Senin, 14 September 2009

Puasa Yess, Konsumerisme No

Setiap tahunnya, ibadah puasa yang dilakukan di Indonesia selalu meriah dan berdampak besar bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Bagi kehidupan sosial, kesadaran sosial dan berbagi sangat menguat.

Ini diindikasikan dengan membesarnya penerimaan infaq, zakat dan shadaqah lembaga zakat. Belum lagi, di kota besar, jumlah pengemis pun semakin banyak. Jumlah pengemis yang membanyak, karena di bulan ini, orang berlomba-lomba untuk bershadaqah. Andai saja, kegemaran umat Islam berinfaq, bershadaqah dan berzakat relatif konstan, ekonomi dan kesejahteraan umat Islam pasti akan meningkat tajam dalam hitungan tahun. Namun di sisi lain, ada penyakit sosial yang meningkat, yaitu kriminalitas.
Secara ekonomi, terjadi peningkatan konsumsi masyarakat, yang berdampak kepada meningkatnya permintaan akan barang-barang. Kondisi tahunan ini biasanya ditumpangi oleh perilaku tak terpuji spekulan, menimbun barang dan melakukan tindakan pemalsuan barang. Terjadilah kenaikan harga dan gairah di berbagai pusat perbelanjaan.
Secara politik, bulan puasa biasanya ditandai dengan menurunnya tensi politik dan disertai dengan berbagai manufer politik yang mengarah kepada kerjasama antar elit dan partai politik.
Dari sisi budaya, puasa menjadi élan vital, bagi tumbuhnya berbagai budaya yang berwarna dalam masyarakat Indonesia. Ngabuburit, ngabedug, keliling kampung waktu sahur dan lain sebaginya begitu mentradisi dalam masyarakat kita.


Mewaspadai Konsumerisme
Barangkali, yang harus menjadi perhatian dan disadari kita semua adalah meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat yang cenderung mengarah pada konsumsi berlebihan atau budaya konsumeris. Bagi kaum postmodernis, konsumerisme adalah trend budaya. Dimana, penanda (icon) status sosial ditentukan oleh barang, toko, tempat belanja dan berapa harganya.
Dari sisi ilmu ekonomi, meningkatnya konsumsi menunjukkan adanya peningkatan pendapatan (kemampuan ekonomi). Ini tentu membahagiakan karena menggambarkan tingkat kesejahteraan ekonomi dan pendapatan per kapita penduduk semakin tinggi. Jangan lupa pula, Indonesia adalah negara yang pertumbuhan ekonominya sebagian besar ditopang oleh konsumsi domestik.
Namun yang harus diwaspadai adalah jika kemampuan ekonomi itu sipatnya buble (gelembung) saja yang disebabkan banyaknya tunjangan, infaq atau bantuan mengingat meningkatnya kegemaran orang kaya membantu si miskin. Lebih mengkhawatirkan lagi, jika meningkatnya daya beli itu karena ditopang oleh utang, misalnya penggunaan kartu kredit, atau pinjaman renternir. Ini mungkin terjadi karena masyarakat cenderung memaksakan diri untuk merayakan lebaran, padahal kemampuan keuangannya sedang memburuk. Perilaku ekonomi semacam itu jelas sangat membahayakan, karena mendorong lahirnya kriminalitas, korupsi dan tindakan tak terpuji lainnya.
Di sisi lain, kelompok sosial menengah ke atas ada kecenderungan untuk bermewah-mewahan. Budaya pamer kesuksesan di kampung halaman ketika mudik, seakan menjadi trend. Pusat perbelanjaan pun selalu ramai, terlebih dengan promo diskon dan berbagai upaya menggaet pembeli lainnya.
Sadar atau tidak, umat Islam yang tengah berpuasa sedang dijangkiti oleh konsumerisme. Penyakit budaya ini justru berlawanan dengan semangat berpuasa yang mendorong seorang muslim untuk sederhana, mampu menahan diri dari hawa nafsu yang negatif, dan peduli kepada sesama.
Setan mungkin diikat dan dikerangkeng Allah Swt. Tapi nafsu berbelanja berlebih menjadi syahwat tersendiri yang membahayakan. Karena itu, ibadah puasa yang dilakukan hendaknya mampu menahan budaya belanja dan perilaku ekonomi yang bermewah-mewahan.
Konsumerisme adalah fakta budaya yang tak bisa dihindari. Konsumerisme adalah sikap budaya yang menjadikan kemewahan dan konsumsi sebagai panglima. Hal ini yang diingatkan oleh Allah Swt dalam surat At-Takatsur, yang mengingatkan bahwa bermewah-mewah membawa kepada kelalaian dan mengantarkan kita masuk neraka Jahim. Jika konsumerisme dibiarkan, hanya akan membuat ibadah puasanya tak bermakna, sekedar lapar dan dahaga.
Tujuan dari ibadah puasa adalah menjadikan seorang mukmin untuk meraih ketaqwaan, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 183. Istilah taqwa dapat diterjemahkan sebagai “kewaspadaan kepada Allah SWT”. Pada umumnya, ahli tafsir menerjemahkan term tersebut untuk beberapa pengertian seperti kepatuhan, kesalehan, keteguhan, perilaku baik, penjagaan diri dari kejahatan, takut kepada Allah SWT, dan kesadaran akan adanya Allah SWT. Dalam masyarakat sendiri, taqwa diartikan sebagai sikap menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.
Kata taqwa sendiri berarti “melindungi, berjaga-jaga, berhati-hati dan waspada. Jelasnya ia merupakan sebuah sikap yang melambangkan setiap kebaikan manusia, dan dalam konteks al-Qur’an kebaikan tersebut mestilah ditujukan kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah menyatakan, manusia yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa (QS 49: 13).
Patut dicatat di sini, ketaqwaan adalah sebuah sikap mental, dan buah ketaqwaan dapat dirasakan melalui setiap amal perbuatan. Taqwa harus dipahami lebih sebagai kata kerja, bukan kata benda. Maksudnya, taqwa tidak dapat dipahami dalam konteks identitas individu maupun kelompok yang merupakan identitas sosial keagamaan. Ketaqwaan dapat diraih oleh setiap muslim yang melakukan amal ibadah secara sempurna dan penuh keikhlasan. Ketaqwaan tidak identik dengan kiai. ulama, ustadz, orang tua dan semua kedudukan sosial yang berbau kesalehan. Ketaqwaan tidak pula identik dengan seorang muslim yang memiliki gelar haji atau hajjah. Sekali lagi harus ditekankan bahwa ketaqwaan adalah hasil bagi setiap muslim yang secara sungguh-sungguh beribadah kepada Allah dengan ilmu dan keikhlasannya.
Puasa juga mengandung nilai dan sikap meneladani sifat-sifat Allah. Walau tidak selama 24 jam, umat Islam dilatih untuk tidak makan dan minum, serta tidak berhubungan badan. Demikian halnya dalam praktik totalitasnya, seseorang yang tengah berpuasa harus meningkatkan perilaku kesehariannya sebagai pribadi yang berakhlaq baik.
Dengan demikian, ironi kalau ibadah puasa yang dilakukan dicemari dengan budaya konsumerisme yang sangat bertentangan dengan nilai dasar Islam yang melarang perilaku berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. Tentu saja, berbelanja untuk kebutuhan yang sifatnya dasar, primer (dharuriyat), sekunder (haaziyat), bahkan yang sifatnya memperindah diri, tersier (tahsiniyat), adalah kebolehan selama tidak berlebihan atau merugikan orang lain. Jika pun berbelanja, cukupi kebutuhan diri dan keluarga serta berbagilah untuk yang membutuhkan.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga berbagai upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi selama berpuasa melatih dan menyadarkan kita arti penting berbagi dan peduli sehingga mencapai target utama puasa yaitu menjadi manusia paripurna (taqwa).

1 komentar:

Dasam Syamsudin mengatakan...

Nah, tentang pengemis, saya ingin mengajukan pertanyaan yang kiranya berbobot tapi tetap tidak berotot: bagaimana pendapat akang, tentang fatwa diharamkannya pengemis, dan bagi pemberi pengemis juga katanya diharamkan?...
dan ini yang terpenting... tidakkah IMM suka mengemis ke kang Iu? bagaimana hukumnya... oh, bukan bagaimana hukumnya, tapi bagaimana ini?... pertanyaan kedua saya saja yang jawab ya kang...
.... apa ya? ah, teu jadi kang, sulit jawabna.
satu lagi pertanyaan ya, kang.
Adakah kesamaan antara peminta-minta yang dijalanan (pengemis), dan yang suka mengajukan proposal... emmm.. semacam IMM itu, yang selalu minta biaya untuk kehidupan organisasi, kalau pengemis kehidupan hidupnya?...
hehehe...

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.