Selasa, 17 November 2009

Kuasa dan Kebenaran Dalam Wacana Cicak Lawan Buaya

Teater politik dan hukum Indonesia masih didominasi episode cicak melawan buaya. Siapa yang menang dan kalah, endingnya belum dapat diketahui. Demikian juga, siapa yang terlibat, yang menjadi dalang, yang menjadi martir atau dikorbankan, publik belum bisa menyimpulkan.

Namun, di tengah ramainya pentas teater itu, para facebooker membuat kejutan dengan memberikan dukungan atas pembebasan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Suatu dukungan yang hingga tulisan ini dibuat, jumlahnya sudah 1,2 juta lebih. Untuk sementara, pemenang dari teater cicak lawan buaya adalah facebooker itu sendiri.
Dari berbagai ulasan yang dibuat terkait soal cicak lawan buaya, suatu wacana yang diproduksi oleh Polri dan diralat oleh Kapolri, penulis melihat ada yang luput dari perhatian, yaitu keterkaitan antara kuasa, wacana dan produksi kebenaran. Suatu fakta baru, bangkitnya kekuatan sipil yang dalam ekspresi politiknya menggunakan media facebook.
Bentuk keterbukaan informasi dan pandangan politik masyarakat yang terbuka dan bebas. Terbuka dan bebas karena tidak adanya aturan main (rule of games) yang bisa diatur dan dicurangi oleh kelompok kepentingan tertentu. Setiap orang dapat menyampaikan idenya dan tak ada satu institusipun yang berhak untuk menutupnya. Facebooker merdeka kepada dan untuk dirinya sendiri. Jika media massa masih bisa dikangkangi oleh kepentingan pemilik modal, maka facebooker tak dapat disumbat. Karena jika pun disumbat, ada media lain yang bisa dijadikan media seperti twitter dan yang lainnya.

Kuasa
Michel Foucault, salah satu filosof Prancis terkemuka menyatakan, saat ini, kuasa bukan lah milik seseorang, seperti raja atau pejabat, tapi strategi. Kuasa dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami berbagai pergeseran.
Kita bisa melihat dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan dan sistem-sistem regulasi. Itu lah bentuk kuasa dan di situ kuasa sedang berkerja. Kekuasaaan selalu terakumulasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa memproduksi realitas, memproduksi lingkup-lingkup, objek-objek dan ritus-ritus kebenaran. Menghukum dan membentuk publik lewat opini. Publik tidak dikontrol menurut kekuasan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat wacana
Kuasa dalam pentas teater cicak lawan buaya diproduksi oleh facebooker dan media massa baik cetak dan elektronik yang secara masif memberitakan perkembangan kasus tersebut. Facebooker memperteguh kuasanya dengan melipatgandakan jumlah pendukung. Suatu pembuktian atas tesis yang menyatakan media massa sebagai salah satu pilar demokrasi di tengah mandulnya gerakan politik di parlemen. Hal ini juga menunjukkan bahwa civil society (masyarakat sipil) terus melakukan edukasi dan pencerdasan atas dirinya. Suatu fakta menggembirakan sekaligus ironi. Menggembirakan karena publik menunjukkan dirinya sudah tidak bisa dibodohi lagi. Di sisi lain, menjadi ironi karena diam-diam telah terjadi delegitimasi dan semakin melemahnya kepercayaan publik kepada aparat hukum.
Presiden, Mahkamah Konstitusi (MK), KPK, Kepolisian, Tim 8 dan Kejaksaan hanyalah salah satu produsen kuasa yang terbukti tak berkutik menghadapi dominasi facebooker yang kekuatannya terus membesar di setiap menit seiring semakin banyaknya yang bergabung.

Wacana
Menurut Foucault, setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu menimbulkan efek kuasa.
Produksi wacana berkait bagaimana terbentuknya bangunan wacana. Produksi wacana selalu berkaitan dengan realitas. Realitas tidak bisa didefinisikan jika tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar. Wacana membentuk dan mengkonstruksi peristiwa tertentu dan gabungan dari peistiwa tersebut ke dalam narasi yang dapat dikenali dalam kebudayaan tertentu.
Dalam teater cicak lawan buaya, wacana yang diproduksi kepolisian dikalahkan dengan telak oleh wacana yang dibangun media massa dan facebooker. Suatu realitas yang tidak terbantah sebagai salah satu bentuk demokratisasi dan menguatkan kekuatan sipil (civil society). Facebooker telah menjadi wacana dominan, mainstream dari wacana cicak lawan buaya. Wacana yang dibangun oleh selain itu tenggelam tak terdengar. Terciptalah wacana, Kepolisian dan Anggodo salah. Sementara, Bibit dan Chandra tertindas, benar dan harus dibela. Kepolisian pun dihakimi dan KPK pun dibela. Walau tentu faktanya belum tentu demikian. Semuanya masih mungkin terjadi, hanya Tuhan dan pelakunya yang tahu. Namun, wacana yang terbentuk telah memberikan kesimpulan bahwa Bibit dan Chandra tidak menerima suap dan KPK harus dibela. Di tengah carutmarutnya sistem hukum di Indonesia, gerakan facebooker tersebut seperti oase yang membuat dahaga akan keadilan dan kebenaran sejenak terpuaskan. Karena lembaga hukum yang seharusnya memproduksi keadilan dan kebenaran terbukti telah dikangkangi oleh segelintir manusia serakah yang kemaruk dengan harta.

Produksi Kebenaran
Kuasa menjamin perbedaaan antara benar dan tidak benar. Ada berbagai prosedur untuk memperoleh dan menebarkan kebenaran. Dukungan 1,2 juta lebih facebooker adalah prosedur untuk memperoleh dan menebarkan kebenaran tersebut.
Prosedur dan model penebaran kebenaran tersebut harus dilihat sebagai bentuk baru yang bisa jadi akan menjadi strategi berbagai kelompok kepentingan di masa yang akan datang.
Memang hanya sekian persen dari total penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta. Tapi itu semua merupakan ekspresi politik kelas menengah. Ingatlah, perubahan sosial politik baik dalam bentuk reformasi maupun revolusi dilakukan oleh kelas menengah. Suatu produksi kebenaran yang akan memiliki dampak sosial politik dan ekonomi.
Jika dukungan tersebut adalah bentuk kekecewaan publik atas penegakkan hukum, akan melahirkan ketidakpercayaan publik baik di dalam maupun luar negeri. Jelas, berdampak kepada investasi di satu sisi. Di sisi lain, bisa berdampak kepada meningkatnya kebrutalan masyarakat dalam menyelesaikan perkara hukum karena tidak adanya institusi yang diyakini dapat memberikan keadilan. Karena itu, kita berharap rekomendasi Tim 8 akan memberikan masukan yang tepat kepada Presiden sehingga dapat mengambil langkah tepat dan cepat untuk mengakhiri kemelut hukum ini.
Terlepas dari fakta dan data yang nantinya akan diungkap oleh Tim 8, kini, produksi kebenaran telah diambilalih oleh dunia maya, facebook. Suatu bentuk baru dari produksi kebenaran yang menghakimi sistem pengadilan kita karena selama ini dituding hanya menjadi bahan permainan para mafioso pengadilan.
Facebooker telah menyatukan visinya untuk menjadikan Indonesia yang berkeadilan secara hukum. Suatu bentuk pengambilalihan peran yang tragis, karena seharusnya peran ini dilakukan oleh aparat hukum.
Sebegitu parahkah sistem hukum Indonesia, facebooker telah menghakimi dan memutuskannya. Kini kembali kepada Presiden, sejauhmana upayanya yang tegas dan adil dalam menyelesaikan kemelut ini. Atau, bisa jadi gerakan facebooker berubah menjadi gerakan mendelegitimasi kekuasaan yang sedang menyemai kinerja 100 hari pertama. Jangan sampai ini terjadi, karena pertumpahan darah mungkin terjadi dan bangsa ini kembali mundur ke pusaran sejarah konflik yang membuat bangsa ini lambat bangkit. Ini lah tantangan KIB II untuk “memproduksi kebenaran rasa publik” dan sesuai rasa keadilan publik.




Selesaikan Bacanya!......

Kemana Idealnya Arah Pendidikan Islam?

Jika Aa Nafis menulis novel runtuhnya surau kami, maka jika kita mau jujur, saat ini ‘lampu kuning’ pendidikan tengah menyala, karena bisa jadi runtuhnya madrasah (baca: lembaga pendidikan) akan terjadi.


BANYAK contoh yang menggambarkan keruntuhan madrasah itu tengah terus terjadi. Bicara kualitas, belum banyak keluarga atau pun lembaga pendidikan Islam yang memiliki kualitas tinggi, hanya bisa dihitung jari. Bahkan, tak sedikit, lembaga pendidikan yang harus gulung tikar, atas sekedar ada saja.

Akibatnya, produk pendidikan Islam dinilai gagal menghadapi realitas sejarah. Tantangan zaman yang menuntut kesanggupan mental, skill dan keterampilan yang mumpuni belum sepenuhnya bisa dihadapi. Bukan sekedar kecerdasan intelektual dan keterampilan, tapi juga kecerdasan emosional dan spiritual harus dimiliki produk pendidikan Islam.

Celakanya lagi, terdapat pemahaman keliru, bahwa pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada lembaga pendidikan formal dan informal. Padahal pengertian lembaga pendidikan Islam termasuk di dalamnya adalah keluarga. Justru keluarga itu lah sebagai tempat inti terjadinya proses pendidikan setiap saat. Bahkan, pendidikan itu sudah dimulai semenjak sang ibu membangun komunikasi penuh cinta dengan sang bayi yang masih di kandungan.

Memang, masih ada keluarga yang menjadi basis pendidikan Islam. Sudah banyak juga lembaga pendidikan Islam seperti pesantren yang melakukan transformasi diri. Namun jumlahnya belum banyak dibanding kebutuhan. Karena jika dilakukan perbandingan, jumlah umat Islam tidak sebanding dengan jumlah lembaga pendidikan Islam berkualitas.

Jika demikian, kemana idealnya arah pendidikan Islam? Sebuah pertanyaan yang menggugat sekaligus mengingatkan kepada kita semua sebagai stakeholder pendidikan Islam, tentang pentingnya merumuskan kembali konsep pendidikan Islam dengan basis epistemologi yang cocok, ideal.

Dalam seminar internasional bertajuk Epistemologi Dalam Perspektif Islam; Teori dan Aplikasinya Dalam Institusi Pendidikan Tinggi, yang diselenggarakan UIN Bandung, 13 November 2009. Sebagai pembicara, hadir Osman Bakar, Deputy CEO, International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia; Ahmad Tafsir, Ketua Program Doktor Pendidikan Islam UIN Bandung dan Nanat Fatah Natsir, Rektor UIN Bandung.

Disimpulkan bahwa peradaban dibangun oleh epistemologi. Praktik epistemologi salah satunya ada dalam pendidikan, lebih praktis lagi ada dalam kurikulum. Dalam praktik nyatanya, orang tua, guru dan dosen menjadi pelaku, mediator dari basis epistemologi tersebut. Pendidikan adalah model transformasi nilai, epistemologi dan pengetahuan antar generasi. Pendidikan adalah sistem keadaban yang ada semenjak manusia ada, diciptakan. Modelnya dari pendidikan sederhana sampai yang sifatnya bertingkat. Akarnya adalah epistemologi.

Namun, soal ini, rupanya sebagian besar pelaku pendidikan banyak yang tidak menyadari atau mungkin tidak memahami. Akibatnya, produk pendidikan Islam atau pendidikan Indonesia seperti kebingungan dan hanya bisa mengekor dengan konsep pendidikan yang basis epistemologinya berasal dari Barat. Terlebih, di lingkup keluarga, sebagai lembaga pendidikan inti, dominasi tayangan televisi telah menjadi guru baru yang menguasai kesadaran dan pengetahuan keluarga.

Osman Bakar, Ph.D dalam paparannya menyatakan semua kebudayaan dan agama, memiliki basis epistemologinya sendiri-sendiri. Karena itu, keliru jika dengan serta merta dan tanpa sikap kritis mengambil epistemoli dari peradaban Barat. “Tak mungkin kita memiliki epistemologi yang unggul tanpa memiliki kosmologi (pandangan dunia tentang alam) dan psikologi (pandangan dunia tentang manusia) yang komprehensif,” katanya.

Lebih lanjut, Osman menyatakan, kosmologi dan psikologi Islam dibangun dengan prinsip tauhid. “Kita bersedia untuk mengambil dari berbagai sumber, selama itu cocok dengan semangat tauhid yang menjadi konsep keimanan umat Islam,” tegasnya.

Pengetahuan dan kebenaran, lanjut Osman, sangat penting dalam prinsip epistemologi Islam. “Islam adalah agama pengetahuan. Ilmu pengetahuan menuntut kebenaran. Ilmu dan kebenaran adalah dua asmaulhusna yang penting,” ujarnya.

Nanat Fatah Natsir, Rektor UIN Bandung yang juga pembicara seminar tersebut menegaskan bahwa tidak perlu lagi ada dikotomi (pemisahan) antara ilmu agama dengan ilmu umum. Dengan prinsip dasar ini, semua ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam harus didasarkan juga pada nilai-nilai agama, tauhid. “Semua ilmu dikembangkan dari Sang Maha Pencipta, Allah Swt, baik dalam bentuk ayat qauliyah (al-Quran) dan ayat kauniyah (alam semesta). Mempelajari ilmu itu dalam rangka pengabdian diri sebagai khalifah dan abdi Allah di bumi ini,” tegasnya.

Dapat disimpulkan, basis epistemologi pendidikan Islam adalah tauhid. Dengan prinsip tauhid, tidak perlu lagi ada dikotomi antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada kepribadian yang terbelah dari produk pendidikan Indonesia .

Dalam praktiknya, seluruh lembaga pendidikan Islam, termasuk di dalamnya keluarga, harus merumuskan ulang model pendidikannya. Mulai dari merumuskan epistemologi, kurikulum, Satuan Acara Perkuliah/Pengajaran, dan bahan ajar. Dalam keluarga, sistem pendidikan keteladanan dan peran orang tua dalam mendidik anak sangat vital.

Mungkin rumit, namun harus dimulai dan dilakukan. Atau pendidikan Islam akan semakin dibanjiri oleh sistem yang keliru, memproduk manusia yang gagal. Akibatnya peradaban menjadi peradaban gagal. Seperti sesaknya hati kita melihat carutmarut hukum di negeri ini. Sebagaimana muaknya kita melihat korupsi yang terjadi dimana-mana. Sadar atau tidak, itu produk pendidikan yang keliru.

Seperti pohon, akarnya harus benar, disiram dan dipupuk yang tepat. Dengan demikian, tumbuhnya pun akan baik dan buahnya akan lebat dan bermanfaat. Demikianlah pohon pendidikan Islam harus tumbuh, bukan hanya di dalam lembaga pendidikan formal, resmi seperti pesantren, universitas, sekolah, tapi juga dalam keluarga.

Kini, kembali kepada diri kita semua. Haruskah pendidikan Islam yang ditopang oleh keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan harus semakin tenggelam oleh model pendidikan yang salahkaprah? Marilah memulai dari diri kita, saat ini, dan dari hal yang kecil. Selamatkan generasi muda dari kekeliruan pendidikan, karena masa depan umat ada ditangan kita. Jangan warisi mereka tradisi kebodohan.



Selesaikan Bacanya!......

Senin, 16 November 2009

Memberdayakan PKL

Apakah Pedagang Kaki Lima (PKL) tergolong dalam usaha mikro? Secara ekonomi tentu ia. Bahkan jumlahnya sangat signifikan. Tengoklah berbagai kota di Indonesia, ciri khasnya antara lain PKL. Di Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta dan seluruh kota, baik kota besar dan kecil di Indonesia dipenuhi oleh PKL. Bahkan di negara lain pun, seperti Thailand misalnya, demikian adanya.

Di Bandung misalnya, begitu banyak pusat jajanan pinggir jalan yang jika malam tiba dipadati oleh pengunjung. Bahkan jajanan pinggiran yang itu dilakukan oleh PKL merupakan bagian dari pariwisata, karena dinikmati oleh wisatawan yang berkunjung. Di Malioboro Yogyakarta juga, akan lebih asyik jika makan malam di pinggiran sambil menikmati suasana kota.
Dari sudut pandang filsafat ekonomi, PKL adalah antitesis dominasi korporatisme global yang mendominasi seluruh sudut kota dengan jaringan pertokoan ritel. Sebagai antitesis, PKL adalah manifestasi perlawanan dari si kecil melawan si besar. Perlawanan pemodal kecil dengan pemodal besar yang mampu membangun pusat pertokoan di berbagai lokasi strategis, tentu dengan biaya mahal.
Bagi konsumen, PKL adalah solusi pemenuhan kebutuhan di tengah harga-harga yang melambung tinggi. Konsumen dengan daya beli rendah akan cenderung memilih barang-barang dari PKL dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu saja, ada simbiosis mutualisma antara konsumen dengan PKL. Dengan demikian, pemerintah sebagai pelayan masyarakat, seharusnya bukan mengobrakabrik PKL, namun seharusnya memberdayakannya.
Dari sisi budaya, PKL adalah penyemarak kegairahan budaya, ekonomi dan pariwisata suatu kota. Bahkan bukan sekedar penyemarak, PKL adalah penanda (icon) suatu kegiatan perkumpulan, pesta dan kerumunan masa. Lihat saja, pasar tumpah yang terjadi diberbagai sudut kota di hari minggu, dimana masyarakat banyak yang melakukan aktivitas pagi di pusat keramaian tertentu. Di Bandung, itu terkonsentrasi di Gasibu dan tempat lainnya.
Bagaimana jika data dan sejarah ekonomi republik ini yang bicara? Harus diakui, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang di dalamnya ada PKL, sangat berperan dalam membangun pondasi perekonomian nasional. Selain menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 1.505,3 triliun (30,3 persen), sektor usaha mikro juga mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 83.647.711 (89,3 persen). Pelaku usaha mikro di negeri kita mendominasi jenis usaha bangsa ini dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut pengelolaan database usaha mikro, kecil dan menengah, jumlah usaha mikro di Indonesia adalah sekitar 50,70 juta usaha atau 98,9 persen.
Coba kita bandingkan dengan usaha besar yang hanya berjumlah 43,7 ribu dan menyerap tenaga kerja 2,3 juta (2,9 persen). Meskipun sumbangan bagi PDB relatif besar, terlihat jelas UMKM lebih berperan bagi pemberdayaan masyarakat. Maka, untuk menciptakan kekuatan ekonomi bangsa ke depan, diperlukan transformasi atau upaya ekspansif dari pengusaha mikro untuk memajukan usahanya. Dalam bahasa lain, ekspansi dari jenis usaha mikro, kemudian menjadi usaha kecil sampai bertransformasi dalam bentuk/jenis usaha menengah.
Dari sisi regulasi, keberadaan PKL yang makin menjamur dan dinilai mengganggu ketertiban umum itu mencerminkan ketidakpastian aturan yang ditetapkan dan bermainnya oknum-oknum aparat yang menikmati jasa keamanan. Argumentasi ini lah yang dipergunakan aparat pemerintah untuk membubarkan PKL.
Jika dilihat dari sisi teologi, keberadaan PKL jika itu dinilai mengganggu ketertiban umum, tentunya tidak dibenarkan oleh ajaran agama sekalipun. Meski demikian, membubarkan dan mengejar-ngejar PKL di suatu lokasi, sementara di lokasi lain tidak dilakukan juga tentu bukan suatu kebijakan yang tepat. Terlebih jika pembubaran itu dimaksudkan untuk memuluskan kepentingan pemodal (investor) yang akan mendirikan pusat perbelanjaan, mengingat di lokasi tersebut telah terkonsentasi masa, jelas itu perbuatan yang tidak bermoral.
Di atas itu semua, sesungguhnya diperlukan kebijakan komprehensif dan berkelanjutan untuk menangani dan memberdayakan PKL. Argumentasinya jelas, landasan konstitusional pemberdayaan PKL diatur oleh kewajiban negara untuk memberikan penghidupan yang layak bagi warga negaranya.
Faktanya, pelaku usaha PKL adalah mereka yang secara ekonomi lemah. Menjadi PKL demi untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, bukan untuk memperkaya diri. Dengan demikian, keberadaan PKL harus dijaga dan diberdayakan.
Pemberdayaan itu dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, melakukan edukasi soal aturan hukum dan kesadaran keagamaan. Dalam konteks ini, jangan ada sikap rancu dan premanisme. Jika kebijakannya ambigu, disatu sisi dibubarkan, di sisi lain diminta setoran, maka selama itu PKL akan ada. PKL adalah wajah kebobrokan oknum aparat keamanan dan ketertiban negara.
Dalam edukasi dan pembinaan keagamaan, sebaiknya dilakukan kerjasama dengan organisasi keagamaan yang dekat dengan wilayah tersebut. Selain itu, PKL harus diorganisir. Kepentingan diorganisir adalah agar keanggotaannya terkontrol dan tidak terjadi hukum rimba. Selama ini, pengorganisasian itu lebih untuk kepentingan memungut retribusi dibandingkan pembinaan. Lebih lanjut, di setiap wilayah didirikan koperasi sebagai lembaga yang menaungi para anggota PKL yang telah diorganisir itu.
Kedua, bagi PKL yang lokasinya tidak mengganggu ketertiban umum, sebaiknya terus dibina dan diberdayakan untuk menjadi duta pariwisata. PKL yang dilokalisir di daerah tertentu, dengan keunikannya yang khas, akan bisa menjadi primadona pariwisata.
Ketiga, edukasi dan pembinaan sebaiknya diarahkan juga pada upaya untuk menaikkelaskan PKL. Keberadaan koperasi dan lembaga keuangan penting agar PKL yang omsetnya ratusan ribu naik kelas menjadi ratusan juta. Berbagai pelatihan bidang administrasi dan akses ke perbankan harus dilakukan.
Keempat, konsistensi pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pemda harus melihat PKL sebagai aset ekonomi yang mampu menggerakan ekonomi masyarakatnya lebih baik. Bukan sebaliknya, dipandang sebagai pengganggu ketertiban dan sumber retribusi semata. Pemda harus mengatur PKL di lokasi yang strategis dan memang selama ini banyak pembeli yang datang. Namun harus diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban. Komitmen itu harus dibangun oleh kelompok PKL yang diorganisir. Sehingga merekalah yang menjaga agar lokasi usahanya tetap tertib.
Selama ini, penolakan pemindahan yang dilakukan PKL karena lokasi yang ditawarkan selalu bermasalah. Ini soal moralitas kepemimpinan. Pemerintah harus berpihak kepada PKL.
PKL usianya sama dengan usia keberadaban manusia yang mulai mengenal pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Jadi, secara antropologis, PKL adalah kebudayaan ekonomi yang telah lama usianya dan penting bagi kehidupan manusia. Jika demikian, yang penting adalah memberdayakannya, bukan membubarkannya. Karena, PKL pun harus makan, punya anak dan istri yang tiada lain adalah anak bangsa yang harus hidup layak.


Tayang di Harian Kompas Edisi Jawa Barat, 17 November 2009





Selesaikan Bacanya!......

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.