Rabu, 01 April 2009

Jangan Sekedar Pesta Demokrasi

Hingar bingar pasar politik makin ramai saja. Begitu seorang kawan membuka perbincangan di kedai bubur kacang ijo, depan kantor. Ya, memang dagangan politik di sebuah pasar bernama Indonesia. Dagangan yang disertai beragam pesta, sehingga terasa meriah dan ramai.

"Aku khawatir, kita tidak memperhatikan produk yang ditawarkan dari dagangan itu kang," ujarku menimpali. "Jangan-jangan kita lebih senang melihat pestanya ketimbang produk yang dijual. Lebih tertarik memilih produk yang kemasannya bagus padahal kualitasnya nol. Bangsa ini nampaknya lebih senang dengan pesta, tertarik dengan pestanya dibanding memperhatikan hasil dari pesta dan perhelatan lima tahunan itu," sambung aku.
"Memang ini lah pasar politik kita kang. Jangan pernah terjebak di pesta, perhatikan outputnya. Jangan salah memilih pemimpin atau lebih baik nggak usaha milih aja," begitu kawan yang merupakan wartawan senior di Jawa Pos itu.
Pasar yang penuh hingar bingar para pedagang, pencopet, sales promotion girl (SPG), pedagang asongan, orang yang sekedar mau masuk ke pasar aja, cuci mata tapi tak niat belanja dan sebagainya. Pokoknya ramai dan sangat ramai, berdesak-desakan. Penuh gairah dan semuanya punya mimpi.
Berkisah soal pasar dan pesta, saya sangat khawatir jika saja kita lupa dan terlalu tenggelam asyik dalam pesta politik, lupa ada output bersama yang ingin dicapai.
Pemilu hanyalah pesta dari suatu keputusan bersama, falsafah politik bernama demokrasi. Dalam pemilu lah, pesta digelar dan diharapkan lahir para pemimpin bangsa yang benar-benar merealisasikan keinginan bangsa. Pemilu bukan sekedar pesta yang dari sisi ekonomi menghabiskan dana penggerak ekonomi sampai Rp 30 triliun. Pemilu, lebih merupakan upaya bersama mendapatkan pemimpin terbaik, dimana cita-cita berbangsa direalisasikan.
Dalam pemilu itu lah ada jualan, agar dagangannya laku, setiap kandidat harus mampu menjual dirinya dengan baik. Kalau kita perhatikan, calon Presiden-Wakil Presiden selain memerlukan basis masa riil, mesin politik yang produktif, juga harus mampu mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang memang tepat untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Maka tidak pelak lagi, mereka harus memoles dirinya dengan publikasi besar-besaran baik melalui media masa baik elektronik, cetak, media luar luar seperti billboard, baligho, bahkan melalui berbagai media alternatif seperti pamplet, spanduk, dan sticker. Para kandidat harus berusaha menampilkan citra positif atas dirinya, sehingga diharapkan rakyat akan memberikan kepercayaan politik kepada dirinya.
Dalam berkampanye, para calon Presiden-Wakil Presiden dan teamnya berusaha menampilkan diri sebagai sosok yang relatif sempurna. Kontrak politik, pendidikan murah, pembukaan lapangan kerja sebesar-besarnya, pemberantasan korupsi, harga murah, ketertiban dan keamanan serta jaminan sosial (kesejahteraan) menjadi bahan kampanye yang tidak habis-habisnya disampaikan oleh para juru kampanye masing-masing calon. Lagu lama itu diputar kembali dengan harapan rakyat akan terpengaruh dan kemudian memilihnya.
Kita mungkin layak menyebut diri sebagai bangsa pemimpi. Bahkan kitapun jangan-jangan akan dipimpin oleh para pemimpi. Dimana janji-janji saat kampanye hanya menjadi omong kosong yang sulit terealisasi. Kampanye hanya menjadi ajang pesta pora dan bukan sebagai ajang presentasi visi dan misi para kandidat.
Pemilu bukanlah “permainan” atau “hiburan”, demikian syair lagu Iwan Fals dalam albumnya “Manusia Setengah Dewa”. Kita adalah pemilik kedaulatan negeri ini. Kita hanya menitipkannya kepada mereka kedaulatan, dan berhak menagihnya kembali.
Siapapun calon Presiden dan Wakil Presidennya, mereka tentu dapat membungkus dirinya dengan tampilan kebaikan dan janji. Siapapun tentu akan mengklaim dirinya bersih, jujur, dan amanah. Tetapi, realitas objektifnya belum tentu demikian adanya. Karenanya, publik (baca:rakyat) harus memperoleh informasi berimbang yang tidak hanya dari seluruh team kampanye, tetapi dari media dan pengamat. Sehingga akan diperoleh informasi imbang mengenai track record para calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan dipilih nanti.
Memilih Secara Kritis
Bagi kita sebagai pemilih, kekritisan menjadi sikap politik penting yang diperlukan. Kita jangan sampai terbius oleh janji-janji para calon Presiden-Wakil Presiden. Segala bentuk upaya kecurangan seperti money politic harus dijadikan catatan untuk menilai apakah mereka layak kita titipi amanah atau tidak.
Ada beberapa informasi objektif yang harus kita miliki sebelum memilih. Pertama, ketahuilah track record masing-masing kandidat. Terkait didalamnya mengenai kekayaan, keluarga, hubungannya dengan rezim politik masa lalu dan prestasi yang dilakukannya selama ini. Hal ini diperlukan untuk menilai kualitas pribadi para kandidat. Bukan hanya informasi searah dari para tim kampanye yang harus kita ketahui, tetapi informasi dari berbagai sumber yang objektif seperti media masa dan para pakar.
Keterkaitan kandidat dengan rezim masa lalu -yang telah membawa kehancuran negeri ini dengan merajalelanya korupsi,kolusi dan nepotisme- menjadi salah satu bahan pertimbangan kita selaku pemilih, karena apabila mereka yang terkait dengan rezim masa lalu menjadi Presiden negeri ini, akan sulit diperoleh keputusan tegas darinya. Hal ini terjadi karena ada beban sejarah dan politik kepentingan "saling menyelamatkan" diantara mereka.
Apakah kita tidak merasa akan dibodohi lagi? Atau jangan-jangan memang kita masa bodoh dan menganggap memilih mereka sama-sama saja, karena tidak ada perbaikan yang berarti. Atau karena tergiur oleh iming-iming materi yang tidak seberapa dan sesaat.
Kedua, ketahuilah visi misi dan program kerja setiap kandidat. Semua program yang disampaikan oleh para kandidat atau tim kampanyenya sangat luar biasa karena memang disusun oleh para ahli. Persoalannya terletak pada sejauhmana tingkat kongkritisasi program sehingga mereka benar-benar mampu merealisasikannya. Siapakah yang akan dipercaya untuk merealisasikannya dan bagaimana kemungkinan pencapaiannya?
Publik bersama-sama harus berusaha dan diberikan hak mengetahui bagaimana program kerja kongkret, siapa menterinya, dan apa target yang hendak dicapai dalam 100 hari pertama. Inilah bentuk kontrak sosial-politik yang penting dilakukan oleh publik atas calon Presiden dan Wakil Presiden. Apabila tidak dilakukan upaya tersebut, dipastikan kita akan kembali menjadikan Pemilu Presiden-Wakil Presiden pertama ini sebagai ajang pesta sesaat yang hanya akan menghasilkan rezim baru yang sama sekali tidak akan memberikan perbaikan nasib bangsa.
Ketiga, dapatkan informasi objektif mengenai sekeliling para kandidat. Informasi ini penting untuk membaca arah policy yang akan dikeluarkan ketika mereka terpilih nanti. Apakah yang menjadi team kandidat tersebut adalah para tikus bangsa atau yang merugikan umat? Pertanyaan ini harus diajukan karena ditangan Presiden akan dihasilkan keputusan yang menyangkut hajat hidup warga bangsa ini. Kitapun berhak mengetahui siapa, organisasi apa yang mendukung para kandidat tersebut.
Keempat, pastikan kita terlibat aktif dalam proses Pemilu ini dengan menjadi pengawas, sehingga kita dapat menemukan kandidat manakah yang banyak melakukan pelanggaran dan kandidat mana yang tidak atau lebih sedikit. Terlebih berkaitan dengan money politic, pastikan kita tidak memilih calon Presiden-Wakil Presiden yang melakukan money politic.
Semoga saja kita bukan bangsa pelupa dan pemimpi. Oleh karena itu, mari kita pilih Presiden-Wakil Presiden yang amanah agar tercipta kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Kemudian secara bersamaan kita tumbuhkan gerakan kultural yang mampu bersinergi dan mengkritisi setiap kebijakan negara demi merealisasikan mimpi-mimpi bangsa.
Merealisasikan mimpi bangsa bukanlah pekerjaan sederhana. Sehingga seluruh elemen bangsa harus bersinergi satu sama lain. Mimpi bangsa telah dicanangkan dengan jelas dalam teks-teks konstutusi dan falsafah negeri ini. Mimpi bangsa telah dipancangkan oleh para founding father bangsa, persoalannya terletak kepada political will pemerintah dan dukungan warga bangsa. Momentum pemilihan Presiden-Wakil Presiden harus dijadikan langkah perbaikan bangsa. Masihkah kita ingin menonton dagelan politik dan hukum yang bertentangan dengan rasa keadilan. Apakah kita mau mimpi indah tentang kesejahteraan itu akan sirna dengan mimpi buruk bangsa yang ada diambang kehancuran. Karenanya, sebagai sumbangsih kepada bangsa kita harus menjadi pemilih yang kritis.
Nuranilah yang harus menuntun kita menentukan pilihan politik. Bukan karena sedikit sumbangan (baca:money politic) atau keterpesonaan kita akan pribadi kandidat yang lebih banyak manipulasinya tinimbang kenyataan yang sebenarnya. Semoga Tuhan membukakan hati kita untuk memilih kandidat terbaik untuk memimpin negeri ini dan memberikan kita kekuatan memberdayakan diri dan yang lain demi masa depan bangsa yang lebih baik. Jangan terjebak dengan pesta, karena itu hanya kampulase dan peramai saja. Lampu pesta pasti menyilaukan, tapi bukan berarti kita silau dan tak tahu mana yang baik dan sekedar polesan kan? Semoga…

Graha Pena Jakarta, 1 April 2009




0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.