Jumat, 12 Februari 2010

Melayani Bencana Alam dengan Iman

Pikiran Rakyat (PR), pernah memberitakan tentang 21 Kabupaten di Jawa Barat berpotensi longsor, Jumat (5/2). Selain itu, bencana banjir masih dan terus terjadi di beberapa daerah. Korban jiwa pun terus berjatuhan. Secara ekonomi dan sosial, kerugian terus bertambah. Belum lagi jika bicara kesehatan baik dampak langsung banjir (dengan mewabahnya berbagai penyakit) dan terganggunya infrastruktur akibat longsor.

Apakah fenomena tahunan ini belum juga membuat kita menginsyafi, bahwa banyak sekali tindakan konyol dan keliru yang telah dilakukan terhadap alam ini? Bahwa pembangunan yang dilakukan atasnama kemajuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, ketika dilakukan tanpa mengindahkan keserasian lingkungan, telah menyimpan bom waktu dan kini saban tahun kita merasakannya.
Bukankah proyek rehabilitasi hutan dananya cukup besar. Namun ironisnya seperti tak berdampak dan tak jelas juntrungannya, kemana dan dimana reboisasi itu dilakukan.
Berbagai kritik dan wacana soal kebijakan pembangunan yang tidak peduli lingkungan sudah banyak dibicarakan. Namun ada sisi lain yang barangkali belum banyak yang mendiskusikan, yaitu dari sisi keimanan, agama apapun itu.
Sebagai manusia beragama, ada baiknya kembali mengingatkan diri, bahwa ada perilaku yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai keagamaan. Sederhana kelihatannya, seperti membuang sampah sembarangan dan yang lainnya.
Dari bencana alam yang terjadi saban tahun, harusnya ada sikap teologis yang dibangun, dibudayakan dan diinternalisasikan dalam setiap kita, sebagai manusia beriman.

Teologi Lingkungan
Dalam beragama, nilai agama harus menjadi sandaran nilai dalam bertindak. Dengan demikian, seluruh tindakan manusia seyogyanya disandarkan kepada nilai agama, karena jika tidak dilakukan, merupakan dosa.
Banjir dan longsor adalah fenomena alam, yang harus diakui pula, cukup besar peran manusia menyebabkannya. Jika dikaitkan dengan agama, bagaimana agama memahami bencana alam tersebut?
Secara historis, bencana banjir dan longsor terkait dengan perilaku manusia yang telah sewenang wenang dan menjadikan dosa sebagai keseharian. Durhaka menjadikan manusia lupa. Akibat dari itu, Tuhan menurunkan azabnya seperti itu terjadi kepada umat nabi Nuh As.
Lebih lanjut, dalam Islam, lingkungan baik itu sosial maupun lingkungan alam merupakan satu kesatuan karena sama-sama merupakan ciptaan Allah Swt. Merusak lingkungan adalah perbuatan dosa.
Secara sederhana, beriman yang utuh bukan hanya dengan melakukan ibadah ritual seperti shalat, puasa dan yang lainnya. Beriman yang utuh juga dicerminkan dengan perilaku menjaga lingkungan alam dari kerusakan. Ini lah inti dasar prinsip teologi lingkungan.
Dalam Islam, merusak alam sangat tidak disukai Allah Swt. Dalam berbagai ayat al-Quran, Allah Swt telah diberikan berbagai peringatan. Misalnya dalam al-Qur’an surat Ar-Ruum (31): 41 yang menyatakan: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Pada surat lainnya, Allah memperingatkan, bahwa yang membuat kerusakan adalah yang melampaui batas. Misalnya dalam Asy-Syu`araa` (26): 152 yang menyatakan: “Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas.”
Ayat berikutnya menyatakan yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan. Sesungguhnya, bukan hanya Islam yang mengajarkan kewajiban menjaga alam, agama lainpun demikian adanya.
Apa yang diperintahkan al-Qur’an untuk memanfaatkan, menjaga dan melindungi alam dari kerusakan itu lah yang disebut teologi lingkungan Islam. Teologi lingkungan diharapkan melahirkan sikap arif kepada alam (kearifan kosmologis). Ada beberapa prinsip teologi lingkungan.
Pertama, iman sejatinya adalah dibuktikan dengan upaya melindungi alam dari berbagai kerusakan. Iman dalam Islam, termasuk di dalamnya membuang duri di jalan. Artinya, jangan pernah merusak alam karena itu sama dengan sikap kafir (pembangkangan).
Kedua, bukan alam yang menyesuaikan dengan kehendak manusia, tapi manusia lah yang harus menyesuaikan dirinya dengan alam. Alam diciptakan oleh Tuhan dengan prinsip kausalitas, qadha dan qodarnya. Alam diciptakan Tuhan berikut potensinya.
Jika memperhatikan prinsip awal teologi lingkungan, tidak ada istilah pembangunan pemukiman dan kota yang memberikan potensi banjir. Sistem pengairan suatu pembangunan harus diatur dengan sangat baik. Daerah serapan air harus dijaga jangan sampai menjadi perumahan atau dijadikan villa. Demikian juga, sampah harus dikelola dengan baik sehingga tidak menyumbat selokan atau gorong-gorong jalan.
Ketiga, alam tidak pernah menghancurkan manusia, tapi manusialah yang merusak alam. Karena itu, sebaiknya dikembangkan sikap peduli terhadap alam di seluruh lapisan masyarakat.
Keempat, dalam konsep teologi lingkungan, alam, tumbuhan, hewan, dan manusia harus harmonis dalam satu kesatuan. Sebagai sebuah siklus kehidupan, semuanya pada hakikatnya tetap. Namun, berbagai pengrusakan alam, pembunuhan hewan, perusakan sumber daya alam membuat terjadinya ketidakseimbangan kosmos. Menggunakan teori efek kupu-kupu, alam ini adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Membunuh seekor ulat di belah bumi barat, akan merusak ekosistem belahan bumi lain.
Kini, bukan hanya soal kita, tapi generasi anak cucu ke depan. Haruskah kita mewariskan kerusakan akibat bencana alam yang saban tahun datang? Marilah bersama bertindak mengantisipasi bencana dan membangun budaya yang peduli lingkungan. Ini bukan sekedar dosa. Jangan sampai tangis sedih terus mewarnai hidup kita. (PR, 12/2/2010)






Selesaikan Bacanya!......

Senin, 01 Februari 2010

Merindukan Kota Ramah

Membayangkan kota yang hijau, sejuk, tenang, taman kota dimana-mana, ruang publiknya cukup, pasokan air bersih dan listriknya terjamin, serta keamanannya terjaga, rasanya sudah mulai sulit. Di area publik, ketidaktertiban menjadi keseharian. Lihatlah pasar, jalanan, kesemerawutan terlihat nyata.

Akibatnya, warga pun sudah imun (kebal) dan ikut-ikutan melakukan kebiasaan buruk. Membuang sampah sembarangan, berjualan di pinggir jalan atau trotoar, atau tidak mau memberikan kesempatan ke penyebrang jalan padahal di zebra cross dan perilaku tidak ramah lainnya.
Dari parameter ini, dapat dikatakan, kota Bandung, Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia telah menjadi kota yang tak ramah. Polusi udara, kesemerawutan tata kota, tiadanya ruang publik (jika pun ada sudah pada rusak), sampah yang menggunung, banjir yang saban tahun mengintai dan keamanan yang tak terjamin.

Revolusi BudayaDalam banyak kesempatan melakukan perjalanan di dalam Kota Bandung, dan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), sebuah pertanyaan menggugat kerap muncul, benarkah orang Indonesia itu ramah? Pertanyaan ini hadir ketika melihat fenomena pengguna jalan yang ugal-ugalan, tak mau mengalah, bunyi klakson yang nyaring bersahutan disertai dengan asap hitam dari knalpot mobil angkutan umum yang telah penuh namun terus menaikkan penumpang.
Apakah ini fenomena sosial budaya masyarakat di negara berkembang? Ya, ini merupakan salah satu fenomena sosial masyarakat berkembang. Dari sisi psikologi sosial, ini merupakan bentuk protes, apatisme, frustasi dan kemarahan serta kebosanan atas ketimpangan dan ketidakadilan yang dirasakan warga.
Jika pejabat atau kelompok sosial tertentu yang lewat, jalan pun lenggang tak macet karena dikawal aparat. Sementara, warga yang nota bene sebagai pemilik sah kedaulatan republik ini harus siap berdesak-desakan ketika ingin kendaraan umum, panas-panasan atau hujan-hujanan di jalan, terpaksa di selasar rumah sakit karena tak mampu membayar ruang VIP.
Menggunakan sepeda hanya buat badan kotor dan berdebu saja karena tidak ada jalur khusus yang disediakan. Penyandang cacat, anak-anak dan orang tua, lebih baik diam saja di rumah, karena sedikit ruang publik yang mengakomodasi kebutuhan mereka.
Disparitas sosial yang semakin lebar menyebabkan frustasi sosial. Semuanya pun ingin jadi penguasa. Maka lihatlah di jalanan, semuanya bergerak kencang, pengendara motor, mobil pribadi, angkutan umum pun senang ugal-ugalan. Mereka saling salip dan tak ada kesempatan bagi pejalan kaki atau pengendara sepeda.
Warga akan sakit jika kotanya tidak ramah. Tentu saja bukan sekedar sakit dari sisi medis, tapi secara sosial dan budaya. Karena itu, diperlukan suatu gerakan kebudayaan dalam bentuk revolusi.
Revolusi kebudayaan meliputi pembenahan aturan dan penegakkannya. Dalam hal ini, tugas pemerintah pusat dan daerah yang melakukan penertiban. Jangan pernah mau jadi kacung dari para cukong. Memang akan sulit jika pemerintahannya korup.
Revolusi budaya juga meliputi upaya membangun budaya tertib, anti korupsi dan peduli lingkungan. Awalnya bisa dengan menegakkan hukum. Namun, selanjutnya akan menjadi kebiasaan (budaya) hidup tertib. Pelayan publik tahu diri sehingga tidak sengaja mempersulit dan mau disuap. Warga yang mengurus berbagai keperluan juga tidak mau menyuap.
Revolusi budaya juga berarti merevitalisasi nilai agama dalam keseharian. Semua agama mengajarkan bahwa ciri orang beriman adalah hidup dengan tertib, menjaga lingkungannya selalu bersih dan aman.

Revitalisasi Kota Kota ramah menjadikan warganya dapat memenuhi seluruh hak dasarnya dalam bidang pelayanan publik. Pemimpin di kota ramah menyadari benar, yang harus dilayani adalah seluruh warga kota dari berbagai golongan dan kelompok sosial. Jadi, tidak ada alasan untuk berpihak kepada cukong atau pemilik modal dengan mengesampingkan hak warga atas ruang publik dan berbagai pelayanan umum lainnya. Warga lah yang menjadi pemilik sah kota atau daerah tersebut.
Kota ramah mengandung beberapa ciri. Pertama, tersedianya ruang publik yang cukup bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk untuk anak-anak, penyandang cacat dan orang tua. Ruang publik itu antara lain; taman kota tempat bermain, sarana olah raga, trotoar yang khusus untuk pejalan kaki (utamanya untuk penyandang cacat dan orang tua), gedung yang terpenuhinya prasyarat Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3) juga tersedianya jalur khusus sepeda. Termasuk di dalamnya area untuk melakukan demonstrasi dan menyampaikan berbagai kritik dan masukan dari warga kota kepada pemimpinnya. Ketersediaan listrik dan air bersih pun tercukupi. Pemukiman sehat bagi warga miskin tersedia.
Kedua, efektifnya berbagai peraturan yang menertibkan warga. Aturan soal membuang sampah, merokok dan yang terkait dengan ketertiban umum harus ditegakkan.
Ketiga, berbagai kebutuhan ekonomi terpenuhi dengan baik. Pedagang Kaki Lima (PKL), toko-toko, mini market, pasar tradisional dan hyper market diatur sedemikian rupa sehingga keberadaannya tidak menimbulkan kemacetan dan tidak mengotori lingkungan.
Keempat, kota yang ramah adalah kota yang kegiatan politiknya efisien. Pemilihan langsung yang dilakukan telah memberi ruang untuk melakukan kontrak politik dengan para pemimpin politik kota. Namun, entah rakyatnya sudah lupa atau bosan menagih janji kampanye, atau pemimpin yang terpilih bebal dan tak tahu malu melupakan janji soal pelayanan publik yang akan disediakan jika dirinya terpilih.
Kegiatan politik yang efisien juga ditandai dengan adanya tempat berdemonstrasi dan pusat keramaian. Demikian juga, dalam pelayanan berbagai perizinan dan kepentingan warganya, semuanya serba cepat, mudah dan murah.
Kelima, keamanannya terjamin. Bukan preman atau suruhan oknum aparat keamanan yang jadi penguasanya. Kota ramah menjadikan aparat hukumnya berwibawa. Semuanya tentu perlu pembiasaan, pengawasan dan teladan dari para pemimpinnya. Harus ada gerakan kebudayaan. Mimpi mungkin ini akan tercipta. Tapi jika tidak dimulai dari sekarang dan oleh diri kita, kapan lagi kota ramah akan tercipta.






Selesaikan Bacanya!......

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.