Senin, 06 April 2009

Ayahku, Idolaku

Saya bersyukur kepada Allah, dilahirkan dari keluarga yang taat beragama tapi tidak panatik dengan khilafiah yang berkembang. Walau ayah bukan kiai/ ustadz, tapi beliau sangat taat dalam ibadah. Kebiasaan kami, jika jam 2 dini hari mendengar suara zikir ayah, sampai subuh tiba.

Ayah ditunjuk sebagai Ketua DKM pun sudah puluhan tahun. Demikian dengan ibu, ketua majelis taklim. Tak ada yang mau menggantikannya, walau ayah selalu mempersilahkan kepada siapapun menggantikannya. Kata ayah, sudah saatnya yang muda yang memimpin. Tapi ya itu, di kampung kami, setiap ada acara keagamaan, pembangunan masjid dan madrasah, melalui komunikasi ayah lah para donatur dari luar kampung, banyak membantu. Karena kata ayah, menunggu infaq dari warga akan sangat tidak mungkin. Bahkan tak jarang kami lah yang turun tangan membantu menyiapkan dana, utamanya kakak kami yang di Lippo Karawaci, yang memang secara ekonomi hidupnya sudah berkecukupan.
Bagi saya, ayah adalah idola dalam setiap hal. Kesabarannya dalam hidup, melewati masa-masa sulit, demi membiayai sekolah anak-anaknya, beliau tampak tangguh dan tawakal.
Dalam kehidupan sosial, sewaktu beliau belum terkena strooke, beliau lah yang selalu terdepan membantu masyarakat yang membutuhkan. Ke rumah sakit, membantu rumah warga jompo dan miskin yang sudah sangat rusak, membantu yang sakit, dan berbagai amal sosial, dia lah yang selalu pasang badan.
Tak jarang, kami harus berbagi beras dengan tetangga yang membutuhkan. Ayah selalu mengembalikan haknya sebagai amilin zakat atau panitia kurban untuk dibagikan kepada yang lebih berhak. Bahkan, ayah tak segan datang ke rumah panitia untuk menyerahkan bantuan, padahal, beliau dituakan. Beliau mau melayani tanpa pamrih.
Beliau sangat kami cintai dan kagumi. Walau hanya lulusan SD, bagi saya beliau lebih bijak dibandingkan mereka yang doktor sekalipun. Ilmu hidupnya lah yang memberi saya jalan sampai sekarang ini. Ilmu nya bukan ilmu omong, tapi teladan.
Beliau tidak pernah marah jika anaknya belum shalat. Tapi, sebagai anak yang setiap hari melihat bagaimana taatnya beliau shalat, shaum, shalat sunah dan shalat malam, kami tentu diberikan contoh yang baik tentang bagaimana hidup beragama.
Kami hidup sederhana. Ayah hanyalah pegawai negeri golongan II B ketika pensiun tiga tahun lalu. Tapi kecintaannya kepada pendidikan membuat semua anaknya sarjana. Bahkan, setiap kali saya pulang, selain menanyakan kesehatan saya, istri dan cucunya, pertanyaan selanjutnya adalah soal sekolah ku. Jangan lupa S-2 dan S-3 nya ya, segera selesaikan.
Begitulah ayah yang sewaktu aku masih usia 5-6 tahun, selalu menggendongku waktu pulang dari memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Aku ingat betul, sering tertidur atau kelelahan ketika ayah sedang berceramah kepada ibu-ibu atau bapak-bapak mengenai pentingnya hidup sehat, bersih, rukun. Beliau selalu menyitir ayat Al-Quran atau hadits.
Kami pulang larut, tak ada kendaraan melewati jalan rusak dan hutan. Tapi ayah selalu pulang karena ingat ibu dan kakak ku yang ada di rumah kami yang tidak lah besar. Kami jalan kami dengan menggunakan colen (obor-red). Ayah selalu pulang dan dia dikenal sosok yang pemberani. Aku digendongnya dengan penuh kasih sayang.
Kebanggaan ku akan ayah semakin menguat. Aku bangga karena ayah dikenal dan dihormati warga. Beliau lah yang selalu melerai dan dimintai pendapat ketika ada konflik atau perkelahian. Bahkan, rumah kami dari dulu tempat kumpulnya anak muda yang dengan bebasnya mereka makan di rumah. Ayah tidak pernah mengeluh, ayah selalu mengingatkan kami untuk selalu berbagi dan berbuat baik kepada siapapun, hatta kepada orang yang menyakiti kita sekalipun.
Gaji kecil, anak banyak dan semuanya sekolah membuat ayah dan ibu baru punya rumah yang cukup permanen setelah saya bekerja. Alhamdulillah, semua kebun dan sawah yang dulu sempat dijual sudah bisa dibeli oleh kami. Demikian juga dengan kebun dan sawah yang dulu digadaikan, sudah kami tebus. Bahkan, telah kami beli lagi beberapa petak sawah dan kebun. Aku sampaikan ke ayah dan ibu, ini dibeli agar anak cucu keturunannya tidak lupa kampung halaman, di sebuah desa jauh di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi sana.Biar anak cucunya tahu, bahwa ayah, nenek kakek, buyutnya adalah orang kampung.
Ayah tidak pernah meminta adik ku dan kakak ku yang perempuan untuk berjilbab. Tapi menjelang usia 20, kakak ku yang perempuan berjilbab. Demikian juga dengan adik bungsu ku yang kini sedang kuliah dan ikut dengan kami di bandung, dengan kesadaran mereka, harus menutup aurat. Tidak ada paksaan, tapi kesadaran. Yang penting, selalu menjaga aurat dan masih di batas-batas kesopanan, begitu kata ayah dalam suatu obrolan dengan kami.
Dalam hal ekonomi, dia anti ijon, tapi tidak pernah secara keras menolak ijon. Dia anti renternir, tapi tidak pernah menolak keras dan berbicara kepada banyak orang, karena memang banyak tetangga yang menjadi pengijon dan renternir. Sikap menolaknya diaplikasikan dengan sikap membantu sesama. Meminjamkan uang tanpa harus ada bunga. Bahkan, bi Encih, utangnya Rp 400 ribu pun sudah ayah anggap lunas karena, tiga hari lalu meninggal dunia, akibat sakit. Bahkan ayah mengingatkan saya untuk menyisihkan rezeki membiayai sekolah anak bi Encih yang kini yatim piatu. Ayah dan ibu pun kini punya anak asuh yang sedang dibantu sekolah dan punya warga binaan yang diberikan bantuan modal usaha. Ayah tidak kaya, tapi menurutku, jiwanya kaya dan aku sangat mencintai ayah dan ibu.
Dalam hal politik, ayah tidak pernah terbuka mendukung siapa, partai mana. Ini semata-mata ia lakukan agar semuanya merasa mendapatkan dukungan ayah. Kemarin saja, banyak sekali caleg dan tokoh partai yang datang dan memohon dukungan. Kepada semuanya ayah memberikan dukungan, tanpa pamrih. Kata ayah, berbuat baiklah dan tanamlah budi baik sebanyak-banyaknya, maka buah kebaikan akan kita petik, sekarang ataupun nanti.
Selamat ulang tahun ayah, ayah kini sudah berusia 70 tahun. Kalau dari KTPnya, udah berusia 68 tahun. Kata ayah, dulu menghitung umur cukup dengan mengira-ngira saja.
Ayah dan ibuku adalah lembar kehidupan yang penuh teladan. Hidupku belajar kepada mereka tentang hidup yang sejati, meraih bahagia dunia dan akhirat. Ayah dan Ibu, biarlah kami melayani dan membahagiakanmu. Semga rahmat Allah selalu bersama keluarga kita. Amin.

Jl. Cibiru Indah VII, Bandung



0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.