komunikasi dan komunitas, jadikanlah waktu sebagai patokan perjuangan. Cape hanya lah bagian dari romantika hidup. Sahabat saya bahkan bilang: "orang lain mah banyak yang nganggur, didinya mah dugi bingung ke saking banyak pekerjaan." Katanya mengingatkan.
Saya hanyalah manusia dhoif, berjalan, bergerak tiada henti untuk keluarga, umat, bangsa dan kemanusiaan. Ya Allah, jadikanlah, aku manusia bermanfaat bagi manusia lain. Amin.


Graha Pena Jakarta
31 Maret 2009




Selesaikan Bacanya!......

Senin, 16 Maret 2009

Deadline Yeuh...

Malam semakin larut, ketika di kantor sudah menunjukkan jam 23.34 WIB. Ruang redaksi masih terus rame dengan suara kawan-kawan dan musik yang saling bersahutan. Keramaian pun masih bertahan, seperti bertahannya saya dalam kantuk yang semakin tak tertahankan. Tapi malam ini deadline bung. Hukumnya wajib ain kami melek sampai naskah yang dilayout benar-benar aman untuk dikirim ke percetakan di Tambun Bekasi. Pake teknologi serat optik, butuh satu menit saja pengiriman dari kantor Graha Pena, di daerah Permata Hijau, Jaksel sampai ke Tambun.
Walau ngantuk, usus perut terus protes meminta diisi. Ya, sudah, beruntung ada Mas Yatno, tukang pijit kami yang siaga 1 membelikan makan. Semenjak Bastian (pedagang pinggir kantor dilarang manajemen building menjual langsung makanan), membeli makanan menjadi hal mahal. Males kadang, dari lantai 9 harus turun ke bawah, makan. Lebih baik nyurun Mas Yatno beliin. Tapi ya itu, harga makanan paling Rp 8 ribu, nyuruhnya jadi Rp 18.000. Mas yatno adalah bekas Office boy di kantor kami yang sudah pensiun. Demi bertahan hidup, hampir tiap malam dia datang ke kantor. Sekedar memijit kawan-kawan atau disuruh-suruh kami membeli makan. Dia selalu siaga 1 untuk kami dan karena itu lah kerjaan sebanyak apapun selalu terbantu Mas Yatno yang sepintas nggak ada fungsinya.
Tapi, kalau kita ingat setiap orang ada fungsi penting dalam kehidupan kita, niscaya kita berusaha memelihara hubungan dan terus mengembangkan jaringan. Saya membayangkan kalau Mas Yatno, atau staf saya termasuk Mas Indra (OB kami) yang bertugas dari jam 7 pagi ampe jam 8 malam tak ada, banyak kebutuhan kami yang akan terganggu.
Ini lah hidup, yang di atas nggak ada jika tak ada yang di bawah. Tak ada bos kalau tak ada staf, tak ada jenderal tanpa kopral. Kalau sinergi tercipta, saling mengisi, menghormati dan tau diri, ya Allah, harmonis lah hidup ini ya.
Tapi, demikian lah, selain menciptkan malaikat yang setiap saat mengabdi, Tuhan pun menciptakan iblis yang setiap saat mengganggu manusia karena demikianlah janjinya kepada Tuhan. Nah, manusia pun diciptakan. Tugasnya jelas menjadi khalifah dan abdi Allah. Karena peran itu lah, kebudayaan berkembang, semuanya berkembang, menjadi peradaban dan kemajuan manusia.
Sebagai lingkar kecil dan lingkar besar kehidupan, mas Yatno, staf di kantor, Indra, dan yang lainnya, termasuk selembar rambut saya juga, adalah bagian dari hidup yang harus dilayani dan dijaga, dirawat dan disayangi. Hidup kita adalah satu sistem, demikian juga dunia ini seperti butterfly effect, hidup adalah kesatuan. Ini beda dengan manusia yang berpikir hidup untuk dirinya sendiri, dunia miliknya sendiri, yang lain hanya ngontrak saja.
Kembali ke soal deadline, saya jadi ingat, hidup kita juga mengenal deadline, waktu shalat ada deadlinenya, demikian juga jatah hidup. Awas ah lewat deadline, kalau saya di kantor, lewat deadline, big boss marah karena orang percetakan ngasih laporan, kiriman ke percerakan dari kantor telat, ya selain dimarahi, hukuman lainnya bisa berupa pengurangan bonus. Yang jelas deadline jangan dilanggar. Karena tidak baik, akan membuat kita sengsara bung.


Graha Pena Jawa Pos Jakarta,


Salam Hangat,



Iu Rusliana


Selesaikan Bacanya!......

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.