Senin, 26 Januari 2009

Pindah Kerja?

Bagaimana dan kapan waktu pas untuk memutuskan pindah bekerja? Pertanyaan yang sering muncul ini merupakan kondisi sangat menyulitkan untuk dipilih mengingat banyaknya pertimbangan yang harus dijadikan dasar pilihan. Tips di bawah ini diharapkan membantu Anda. Ini pula yang masuk ke meja redaksi Tabloid Info Lowongan Kerja Rakyat Merdeka Group yang saya pimpin.


Ketika kita sedang dalam posisi puncak atau karir tengah menanjak, apakah keputusan untuk pindah bekerja adalah sesuatu yang tepat? Lantas, apa alasannya kita memutuskan untuk pindah kerja?
Pindah kerja pada dasarnya keputusan yang biasa, bukan sesuatu yang luar biasa. Meski tentu kita harus memiliki kejelasan argumentasi alasannya. Karena risiko dari pilihan itu akan berdampak, baik bagi perkembangan karir atau pun pendapatan. Apalagi kalau, dalam keluarga, hanya suami atau istri saja yang bekerja. Dapur bisa nggak ngepul kalau tidak ada perhitungan matang. Karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
1. Tujuan dan Latarbelakangnya Jelas
Bukan emosi atau kemarahan semata, tapi atas perhitungan yang matang, kepala dingin. Jangan karena marah kepada atasan atau kepada teman sehingga suasana kerja tidak nyaman. Ada baiknya Anda melakukan perenungan dan mengkoreksi diri Anda, mungkin ada sesuatu yang salah dalam diri Anda sehingga ada kondisi kerja yang sangat tidak nyaman.
Akan lebih baik lagi jika keputusan untuk pindah itu karena hendak menyesuaikan dengan visi dan misi hidup yang dimiliki. Jangan sampai hanya karena sebab-sebab yang kurang bisa dipertanggung jawabkan, misalnya alasannya lokasi terlalu jauh, konflik dengan rekan kerja, salary belum memenuhi harapan, dan yang lainnya.
Karena itu, Anda perlu mendifinisikan arah & orientasi kerja ke depan. Usahakan kepindahan adalah bagian dari proses pembelajaran bidang spesialisasi yang sedang ingin ditekuni atau Anda ingin menjadi spesialisasi di bidang tersebut nantinya.
2. Ambil Keputusan Dalam Kondisi Tenang
Sebuah kondisi permasalahan biasanya tidak berdiri sendiri, selalu ada saling keterlibatan dengan banyak sisi. Segera mencari waktu yang tepat untuk mengklarifikasi masalah ini. Anda bisa langsung menanyakan kepada atasan anda, sekaligus minta maaf dan minta saran perbaikan, agar performance yang selama ini sudah anda coba tampilkan bisa menjadi lebih baik dan bisa diterima oleh semua pihak.
Bisa juga menanyakan dan minta feed back dari sesama rekan kerja anda yang mengerti kondisi tersebut. Dalam hal ini anda perlu merendah dan lebih berlapang dada dalam menerima kritik dan masukan yang mungkin akan tersampaikan.
Setelah semua sisi diketahui, kondisi sudah bisa teratasi dengan baik, baru kita boleh berfikir dengan tenang dan mantap untuk menentukan sikap berikutnya, apakah akan tetap bertahan di perusahaan tersebut, atau memutuskan untuk pindah kerja. Jadi sebaiknya mengambil keputusan dalam kondisi tenang, bukan dalam kondisi emosi. Karena keputusan yang diambil dalam kondisi emosi, biasanya kurang menggunakan akal sehat, hal ini bisa berakibat penyesalan di kemudian hari.
3. Faktor Dari Dalam Atau Luar?
Apakah penyebab kita memutuskan untuk pindah itu dari diri kita atau karena faktor suasana dan lingkungan kerja. Ini wajib dijawab terlebih dahulu. Jika memang bisa diubah, mengapa harus pindah?
Bekerja di manapun, kita akan selalu mendapatkan tantangan yang wajib kita atasi. Jadi berdasarkan pengalaman saudara-saudara kita yang sedang bekerja di berbagai tempat, ternyata situasi dan kondisinya bisa dikatakan relatif sama. Dalam segala hal, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, pekerjaan, dan sebagainya, tidak ada satupun yang sempurna.
Justru potensi seseorang bisa dilihat dari respons orang tersebut saat menghadapi tantangan hidup. Maka mulailah beradaptasi dengan lingkungan baru, teruslah bekerja dan berjuang, konsisten dengan nilai-nilai moral yang telah dimiliki.
Faktor dari dalam itu berasal dari diri kita dan lingkungan pribadi, sementara dari luar berasal dari lingkungan kerja. Ini harus benar-benar dipahami. Kalau kondisinya sudah sulit, keputusan pindah adalah terbaik.
4. Pindah: Lebih Baik
Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Keputusan untuk pindah berarti kita akan memperoleh yang lebih baik. Kalau tidak, rugi lah kita. Karena itu, kepindahan itu harus mampu menjawab pertanyaan, apakah di tempat kerja baru itu kita akan lebih baik atau tidak? Tentunya itu di dalamnya mengadung pengertian, kesejahteraan, jaminan masa depan dan karir dan suasana lingkungan kerja. Karena itu, faktor informasi lengkap atas perusahaan yang kita akan pindah menjadi sangat wajib sekali. Kalau tidak, bisa lewat deh. Jangan tahunya dari kawan saja, tapi Anda memang mencari informasinya sedetil mungkin, baru diputuskan.
5. Bukan Kutu Loncat
Kita pindah bukan berarti sebagai kutu loncat. Karena berpindah-pindah kerja tidak akan menghasilkan karir yang baik, hanya akan menambah panjang daftar curiculum vitae saja, sementara karir dan kesejahteraan kemungkinannya jalan ditempat, karena selalu kita memulai hal yang baru saja. Pindah kerja artinya melakukan penyelamatan atas karir dan masa depan, bukan sebaliknya, membuat kita semakin terpuruk. Semoga keputusan untuk pindah itu bukan karena telah kalah, patah arang dan kehilangan semangat, tapi benar-benar berasal dari perhitungan yang sangat matang, rasional dan tidak terburu-buru. Ingat pindah kerja berarti lebih baik. Semoga.




Selesaikan Bacanya!......

Memaksimalkan Ikhtiar

Memaksimalkan Ikhtiar
Oleh: Iu Rusliana

Menganggur itu menyakitkan, bukan hanya secara personal, tetapi juga secara sosial. Secara personal akan menyebabkan rasa percaya diri yang kurang, penghasilan yang tidak tetap, menyebabkan secara ekonomi, hidup masih kekurangan, atau bahkan tergantung kepada orang lain atau orang tua. Di negara yang menganut welfare state (negara kesejahteraan), pengangguran masih mendapatkan hak perlindungan sosial, agar hak dasar orang miskin dan penganggur terpenuhi.

Namun, di negara yang jelas-jelas dalam Undang Undang Dasar-nya pun telah disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara, tidak ada perlindungan yang nyata. Memang ada perlindungan sosial yang dilakukan oleh Departemen Sosial atau lembaga sosial yang diselenggarakan masyarakat, namun itu tidak mampu menyentuh akar persoalan dan bersifat parsial. Alih-alih menyelesaikan masalah, lebih parah lagi semakin memperumit masalah.
Secara sosial, penganguran bisa menjadi pemicu dari kerawanan sosial. Keluarga pun, kurang nyaman, tidak senang jika ada anggota keluarganya yang mengangur. Namun apa mau dikata, lapangan kerja sedikit, pencari kerja banyak. Kalau pun ada yang cocok, kompetensi yang dimiliki tidak mencukupi.
Kerawanan sosial yang disebabkan pengangguran bisa memicu konflik sosial. Anak muda akan mudah terganggu, tawuran dan melakukan aksi-aksi yang meresahkan masyarakat karena menjadi pengangguran. Ini persoalan yang hingga saat ini seakan tidak ada ujung penyelesaiannya.
Sebenarnya, ada banyak faktor mengapa seseorang itu menjadi pengangguran. Salah satunya lahir dari sikap mental manusia itu sendiri. Salah satunya sikap kurang kerja keras, mudah menyerah dan malas. Sikap mental ini lah yang membunuh kesempatan itu datang. Akhirnya, bukannya mendapatkan pekerjaan, karena kurang gesit dan tak yakin akan diterima dalam suatu pekerjaan, datangnya terlambat atau mudah menyerah.
Kalah sebelum bertanding, adalah sikap mental berbahaya. Mari kita introspeksi ke dalam diri sendiri, apakah kita punya sikap mental yang membahayakan dan mendekatkan kita kepada kemiskinan.
Untuk itu, bekerja keras lah, maksimalkan ikhtiar (usaha) yang harus kita lakukan. Usaha yang maksimal artinya sampai napas tinggal satu helaan dan kita mencapai tidak ketidakberdayaan. Sebelum dimulai, jangan pernah menyerah, coba-coba dan terus dicoba. Tidak ada kebahagiaan tanpa kerja keras. Jika hari ini Anda telah 1000 kali melamar kerja dan terus ditolak, terus lah mencoba. Jangan ambil kesimpulan kita telah gagal. Kita harus mencoba dan terus mencoba. 1000 kali bukan berarti akhir dari segalanya. Ingat, dibalik kesusahan, ada kemudahan. Tuhan tidak akan membebani umatnya dengan beban yang melampaui kemampuan umatnya itu.
Sam Walton, pendiri Wal-Mart mengingatkan, rayakan sukses Anda dan temukan humor dalam kegagalan Anda. Jangan terlalu serius. Rileks dan orang-orang disekitar Anda akan rileks. Bersenang senang dan selalu tunjukan antusiasme. Jika semua ini gagal, kenakan kostum dan nyanyi lagu gila-gilaan.

Salam,
Graha Pena Jakarta, 26 Januari 2009





Selesaikan Bacanya!......

Minggu, 25 Januari 2009

Sunda Mendorong Kemajuan


Sunda Mendorong Kemajuan
Oleh: Iu Rusliana

Para karuhun (orang tua dulu) yang arif dan bijaksana selalu mengingatkan generasi penerusnya agar jangan sampai menjadi manusia kuulen (tidak gaul). Tercermin dalam pepatah (etik); Kade Ulah Kurungen Batok.


Secara sederhana, kurungen batok artinya tidak mau terbuka dengan dunia di luar. Senang dengan dunia sendiri, tanpa memperhatikan dunia yang tengah berkembang pesat. Kemajuan bersama harus dijemput. Sikap kurungen batok tak akan mendorong kemajuan. Apalagi dengan pemikiran (perspektif) yang kurung batok. Itu lah saya kira yang dimaksud dengan kampungan. Bukan berarti orang kampong. Kampungan artinya tidak mau menerima fakta adanya kemajuan, malu dan ragu untuk memulai suatu hal yang baik padahal itu adalah akar kemajuan. Takut melakukan sesuatu yang baik, padahal harus dimulai. Kebanyakan diskusi dan berpikir dalam melakukan sesuatu sehingga tidak ada yang dikerjakan. Orang menyindirnya dengan istilah NATO (Not action talk only). Kalau kawan saya di kampus UIN Bandung dulu menyebutnya Kongres, Ngawangkong teu beres-beres (Berbicara terus menerus, tidak selesai-selesai).
Kuulen dalam tulisan ringan ini bukan sekedar tidak gaul, dalam artian tidak membuka mata dan telinga mengikuti apa yang terjadi di dunia ini. Tapi kuuelen karena tidak mau menjadikan keharmonisan bersama menjadi pijakan dalam bersikap dan bergaul bersama yang lain baik itu dengan tetangga, sahabat atau orang lain sekalipun. Hatta, dalam perspektif lebih luas, tidak mau berharmonisasi dengan alam sekitar. Kuuelen karena dirinya merasa sendiri, kumaha aing, tidak toleran, asal aing geunah, teu paduli batur kumaha, dan seterusnya. Kuuelen disini artinya sikap yang egois, tak peduli yang lain. Suatu perspektif mata kuda yang hanya melihat ke jalan di depannya, tak mau menengok ke kiri dan kanan.
Membaca falsafah karuhun Sunda tersebut, saya kira bisa disimpulkan kalau sesungguhnya orang Sunda sangat mendukung kemajuan. Karena para karuhun dulu pun mendorong itu. Jadi, kalau ada yang menilai orang Sunda cenderung tidak dinamis, itu hanya kesalahan pemahaman. Atau, itu lah bentuk penjajahan pikiran, etika yang didoktrinasikan oleh para penjajah dulu, karena memang mereka sangat betah tinggal di daerah Sunda; alamnya sejuk, nyaman, subur dan penuh keindahan.
Nah, sayangnya, tanpa kekritisan kita selaku genarasi muda saat ini, sikap pasif, betah di lembur sorangan, kuat sehingga tidak mau keluar dari daerah atau cara berpikir lama mencari daerah atau pemikiran baru yang lebih dinamis, progresif dan merespon perkembangan jaman.
Sekali lagi, saya harus tegaskan, keliru nampaknya kalau ada pendapat yang menyebutkan orang Sunda mah teu resep merantau. Baik merantaukan dirinya untuk mendapatkan pengalaman langsung, atau merantaukan pikirannya untuk melakukan interaksi pemikiran dengan perkembangan pemikiran yang bergerak cepat di luar.
Tidak gaul bukan berarti sikap anti pergaulan bebas- istilah tidak gaul cenderung negatif, tudingan untuk anak muda yang tidak mau ikut arus jaman yang konsumeris, hedonis, tapi dalam pengertian yang positif, anti kepada kemajuan peradaban.
Sudah saatnya, urang Sunda, utamanya generasi muda Sunda berpikir maju ke depan. Bukan sekedar berpikir primordialisme sempit, namun mau terbuka dan menghijrahkan pikiran dan badannya ke tempat yang lebih maju. Sehingga generasi muda Sunda mau menjemput kemajuan dan menariknya ke masa kini. Generasi muda Sunda menjadi manusia masa depan yang hidup di masa kini. Mereka lah para pemimpin yang siap mempercepat kemajuan yang normalnya dirasakan seratus atau dua ratus tahun yang akan datang kini bisa dipercepat.
Perubahan adalah keniscayaan. Namun pertanyaannya, apakah perubahan yang menuju ke arah yang lebih baik atau bukan? Keluarlah dari kotak (Out of The Box), lakukanlah inovasi, belajarlah ke orang lain yang lebih maju, lalu pelajari bagaimanacaranya, bukan sekedar melihat hasilnya, aplikasikanlah yang mungkin, buang yang tak mungkin. Karena pemimpin yang mampu menjemput masa depan bukanlah mereka yang tidak mau memahami orang-orang yang dipimpin, yang jelas-jelas pasti bingung karena mereka baru berpikir ke-2, sementara sang pemimpin sudah berpikir ke-4, tapi pemimpin yang dengan ramah dan sabar menuntun yang dipimpinnya meraih tangga dengan lebih cepat.
Sekali lagi, saya kira etik karuhun yang menyatakan hendaknya manusia Sunda keluar dari kurung batok harus menjadi nilai dasar bagi masyarakat Sunda untuk berhijrah, bertransformasi dan mendinamisir kehidupannya, menjemput dan meraih kemajuan lebih cepat. Karena kemajuan bersama diperlukan untuk keadilan dan kesejahteraan bersama. Jika ada pandangan yang menyebutkan orang Sunda tidak mau maju, itu adalah kesalahan berpikir yang harus segera dikritisi.
Cicing di lembur (diam di daerah) bukan solusi. Karena perspektif, pengalaman, ilmu dan jejaring tidak akan bertambah. Sementara tanah pun akan semakin menyempit seiring dengan industrialisasi dan semakin banyaknya manusia yang dilahirkan. Kampung sorangan (daerah sendiri) simpanlah di dalam hati. Dengan begitu, ketika kemajuan diperoleh, segeralah mengabdi ke daerah dan ibu pertiwi (lemah cai).
Dengan demikian, tidak akan ada lagi ketimpangan pembangunan karena masyarakat di daerah tersebut sangat dinamis, terbuka dan mau belajar terhadap kemajuan di daerah lain (Teu kurung betoken). Selain maju, karena perspektifnya terbuka, tidak sombong, mau bersinergi dan bersedia berbagi pengalaman. Bertindak lokal, berpikir global.

Cibiru Indah VII Bandung



Selesaikan Bacanya!......

Pesantren Kekuatan Ekonomi Bangsa

Pesantren Kekuatan Ekonomi Bangsa

Sejarah telah membuktikan bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan yang paling tangguh di Tanah Air. Sebagai bagian dari peradaban bangsa Indonesia yang sudah begitu mengakar, pesantren mampu bertahan dan terus memperbaiki dirinya dari zaman ke zaman. Pesantren pun telah memberi sumbangan yang begitu besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.


Asal usul keberadaan pesantren di Indonesia memang belum bisa diketahui secara pasti. Paling tidak, ada dua versi pendapat yang mencoba menelusuri asal muasal kehadiran pesantren di Tanah Air. Versi pertama menyebutkan pesantren berakar pada tradisi Islam, yakni tarekat. Menurut versi ini, pesantren sangat berkaitan dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi.
Versi kedua berpendapat pesantren yang berkembang pesat di abad ke-21 ini merupakan sistem pendidikan yang diadopsi dari orang-orang Hindu di Tanah Air. Pendapat ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum Islam datang ke bumi Nusantra lembaga semacam pesantren sudah ada. Apalagi secara bahasa kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”.
Meski begitu, jejak pesantren di Tanah Air telah terungkap dalam karya-karya Jawa klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini. Menurut kedua karya klasik itu pada permulaan abad ke-16 M di Indonesia telah banyak dijumpai pesantren besar yang mengajarkan kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf.
Menurut catatan sejarah, lembaga pendidikan pesantren tertua di Tanah Air adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan pada tahun 1724. Sejak saat itu, pesantren tumbuh begitu pesat terutama di seluruh pelosok Pulau Jawa. Departemen Agama menyebutkan pada abad ke-16 M, jumlah pesantren yang ada di Bumi Nusantara mencapai 613.
Dua abad kemudian jumlah pesantren telah meningkat tiga kali lipat. Hal itu didasarkan pada hasil survey Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1819. Pada era itu, jumlah pesantren yang di Indonesia mencapai 1.853 dengan jumlah santri mencapai 16.556 orang. Van den Berg pada tahun 1885 dalam laporannya menyebutkan di Nusantara terdapat 14.929 lembaga pendidikan Islam, 300 di antaranya merupakan lembaga pesantren.
Seiring bergulirnya zaman, jumlah pesantren terus berkembang sangat pesat. Pada tahun 1988/1999 pesantren telah hadir di setiap provinsi, kecuali di Timor Timur yang waktu itu masih menjadi bagian Indonesia. Berdasarkan data Departemen Agama pada tahun itu jumlah pesantren di Indonesia mencapai 6.631 dengan jumlah santri mencapai 958.670 orang dan 33.993 santri.
Di abad ke-21, jumlah pesantren terus meningkat pesat. Berdasarkan data Departemen Agama, antara tahun 2003-2004 terdapat 14.656 pesantren di seluruh Indonesia dengan jumlah santri mencapai 3.369.193 atau tiga juta orang lebih. Alumninya mencapai puluhan juta orang dan tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.
Fakta itu menunjukkan bahwa pesantren merupakan kekuatan potensial dan luar biasa yang dimiliki bangsa Indonesia. Perannya bagi kemajuan negara sungguh tak ternilai harganya. Di era kolonialisme, pesantren telah berperan sebagai kubu pertahanan rakyat dalam melawan penjajah. Pesantren kerap menjadi pemantik perlawanan terhadap penjajah.
Peran para kiai dan santri dalam melawan penjajah sungguh begitu besar. Tak heran bila pesantren menjadi kekuatan yang paling ditakuti Pemerintah Hindia Belanda. Pengaruh kiai dan santri yang begitu kuat diakui Raffles dalam bukunya berjudul The History of Java. Menurut Raffles, Belanda menganggap para kiai memiliki pengaruh yang besar yang dapat membahayakan kepentingan penjajah.
Sebab, di era penjajahan banyak sekali kiai yang aktif dalam berbagai pemberontakan. Kiai tak hanya berpengaruh di kalangan masyarakat awam saja, namun juga diperhitungkan kalangan istana. Salah satu contohnya kiai yang berpengaruh pada masa itu adalah Kiai Hasan Besari, dari pesantren Tegalsari Ponorogo. Ia berperan besar dalam meleraikan pemberontakan di Keraton Kartasura.
Sejarah juga mencatat peran pesantren melalui para alumninya di zaman pergerakan pra-kemerdekaan. Sederet tokoh pendiri bangsa (founding father) yang menjadi pelopor dan pencetus kemerdekaan Indonesia adalah para ulama dan alumni pesantren. Para tokoh bangsa yang dilahirkan pesantren itu antara lain, HOS Cokroaminoto -- pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya.
Selain itu, alumni pesantren lainnya yang menjadi tokoh bangsa yang sangat berpengaruh yakni KH Mas Mansur, KH Hasyim Ash’ari, KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir, Mereka tak hanya menjadi guru bangsa, namun juga memiliki perhatian yang amat besar dan ikut ambil bagian dalam percaturan politik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia.
Para santri dan kiai pun ikut angkat senjata dengan mempertaruhkan nyawa untuk mengusir Belanda dari Tanah Air dengan mendirikan tentara Hizbullah. Di awal kemerdekaan pun, alumni pesantren ikut tampil dan ambil bagian dalam pemerintahan. Mereka adalah Mohammad Natsir – perdana menteri pertama – alumnus pesantren Persis. Selain itu ada Moh. Rasyidi – menteri agama -- alumni pondok Jamsaren.
Alumni pesantren lainnya yang ikut serta meletakan dasar kenegaraan antara lain; KH Wahid Hasyim, alumus Pondok Tebuireng serta KH.Kahar Muzakkir dan lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan; KH.Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham Khalid menjadi wakil perdana menteri dan ketua MPRS.
Fakta itu membuktikan bahwa alumni pesantren dan kiai tak hanya menaruh perhatian pada bidang keagamaan saja. Mereka juga turut berjuang dan ambil bagian dalam kancah politik sebagai sarana membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa. Pesantren pun kembali menunjukkan kiprah dan perannya dalam membangun bangsa pada era Orde Baru, sekalipun peran umat Islam ketika itu cenderung dimarjinalkan.
Pesantren tampil sebagai lembaga pendidikan alternative yang mampu meredam dampak pembangunan fisik yang tidak berangkat dari konsep character building. Ketika sistem sekolah umum tidak lagi menjanjikan kesalehan moral dan sosial anak didik, pesantren menjadi solusi dan pilihan masyarakat. Dalam sejarah pesantren tak pernah tercatat terjadi tawuran.
Pesantren justru mendidik anak-anak bangsa dengan kemandirian. Sebuah modal bagi anak bangsa untuk berkiprah dalam kehidupan yang tak dapat diperoleh dari lembaga pendidikan lainnya. Pesantren lagi-lagi member kontribusi yang begitu besar lewat para alumninya, ketika bangsa Indonesia mengalami reformasi.
Sederet tokoh bangsa yang mendorong dan mendukung bergulirnya reformasi seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Hidayat Nur Wahid, Hasyim Muzadi serta Nurcholis Madjid merupakan alumni pesantren. Sekali lagi sejarah membuktikan bahwa pesantren mampu mencetak pemimpin serta tokoh-tokoh bangsa yang berkualitas.
Di era globalisasi ini, pesantren kembali ditantang untuk berkiprah dan menjadi solusi bagi masalah yang dihadapi bangsa. Beban yang dipikul bangsa Indonesia saat ini terbilang begitu berat. Dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,3 persen per tahun atau tiga juta jiwa per tahun membuat beban Indonesia semakin berat.
Laju pertumbuhan penduduk yang begitu tinggi itu memberi dampak luas bagi penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Belum lagi jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih tinggi. Problem yang muncul dari pengangguran dan setengah pengangguran tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan ketenagakerjaan, tetapi mempunyai implikasi lebih luas, mencakup aspek sosial,psikologis, dan bahkan politik.
Beban masyarakat semakin bertambah lantaran harga-harga bahan kebutuhan pokok semakin membubung tinggi. Di tengah himpitan beban berat itu, pesantren diharapkan bisa berperan sebagai basis pembangunan wilayah yang strategis. Sejatinya, pesantren tak hanya menjadi lembaga pendidikan keagamaan belaka. Namun, pesantren juga memliki potensi ekonomi yang sangat dahsyat. Beberapa pesantren seperti Pesantren Agrobisnis Al-Ittifaq di Ciwidey, Jawa Barat dan Pesantren Al-Amanah dengan peternakan ayam dan ikannya di Cililin mampu menjadi kekuatan ekonomi lokal.
Salah satu potensi ekonomi yang dimiliki pesantren adalah Inkopotren (induk koperasi pesantren). Lembaga ini bisa dijadikan alat untuk memberdayakan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Koperasi pesantren sangat berpotensi untuk mencetak wirausaha baru atau peluang usaha baru.
Kini mengatasi kemiskinan tidak bisa diberikan bantuan atau subsidi atau bahkan dengan santuan-santuan. Kemiskinan hanya bisa diatasi dengan dengan menciptakan peluang-peluang kerja. Peluang kerja itu diharapkan mampu menyerap peluang kerja.
Saat ini, dari sekitar 14 ribu pesantren yang tersebar di Indonesia, sekitar 4 ribu di antaranta sudah memiliki koperasi pondok pesantren yang berbadan hukum. Kekuatan ini akan menjadi semacam raksasa bila dikembangkan secara optimal dan maksimal.
Dengan jutaan santri yang dimilikinya, pondok pesantren juga bisa menjadi lembaga pendidikan yang potensial untuk mengurangi angka pengangguran yang terus menjadi beban bangsa. Salah satu caranya, pesantren tak hanya menjadi tempat untuk menimba ilmu keagamaan belaka. Namun, pesantren juga perlu melakukan diversifikasi program dengan beragam kegiatan life skills.
Seiring dengan kuatnya modernisasi pondok pesantren, maka rekonstruksi peran pondok pesantren yang tadinya hanya mempelajari kitab-kitab Islam klasik kiranya dapat diberdayakan secara maksimal sebagai agen dalam pembangunan perekonomian lokal, wilayah hingga nasional.
Melalui pendekatan ini, sumberdaya atau unsur-unsur pondok pesantren termasuk kiai/guru, masjid, santri, pondok, kitab-kitab klasik hingga ilmu pengetahuan yang baru dapat didayagunakan dalam proses pendidikan life skills secara berkelanjutan untuk membangun manusia yang memiliki pemahaman ilmu pengetahuan, potensi kemasyarakatan, dan pembangunan wilayah.
Hal ini berujung pada penciptaan sumber daya manusia yang berdaya saing dan produktif. Dengan demikian, pondok pesantren tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai spiritual saja, tetapi juga mampu meningkatkan kecerdasan sosial, dan keterampilan dalam membangun wilayahnya.
Pesantren akan menjadi basis penting dalam mengatasi pengangguran, bila pendidikan keagamaan dilengkapi dengan pendidikan keterampilan dan keahlian. Selain memiliki Inkopontren, sudah saatnya pesantren juga memiliki semacam balai latihan kerja (BLK) untuk menempa para santri dengan beragam keahlian.
Sehingga kelak, ketika lulus dari pesantren para santri yang sudah bisa hidup mandiri dan membuka lapangan pekerjaan serta terserap lapangan pekerjaan, karena memiliki keahlian. Dengan menguasai pengetahuan dan keterampilan para alumni pesantren dapat berperan sebagai driving force masyarakatnya.
Jika para santri dibekali keterampilan dan keahlian, jutaan alumni pesantren yang lulus setiap tahun akan menjadi solusi bagi masalah yang dihadapi bangsa. Namun, bila para santri hanya diajarkan ilmu keagamaan saja tanpa dibarengi keterampilan dan keahlian, para santri hanya bisa mengaji, tanpa bisa ngejo ( memenuhi kebutuhan hidup). Di era globalisasi ini, pesantren harus kembali menunjukkan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu melahirkan sumberdaya manusia yang berdaya saing. n


Selesaikan Bacanya!......

Minggu, 11 Januari 2009

Politik Protes Golongan Putih


Oleh IU RUSLIANA

Bangsa Indonesia akan melaksanakan hajatan besar demokrasi untuk memilih anggota legislatif dari tingkat kota/kabupaten, provinsi dan pusat, perwakilan daerah (DPD) dan dilanjutkan dengan pemilihan Presiden. Pada moment inilah gairah demokrasi menampakkan iklim mengagumkan karena memberikan peluang kepada siapapun yang memiliki "hak memilih" dan "dipilih" untuk menggunakan atau tidak menggunakannya.

Di tengah riuhnya arus demokrasi di Indonesia ini, muncul perdebatan soal seruan golput (pilihan untuk tidak memilih) dan perlu tidaknya fatwa haram bagi yang tidak menggunakan hak pilihnya. Fenomena golput disinyalir akan mewarnai demokratisasi di negeri ini pada pemilu 2009. Golput – sebagai sikap politik – tentunya mengundang munculnya perdebatan dari pelbagai kalangan.

Golput adalah politik protes. Namun, politik protes ini hanya berada di luar lingkar pembentukan kekuasaan yang dicita-citakan. Mungkin, jika yang memilih golput jumlahnya di atas 50 persen bisa terjadi huru-hara politik baru. Potensi penggulingan kekuasaan juga menjadi mungkin, walau sistem politik di Indonesia masih belum memungkinkan. Eksistensi pemerintahan terpilih bakal diragukan karena bukan sebagai wakil dari suara mayoritas.

Mereka yang memilih golput sesungguhnya bertujuan dan memiliki harapan untuk memiliki wakil rakyat atau pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Golput lahir sebagai reaksi dan apatisme atas semua fenomena politik yang dipandang telah rusak secara akut. Sementara itu, eksistensi dan peran partai tidak memenuhi harapan masyarakat. Partai politik beserta kader-kadernya tidak "mengenal" dan "dikenal" rakyat karena gerakannya cenderung sporadis, misalnya, menebarkan janji-janji politik yang diketengahkan saat pemilihan saja.

Keputusan politik

Pada konteks ini, yang harus dicermati bukan apakah fatwa itu layak dikeluarkan atau tidak, salah atau tidak orang yang menyerukan golput. Namun yang harus dijawab adalah, masih adakah putusan politik individu yang mungkin dilakukan secara objektif-rasional. Secara umum, keputusan untuk tidak memilih dan golput bisa disebabkan dua hal.

Pertama, buruknya sistem administrasi pemerintah, sehingga banyak rakyat yang memiliki hak pilih kehilangan dan menghilangkannya. Fakta buruk itu terungkap dengan kasus adanya calon pemilih yang memiliki kartu pemilih dua dan lebih, bahkan sudah meninggal pun tetap mendapatkan undangan untuk melakukan pencoblosan. Tentunya pencoblosan itu tidak dilakukan si mayit, tetapi oleh orang lain.

Kedua, keputusan untuk tidak memilih mendasarkan argumentasinya pada realitas di lapangan, sampai saat ini belum ada kebijakan politik yang benar-benar berpihak pada rakyat. Elit politiklah yang merasakan keuntungan dari hajatan tersebut. Pemilu hanya merupakan dagelan politik yang tidak memiliki peran signifikan bagi perubahan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi yang lebih baik. Padahal biaya yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah untuk sebuah pemilu atau pilkada itu sangat besar. Sementara, yang terjadi hanyalah pergantian rezim, dengan perilaku politik dan memproduksi kebijakan yang kurang lebih sama.

Akibat kekecewaan itu, rakyat memandang mencoblos pada saat pemilu atau pilkada hanyalah kesia-siaan. Akan lebih baik tetap bekerja atau istirahat di rumah. Memilih untuk golput adalah hak politik individu. Namun, tampaknya pilihan itu juga kurang tepat. Mengingat sistem pendukung untuk menghasilkan kebijakan politik pembangunan diawali dengan memilih anggota DPRD, DPR, DPD, Walikota, Bupati, Gubernur dan Presiden serta wakilnya.

Pemilih kritis

Kalaulah demikian, mengapa kita tidak melakukan perlawanan dengan menolak politisi busuk dan memilih secara kritis. Jatah kampanye yang cukup panjang harusnya jadi kesempatan untuk mengidentifikasi partai, caleg dan capres manakah yang pantas dipilih. Memilih secara kritis berarti memilih secara cerdas. Pemilih cerdas artinya memilih dengan nurani dengan informasi yang cukup tentang calon yang akan dipilih pada pemilu 2009 nanti.

Hak pilih itu ada dalam setiap warga Negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih sebagaimana diatur undang-undang. Maka, hak pilihnya seharusnya dapat dipergunakan untuk kepentingan masa depan sendiri dan bangsa. Kondisi bangsa ke depan semestinya ditentukan oleh rakyat dengan cara memilih secara kritis. Sebab, pilihan kita sangat berpengaruh bagi penentuan arah perjalanan bangsa ini ke depan.

Dengan demikian, selain faktor pemilih yang harus aktif mencari informasi, peran partai dan lembaga pendidikan pemilih serta penyelenggara pemilu (parpol dan KPU) menjadi penting untuk mengedukasi calon pemilih. Sesungguhnya masih ada politisi yang bersih – meski sedikit – dan di pundak merekalah harapan perubahan bangsa itu terletak. Partai politik juga masih ada yang mampu memproduksi kader yang berkualitas dan memiliki integritas moral yang tinggi.

Nah, kepada politisi dan partai politik semacam itulah kita dapat memberikan suara dan menyalurkan aspirasi. Suara hati dan pengetahuan kita juga dapat menentukan mana politisi dan partai politik yang bersih. Karena itu, mengakses pengetahuan dan penyampaian informasi kepada publik secara tepat dan akurat merupakan sesuatu yang penting. Pada konteks pemilu 2009 nanti, memilih secara kritis artinya memilih dengan berlandaskan pada pengetahuan mengenai kualitas calon anggota legislatif (Caleg) dan plat form yang diusung partai politik pengusungnya.

Dengan demikian, partai politik berkewajiban memberitahukan kepada publik mengenai track record seseorang yang akan dicalonkan oleh partai politik. Hal itulah yang nampaknya belum dilakukan partai politik yang ada. Selain itu, belum ada peraturan dan political will dari elit partai untuk memberikan informasi pada publik mengenai track record seorang calon yang diajukannya. Track record seorang calon seyogyanya dapat diakses publik, agar para pemilih tidak terjebak "membeli kucing dalam karung". Wallaahu'alam


Selesaikan Bacanya!......

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.