Senin, 08 Juni 2009

Mengenal Tarekat

Salah satu fenomena keberagamaan yang menarik adalah berkembangnya tarekat di kalangan umat Islam. Bahkan, pengaruhnya sangat kuat. Para politisi pun rela antri datang untuk menjadi murid dan meminta restu. Sebut saja, Habib Luthfi Bin Yahya, sosok ulama kharimatik di Pekalongan, sosok tokoh tarekat yang jumlah muridnya ratusan ribu.
Sebenarnya apa sih tarekat itu? Istilah “tarekat” (thariqah atau al-thariq) secara harfiah berarti “jalan” atau jalur yang ditempuh dengan berjalan kaki. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut dipergunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan pekerjaan, baik terpuji maupun tercela (Shihab, 2001: 171).
Dalam terminologi tasawuf, tarekat adalah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju ke hadapan Allah SWT. Perjalanannya mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya. Sufi yang tengah melakukan perjalanan disebut pengembara (salik). Dari sini kita dapat mengambil pengertian bahwa tarekat adalah perjalanan para salik yang melangkah untuk membuka hijab dan mendekati realitas ruhaniah (Ali Kianfar dalam Zauqi Shah (ed), 2002: 84). Tarekat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syarat, karena jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq. Salik melakukan perjalanan spiritual melalui tahapan spiritual (maqam) tertentu setelah melalui jalan (thariq), guna mencapai tujuan bersatu dengan-Nya.
Tarekat juga dalam tasawuf adalah hal penting sehingga disebut ilmu suluk. Tarekat itu pada dasarnya tak terbatas jumlahnya, karena setiap “salik” semestinya harus mencari dan merintis jalan (thariq)-nya sendiri, sesuai dengan bakat dan kemampuan atau pun tarap kebersihan hati mereka. Kaum sufi percaya, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama (syari’ah). Sedang jalan lain (thariqah) merupakan cabang yang lebih sempit dan lebih sulit dijalani salik (Schimmel, 2000: 123).
Dalam perjalanan spiritual ini, salik akan melalui maqam dan hal. Maqam adalah suatu taraf yang berlangsung terus yang dicapai oleh manusia berkat usahanya sendiri (Schimmel, 2000: 125). Ia adalah hasil dari usaha riyadlah dan mujahadah para salik. Sedangkan hal adalah keadaan spiritual yang turun dari Tuhan ke hati manusia, tanpa dapat ditolak kedatangannya atau dicegah kepergiannya, dengan usahanya sendiri (Schimmel, 2000: 124). Hal merupakan karunia dari-Nya. Di setiap maqam dan hal inilah salik menyingkap (mukasyafah) hijab yang ada di dsalam dirinya. Jika di dalam tasawuf kita kenal ada proses penyingkapan Tuhan, itu terjadi karena salik sudah sampai pada maqam tertinggi, sehingga hijab-hijab yang menghalanginya telah tiada dan ia pun suci.
Meski tarekat beragama jalannya tak terhingga, namun nampaknya secara umum jalan ruhaniah itu dapat diringkas jadi tiga tahap, yaitu: pertama, penyucian hati. Pada penyucian hati, salik harus melakukan dua hal: mawas diri dan menguasai atau mengendalikan nafsu-nafsu. Kemudian, membersihkan hati dari ikatan pengaruh keduniawian (Simuh, 1997: 47).
Kedua, konsentrasi untuk ber-dzikir pada Allah. Pada tahapan ini, kaum sufi tidak memberikan satu detik pun hatinya untuk lalai dari Allah. Bagi kaum sufi, dosa adalah lalai dari usaha ber-dzikir pada Allah. Ada banyak metode yang digunakan kaum sufi dalam ber-dzikir.
Ketiga, fanna’ fillah. Pada tahap ini, kaum sufi telah sampai pada puncak spiritual tertinggi. Di sinilah terdapat perbedaan tajam antara para sufi yang cenderung falsafi dengan yang cenderung “akhlaqi”. Bagi yang menganut faham kesatuan Tuhan (wihdatul wujud), mereka bisa mengalami syukr (mabuk) dan fana’ sehingga ketika berucap mereka sering ber-syathahat. Mereka pun percaya bahwa Tuhan itu ada pada diri manusia, sehingga Tuhan itu immanen sekaligus transenden.
Bagi yang cenderung akhlaqi, kesatuan dengan Tuhan tidak berarti kita bersatu dengan-Nya, tapi merasa Dia bersama kita, sehingga seluruh perilaku kita adalah perilaku-Nya. Tarekat selain dilihat sebagai jalan spiritual, juga mengandung arti sebagai kesatuan persaudaraan kesufian (sufi brother hood) (Madjid, 1995: 110).
Sebagaimana dijelaskan di atas, tarekat adalah jalan spiritual, berarti tarekat adalah bentuk pengalaman individual. Namun, dari pengalaman individu itu kemudian seseorang mengalami publikasi dan itu dialami banyak orang sehingga yang semulanya privacy jadi milik publik. Dari segi sosial dapat kita temukan bahwa tarekat berarti persaudaraan kesufian. Segi sosial tarekat, lahir dari kewajiban dan rasa tanggung jawab untuk mengajar dan membimbing umat. Maka, kita mengenal ada istilah pembimbing spiritual (mursyid) dan salik (murid). Alasan menggunakan mursyid, karena diyakini perjalanan spiritual itu penuh dengan halangan dan godaan, sementara salik baru masuk ke dalam alam spiritual. Maka ia perlu pembimbing yang telah mengetahui dan mengalami jalan ruhani.
Tarekat kemudian berkembang jadi persaudaraan kesufian yang berkembang luas. Secara historis pertumbuhan tarekat sudah dimulai sejak abad ke-3 dan ke-4, seperti al-Malamatiyah yang didirikan Ahmadun Al-Qashar, atau Ta’rifiyah yang mengacu pada Abu Yazid al-Busthami, atau pun al-Khazzajiyah yang mengacu pada Abu Dzaid al-Khazzaz, tarekat-tarekat tersebut dan semacamnya masih dalam bentuk yang amat sederhana dan bersahaja.
Perkembangan dan kemajuan tarekat justru terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 H, dan yang pertama kali mendirikan tarekat pada periode tersebut adalah Syeikh Abdul Qadir al-Jailani pada awal abad ke-6 H, kemudian menyusul tarekat-tarekat lainnya. Semua tarekat yang berekembang dalam periode ini merupakan kesinambungan tasawuf Sunni al-Ghazali dan dengan berdirinya berbagai tarekat tasawuf Sunni mengalami tahap perkembangan baru hingga kini (Alwi Shihab, 2001: 172).
Dari pelacakan historis di atas, kita dapat membagi fase historis tahapan perkembangan tarekat ke dalam tiga fase yaitu: pertama, tahap khanqah (pusat pertemuan sufi), di mana syaikh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat. Hal ini berbeda dengan tahap selanjutnya yaitu: tahap thariqah, yakni pada tahap ini, tasawuf sudah membentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode yang sangat ekslusif.
Selanjutnya adalah tahap tha’ifah, di mana pada fase ini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Tarekat berkembang pesat hingga belahan dunia yang lainnya, pemujaan kepada syaikh jadi kebiasaan. Tasawuf pada fase ini mengambil bentuk kerakyatan. Sehingga pada fase ini, tarekat memiliki makna lain yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syaikh tertentu (Nasution, 1998: 366-367).
Proses perjalanan ruhaniah yang dilakukan di dalam tarekat dimulai dengan pengambilan “bai’at” (sumpah) dari murid (salik) di hadapan syaikh setelah murid menjalani penyucian diri. Setelah mencapai tahapan sempurna, murid akan memperoleh “ijazah” dari mursyid dan setelah itu salik biasanya berhak menjadi mursyid. Dalam tarekat ada tiga ciri umum yaitu: syaikh, murid dan bai’at (Shihab, 20001: 172).
Ototritas mutlak mursyid dalam masalah-masalah spiritual maupun material terhadap murid-muridnya adalah salah satu ciri khas tarekat. Sehingga, dalam tarekat, mursyid lah yang membai’at muridnya. Akibatnya, muncul kultus individu atau “idiolatri” atas mursyid oleh para muridnya. Karena sifatnya yang teratur dan ekslusif serta ajarannya yang khas, tarekat kemudian jadi pseudo religion atau agama dengan struktur ide-ide, praktik-praktik dan organisasinya sendiri yang ekslusif (Rahman, 1984: 217).
Di Indonesia sendiri dikenal beberapa tarekat yang memiliki keterkaitan dengan tarekat yang berasal dari luar Indonesia atau pun tarekat yang lokal. Di antaranya tarekat Qodariyah, Naqsabandiyah, Wahidiyah, Shiddiqiyah, Syahadatain, Tijaniyah, Sanusiyah (Shihab, 2001: 174-175).
Semua yang berkembang itu adalah pendekatan keagamaan. Maka, biarkan lah itu berkembang menjadi pendekatan. Tak harus saling mengakimi siapa yang benar, yakini saja apa yang diyakini, amalkan sebaik mungkin, selesai. Karena kita pun tak tahu, mana yang lebih benar. Wallahu'alam

0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.