Kamis, 02 April 2009

Rindu Ka'bah

Jika saja Ka'bah dekat, mungkin aku tiap saat shalat di dekatnya. Sayang, Ka'bah ada di Makkatal Mukarramah. Aku rindu Ka'bah dan selalu hatiku seakan didekatnya. Semoga Allah segera mengundangku melaksanakan ibadah umrah dan haji.

Allah Swt telah memberi anugerah teramat besar bagi kota Makkah dan Madinah, karena hingga akhir zaman, tiap tahunnya ada ratusan triliun dana yang masuk dari kegiatan umrah dan haji. Bahkan ritual ibadah itu pun memberikan multiplayer effect kepada seluruh negara yang ada penduduk muslim. Biro perjalanan haji dan umrah serta aksesoris yang terkait dengan kegiatan ibadah haji dan umrah menjadi dagangan yang laris manis.
Itu baru dari sisi ekonomi. Belum lagi sisi politik, sosial dan ekonomi. Demikian lah berkah itu terus bertambah dan bertambah. Tak akan habis hingga akhir zaman nanti. Karena itu, rindukan lah Ka'bah. Tapi jangan berhalakan Ka'bah.
Merindukannya artinya ingin hidup selalu di bawah naungan ridla Allah Swt, titik. Tak ada yang diinginkan selain itu. Karena dengan niat seperti itu, hidup ini terasa menyenangkan, membahagiakan dan menentramkan.
Apa yang kita cari? Bukan kah kebahagiaan? Doa kita disetiap usai shalat selalu berulang meminta agar di dunia menjadi hasanah dan di akhirat menjadi hasanah, tapi mengapa kita menjauhinya, mengingkari doa itu. Naudzubillah.
Menipu, gila harta dan jabatan, sek bebas, mabuk-mabukan, korupsi, menghina orang, berprilaku tidak sepatutnya, meninggalkan ibadah. Semoga Allah menjauhkan kita dari segala perbuatan yang membuat-Nya murka.
Sebagai intelektual, atasnama kritik atas agama kita mengkritisi sesuatu yang menurut Filosof Iran Muhammad Baqir Shadr sebagai sesuatu yang tashdiq, benar adanya dan tak perlu dipertanyakan lagi karena hanya akan mendatangkan kesia-siaan.
Tuhan pun digugat, dikritik lalu shalat sebagai ibadah dianggap sebagai kesia-siaan. Naudzubillah. Bahkan dengan bangganya menggunakan aksesoris agama lain, meneriakkan kebebasan beragama, padahal sejatinya kita ini membutuhkan agama dan seharusnya beragama. Karena itu tentu ada banyak perintah agama yang harus dilaksanakan. Atas nama kebebasan beragama juga memakai purdah dianggap pengkerangkengan kepada kebebasan beragama. Padahal Allah Swt sudah jelas memerintahkan untuk menutup aurat.
Sekedar aurat pun diperdebatkan dan kita pun menjadi dungu. Bangga karena telah menjadi juru bicara kepentingan asing di negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Lalu menjadi juru bicara kebebasan beragama. Doku pun jadi penuh karena dollar mulai masuk ke kantong dari berbagai proyek atasnama kebebasan beragama, demokrasi, kesetaraan jender dan yang lainnya.
Sekedar soal peran istri, perempuan dan suami (laki-laki) pun diperdebatkan. Padahal soal itu adalah soal karakter yang apabila semuanya dibangun dengan komunikasi yang baik tidak ada masalah.
Sekedar demokrasi aja menjadi isu menarik. Padahal atasnama demokrasi juga Indonesia hingga kini belum sejahtera. Demokrasi hanya cara, alat untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Kita dungu, lupa tujuan dan sekedar menyenangi pesta. Lupa tujuan sesungguhnya dan lebih senang dengan berbagai kampulase, keramaian, pesta dan berbagai aksesoris yang sesungguhnya sekedar aksiden, bukan esensi.
Sementara, pada hal kecil pun masih lupa. Kebersihan misalnya. Apakah lingkungan kita telah bersih. Bukan sekedar iman tentu, kesehatan, kenyamanan dan keindahan akan sangat tertata kalau sudah bersih.
Ekonomi umat bagaimana? Kita akhirnya hanya sibuk seminar. Sementara renternir yang lahir dari umat itu sendiri berjumlah sangat banyak. Ramai, riuhrendah dan menguasai ekonomi umat. Lihat Mang Udin yang harus menggigit jari ketika panen tiba padahal dia taksir hasil panennya lebih dari membayar utang karena sebelumnya sudah berutang.
Bi Encih, pedagang ikan di kampung saya, Cisolok Sukabumi, sampai mencium kaki ibu dan bapak karena sudah dua tahun berdagang tak mendapatkan apa-apa selain harus membayar utang. Siapa renternir itu? Mereka umat Islam, demikian juga perusahaannya. Sementara, oleh Bapak dan Ibu diberikan pinjaman uang lebih dari cukup tanpa bunga dan diwajibkan membayar tiap hari, dengan cara menabung sampai jumlah utang pokoknya selesai. Bapak pun mengingatkan, uang itu ditabung di sekolah anak Bi Encih, agar tetap bisa menabung dan jika sudah cukup bisa melunasi utang dan jika tetap mau, bisa meminjam lagi dengan jumlah yang lebih besar.
Edi, saudara saya sekampung hampir saja berhenti sekolah karena tidak mampu membayar SPP. Beruntung ada seorang sahabat saya yang tak kaya-kaya amat, tapi punya hati mulia. Mungkin dia adalah sosok yang kaya hati.
Rizki yang diperoleh sahabat itu sepertinya sudah dia atur agar cukup untuk keluarganya, bisa menabung dan membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan.
Suatu hari, kami pun berbincang. Menurutnya, jika aku memiliki uang Rp 100 ribu, rasanya cukup bagi kami Rp 50.000 untuk dikonsumsi, 20 ribu untuk ditabung dan 30 ribu untuk disedekahkan.
Allahu Akbar, Subhanallah. Begitu mulianya sahabat ini. Tetangga dan saudaranya sangat hormat dan sayang padanya. Bagaimana tidak, 30 persen hartanya dia berikan untuk saudaranya yang membutuhkan. Alhamdulillah, aku bersyukur ternyata masih banyak saudara ku yang berpikir seperti ini.
Dia tidak ingin terlihat kaya, mewah. Cukup lah motor baginya untuk bergerak kemana-mana. Atau menggunakan angkutan umum saja. Tapi kalau ada permintaan sumbangan untuk kepentingan umum, dibandingkan mereka yang kaya raya, dia selalu terbesar, terdepan.
"Yang saya cari dan inginkan adalah kebahagiaan, bukan harta benda melimpah tapi kita kikir. Saya berlindung kepada Allah dari godaan harta yang membuat saya silau dengan dunia. Ketahuilah, berbagi menerangkan hati." Kata sahabat tersebut suatu ketika.
Kemiskinan dan pendidikan adalah problem utama umat Islam. Mengapa tidak perhatian kita dicurahkan untuk persoalan tersebut. Keilmuan, program dan aksi nyata hendaknya diarahkan untuk itu.
Mengapa kita tidak menggugat persoalan keuamatan dan kebangsaan yang nyata di depan mata. Malah sibuk dengan ragam wacana yang tak jelas juntrungannya hanya karena sekedar hendak mendapatkan rupiah atau dollar dari donor asing atasnama proyek. Naudzubillah. Itu bukan proyek, tapi jalan menuju neraka. Bukan kah itu pengkhianatan intelektual. Bukan kah itu hegemoni dan penjajahan baru.
Kini soal nyata itu bernama ekonomi dan pendidikan dan seluruh energi kita harus menyatu untuk itu. Karena itu, jadikahlah hidup kita penuh manfaat bukan menambah madharat. Biarkan lah Ka'bah ada dihatimu, seperti cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga tak ada waktu untuk kita sekedar membuang waktu dan menumpuk kesenangan duniawi semata. Tetaplah seimbang agar di dunia bahagia, di akhirat juga. Amin. Semoga

Graha Pena, 2 April 2009



0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.