Senin, 06 April 2009

Ayahku, Idolaku

Saya bersyukur kepada Allah, dilahirkan dari keluarga yang taat beragama tapi tidak panatik dengan khilafiah yang berkembang. Walau ayah bukan kiai/ ustadz, tapi beliau sangat taat dalam ibadah. Kebiasaan kami, jika jam 2 dini hari mendengar suara zikir ayah, sampai subuh tiba.

Ayah ditunjuk sebagai Ketua DKM pun sudah puluhan tahun. Demikian dengan ibu, ketua majelis taklim. Tak ada yang mau menggantikannya, walau ayah selalu mempersilahkan kepada siapapun menggantikannya. Kata ayah, sudah saatnya yang muda yang memimpin. Tapi ya itu, di kampung kami, setiap ada acara keagamaan, pembangunan masjid dan madrasah, melalui komunikasi ayah lah para donatur dari luar kampung, banyak membantu. Karena kata ayah, menunggu infaq dari warga akan sangat tidak mungkin. Bahkan tak jarang kami lah yang turun tangan membantu menyiapkan dana, utamanya kakak kami yang di Lippo Karawaci, yang memang secara ekonomi hidupnya sudah berkecukupan.
Bagi saya, ayah adalah idola dalam setiap hal. Kesabarannya dalam hidup, melewati masa-masa sulit, demi membiayai sekolah anak-anaknya, beliau tampak tangguh dan tawakal.
Dalam kehidupan sosial, sewaktu beliau belum terkena strooke, beliau lah yang selalu terdepan membantu masyarakat yang membutuhkan. Ke rumah sakit, membantu rumah warga jompo dan miskin yang sudah sangat rusak, membantu yang sakit, dan berbagai amal sosial, dia lah yang selalu pasang badan.
Tak jarang, kami harus berbagi beras dengan tetangga yang membutuhkan. Ayah selalu mengembalikan haknya sebagai amilin zakat atau panitia kurban untuk dibagikan kepada yang lebih berhak. Bahkan, ayah tak segan datang ke rumah panitia untuk menyerahkan bantuan, padahal, beliau dituakan. Beliau mau melayani tanpa pamrih.
Beliau sangat kami cintai dan kagumi. Walau hanya lulusan SD, bagi saya beliau lebih bijak dibandingkan mereka yang doktor sekalipun. Ilmu hidupnya lah yang memberi saya jalan sampai sekarang ini. Ilmu nya bukan ilmu omong, tapi teladan.
Beliau tidak pernah marah jika anaknya belum shalat. Tapi, sebagai anak yang setiap hari melihat bagaimana taatnya beliau shalat, shaum, shalat sunah dan shalat malam, kami tentu diberikan contoh yang baik tentang bagaimana hidup beragama.
Kami hidup sederhana. Ayah hanyalah pegawai negeri golongan II B ketika pensiun tiga tahun lalu. Tapi kecintaannya kepada pendidikan membuat semua anaknya sarjana. Bahkan, setiap kali saya pulang, selain menanyakan kesehatan saya, istri dan cucunya, pertanyaan selanjutnya adalah soal sekolah ku. Jangan lupa S-2 dan S-3 nya ya, segera selesaikan.
Begitulah ayah yang sewaktu aku masih usia 5-6 tahun, selalu menggendongku waktu pulang dari memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Aku ingat betul, sering tertidur atau kelelahan ketika ayah sedang berceramah kepada ibu-ibu atau bapak-bapak mengenai pentingnya hidup sehat, bersih, rukun. Beliau selalu menyitir ayat Al-Quran atau hadits.
Kami pulang larut, tak ada kendaraan melewati jalan rusak dan hutan. Tapi ayah selalu pulang karena ingat ibu dan kakak ku yang ada di rumah kami yang tidak lah besar. Kami jalan kami dengan menggunakan colen (obor-red). Ayah selalu pulang dan dia dikenal sosok yang pemberani. Aku digendongnya dengan penuh kasih sayang.
Kebanggaan ku akan ayah semakin menguat. Aku bangga karena ayah dikenal dan dihormati warga. Beliau lah yang selalu melerai dan dimintai pendapat ketika ada konflik atau perkelahian. Bahkan, rumah kami dari dulu tempat kumpulnya anak muda yang dengan bebasnya mereka makan di rumah. Ayah tidak pernah mengeluh, ayah selalu mengingatkan kami untuk selalu berbagi dan berbuat baik kepada siapapun, hatta kepada orang yang menyakiti kita sekalipun.
Gaji kecil, anak banyak dan semuanya sekolah membuat ayah dan ibu baru punya rumah yang cukup permanen setelah saya bekerja. Alhamdulillah, semua kebun dan sawah yang dulu sempat dijual sudah bisa dibeli oleh kami. Demikian juga dengan kebun dan sawah yang dulu digadaikan, sudah kami tebus. Bahkan, telah kami beli lagi beberapa petak sawah dan kebun. Aku sampaikan ke ayah dan ibu, ini dibeli agar anak cucu keturunannya tidak lupa kampung halaman, di sebuah desa jauh di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi sana.Biar anak cucunya tahu, bahwa ayah, nenek kakek, buyutnya adalah orang kampung.
Ayah tidak pernah meminta adik ku dan kakak ku yang perempuan untuk berjilbab. Tapi menjelang usia 20, kakak ku yang perempuan berjilbab. Demikian juga dengan adik bungsu ku yang kini sedang kuliah dan ikut dengan kami di bandung, dengan kesadaran mereka, harus menutup aurat. Tidak ada paksaan, tapi kesadaran. Yang penting, selalu menjaga aurat dan masih di batas-batas kesopanan, begitu kata ayah dalam suatu obrolan dengan kami.
Dalam hal ekonomi, dia anti ijon, tapi tidak pernah secara keras menolak ijon. Dia anti renternir, tapi tidak pernah menolak keras dan berbicara kepada banyak orang, karena memang banyak tetangga yang menjadi pengijon dan renternir. Sikap menolaknya diaplikasikan dengan sikap membantu sesama. Meminjamkan uang tanpa harus ada bunga. Bahkan, bi Encih, utangnya Rp 400 ribu pun sudah ayah anggap lunas karena, tiga hari lalu meninggal dunia, akibat sakit. Bahkan ayah mengingatkan saya untuk menyisihkan rezeki membiayai sekolah anak bi Encih yang kini yatim piatu. Ayah dan ibu pun kini punya anak asuh yang sedang dibantu sekolah dan punya warga binaan yang diberikan bantuan modal usaha. Ayah tidak kaya, tapi menurutku, jiwanya kaya dan aku sangat mencintai ayah dan ibu.
Dalam hal politik, ayah tidak pernah terbuka mendukung siapa, partai mana. Ini semata-mata ia lakukan agar semuanya merasa mendapatkan dukungan ayah. Kemarin saja, banyak sekali caleg dan tokoh partai yang datang dan memohon dukungan. Kepada semuanya ayah memberikan dukungan, tanpa pamrih. Kata ayah, berbuat baiklah dan tanamlah budi baik sebanyak-banyaknya, maka buah kebaikan akan kita petik, sekarang ataupun nanti.
Selamat ulang tahun ayah, ayah kini sudah berusia 70 tahun. Kalau dari KTPnya, udah berusia 68 tahun. Kata ayah, dulu menghitung umur cukup dengan mengira-ngira saja.
Ayah dan ibuku adalah lembar kehidupan yang penuh teladan. Hidupku belajar kepada mereka tentang hidup yang sejati, meraih bahagia dunia dan akhirat. Ayah dan Ibu, biarlah kami melayani dan membahagiakanmu. Semga rahmat Allah selalu bersama keluarga kita. Amin.

Jl. Cibiru Indah VII, Bandung



Selesaikan Bacanya!......

Kamis, 02 April 2009

Rindu Ka'bah

Jika saja Ka'bah dekat, mungkin aku tiap saat shalat di dekatnya. Sayang, Ka'bah ada di Makkatal Mukarramah. Aku rindu Ka'bah dan selalu hatiku seakan didekatnya. Semoga Allah segera mengundangku melaksanakan ibadah umrah dan haji.

Allah Swt telah memberi anugerah teramat besar bagi kota Makkah dan Madinah, karena hingga akhir zaman, tiap tahunnya ada ratusan triliun dana yang masuk dari kegiatan umrah dan haji. Bahkan ritual ibadah itu pun memberikan multiplayer effect kepada seluruh negara yang ada penduduk muslim. Biro perjalanan haji dan umrah serta aksesoris yang terkait dengan kegiatan ibadah haji dan umrah menjadi dagangan yang laris manis.
Itu baru dari sisi ekonomi. Belum lagi sisi politik, sosial dan ekonomi. Demikian lah berkah itu terus bertambah dan bertambah. Tak akan habis hingga akhir zaman nanti. Karena itu, rindukan lah Ka'bah. Tapi jangan berhalakan Ka'bah.
Merindukannya artinya ingin hidup selalu di bawah naungan ridla Allah Swt, titik. Tak ada yang diinginkan selain itu. Karena dengan niat seperti itu, hidup ini terasa menyenangkan, membahagiakan dan menentramkan.
Apa yang kita cari? Bukan kah kebahagiaan? Doa kita disetiap usai shalat selalu berulang meminta agar di dunia menjadi hasanah dan di akhirat menjadi hasanah, tapi mengapa kita menjauhinya, mengingkari doa itu. Naudzubillah.
Menipu, gila harta dan jabatan, sek bebas, mabuk-mabukan, korupsi, menghina orang, berprilaku tidak sepatutnya, meninggalkan ibadah. Semoga Allah menjauhkan kita dari segala perbuatan yang membuat-Nya murka.
Sebagai intelektual, atasnama kritik atas agama kita mengkritisi sesuatu yang menurut Filosof Iran Muhammad Baqir Shadr sebagai sesuatu yang tashdiq, benar adanya dan tak perlu dipertanyakan lagi karena hanya akan mendatangkan kesia-siaan.
Tuhan pun digugat, dikritik lalu shalat sebagai ibadah dianggap sebagai kesia-siaan. Naudzubillah. Bahkan dengan bangganya menggunakan aksesoris agama lain, meneriakkan kebebasan beragama, padahal sejatinya kita ini membutuhkan agama dan seharusnya beragama. Karena itu tentu ada banyak perintah agama yang harus dilaksanakan. Atas nama kebebasan beragama juga memakai purdah dianggap pengkerangkengan kepada kebebasan beragama. Padahal Allah Swt sudah jelas memerintahkan untuk menutup aurat.
Sekedar aurat pun diperdebatkan dan kita pun menjadi dungu. Bangga karena telah menjadi juru bicara kepentingan asing di negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Lalu menjadi juru bicara kebebasan beragama. Doku pun jadi penuh karena dollar mulai masuk ke kantong dari berbagai proyek atasnama kebebasan beragama, demokrasi, kesetaraan jender dan yang lainnya.
Sekedar soal peran istri, perempuan dan suami (laki-laki) pun diperdebatkan. Padahal soal itu adalah soal karakter yang apabila semuanya dibangun dengan komunikasi yang baik tidak ada masalah.
Sekedar demokrasi aja menjadi isu menarik. Padahal atasnama demokrasi juga Indonesia hingga kini belum sejahtera. Demokrasi hanya cara, alat untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Kita dungu, lupa tujuan dan sekedar menyenangi pesta. Lupa tujuan sesungguhnya dan lebih senang dengan berbagai kampulase, keramaian, pesta dan berbagai aksesoris yang sesungguhnya sekedar aksiden, bukan esensi.
Sementara, pada hal kecil pun masih lupa. Kebersihan misalnya. Apakah lingkungan kita telah bersih. Bukan sekedar iman tentu, kesehatan, kenyamanan dan keindahan akan sangat tertata kalau sudah bersih.
Ekonomi umat bagaimana? Kita akhirnya hanya sibuk seminar. Sementara renternir yang lahir dari umat itu sendiri berjumlah sangat banyak. Ramai, riuhrendah dan menguasai ekonomi umat. Lihat Mang Udin yang harus menggigit jari ketika panen tiba padahal dia taksir hasil panennya lebih dari membayar utang karena sebelumnya sudah berutang.
Bi Encih, pedagang ikan di kampung saya, Cisolok Sukabumi, sampai mencium kaki ibu dan bapak karena sudah dua tahun berdagang tak mendapatkan apa-apa selain harus membayar utang. Siapa renternir itu? Mereka umat Islam, demikian juga perusahaannya. Sementara, oleh Bapak dan Ibu diberikan pinjaman uang lebih dari cukup tanpa bunga dan diwajibkan membayar tiap hari, dengan cara menabung sampai jumlah utang pokoknya selesai. Bapak pun mengingatkan, uang itu ditabung di sekolah anak Bi Encih, agar tetap bisa menabung dan jika sudah cukup bisa melunasi utang dan jika tetap mau, bisa meminjam lagi dengan jumlah yang lebih besar.
Edi, saudara saya sekampung hampir saja berhenti sekolah karena tidak mampu membayar SPP. Beruntung ada seorang sahabat saya yang tak kaya-kaya amat, tapi punya hati mulia. Mungkin dia adalah sosok yang kaya hati.
Rizki yang diperoleh sahabat itu sepertinya sudah dia atur agar cukup untuk keluarganya, bisa menabung dan membantu saudara-saudaranya yang membutuhkan.
Suatu hari, kami pun berbincang. Menurutnya, jika aku memiliki uang Rp 100 ribu, rasanya cukup bagi kami Rp 50.000 untuk dikonsumsi, 20 ribu untuk ditabung dan 30 ribu untuk disedekahkan.
Allahu Akbar, Subhanallah. Begitu mulianya sahabat ini. Tetangga dan saudaranya sangat hormat dan sayang padanya. Bagaimana tidak, 30 persen hartanya dia berikan untuk saudaranya yang membutuhkan. Alhamdulillah, aku bersyukur ternyata masih banyak saudara ku yang berpikir seperti ini.
Dia tidak ingin terlihat kaya, mewah. Cukup lah motor baginya untuk bergerak kemana-mana. Atau menggunakan angkutan umum saja. Tapi kalau ada permintaan sumbangan untuk kepentingan umum, dibandingkan mereka yang kaya raya, dia selalu terbesar, terdepan.
"Yang saya cari dan inginkan adalah kebahagiaan, bukan harta benda melimpah tapi kita kikir. Saya berlindung kepada Allah dari godaan harta yang membuat saya silau dengan dunia. Ketahuilah, berbagi menerangkan hati." Kata sahabat tersebut suatu ketika.
Kemiskinan dan pendidikan adalah problem utama umat Islam. Mengapa tidak perhatian kita dicurahkan untuk persoalan tersebut. Keilmuan, program dan aksi nyata hendaknya diarahkan untuk itu.
Mengapa kita tidak menggugat persoalan keuamatan dan kebangsaan yang nyata di depan mata. Malah sibuk dengan ragam wacana yang tak jelas juntrungannya hanya karena sekedar hendak mendapatkan rupiah atau dollar dari donor asing atasnama proyek. Naudzubillah. Itu bukan proyek, tapi jalan menuju neraka. Bukan kah itu pengkhianatan intelektual. Bukan kah itu hegemoni dan penjajahan baru.
Kini soal nyata itu bernama ekonomi dan pendidikan dan seluruh energi kita harus menyatu untuk itu. Karena itu, jadikahlah hidup kita penuh manfaat bukan menambah madharat. Biarkan lah Ka'bah ada dihatimu, seperti cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga tak ada waktu untuk kita sekedar membuang waktu dan menumpuk kesenangan duniawi semata. Tetaplah seimbang agar di dunia bahagia, di akhirat juga. Amin. Semoga

Graha Pena, 2 April 2009



Selesaikan Bacanya!......

Rabu, 01 April 2009

Jangan Sekedar Pesta Demokrasi

Hingar bingar pasar politik makin ramai saja. Begitu seorang kawan membuka perbincangan di kedai bubur kacang ijo, depan kantor. Ya, memang dagangan politik di sebuah pasar bernama Indonesia. Dagangan yang disertai beragam pesta, sehingga terasa meriah dan ramai.

"Aku khawatir, kita tidak memperhatikan produk yang ditawarkan dari dagangan itu kang," ujarku menimpali. "Jangan-jangan kita lebih senang melihat pestanya ketimbang produk yang dijual. Lebih tertarik memilih produk yang kemasannya bagus padahal kualitasnya nol. Bangsa ini nampaknya lebih senang dengan pesta, tertarik dengan pestanya dibanding memperhatikan hasil dari pesta dan perhelatan lima tahunan itu," sambung aku.
"Memang ini lah pasar politik kita kang. Jangan pernah terjebak di pesta, perhatikan outputnya. Jangan salah memilih pemimpin atau lebih baik nggak usaha milih aja," begitu kawan yang merupakan wartawan senior di Jawa Pos itu.
Pasar yang penuh hingar bingar para pedagang, pencopet, sales promotion girl (SPG), pedagang asongan, orang yang sekedar mau masuk ke pasar aja, cuci mata tapi tak niat belanja dan sebagainya. Pokoknya ramai dan sangat ramai, berdesak-desakan. Penuh gairah dan semuanya punya mimpi.
Berkisah soal pasar dan pesta, saya sangat khawatir jika saja kita lupa dan terlalu tenggelam asyik dalam pesta politik, lupa ada output bersama yang ingin dicapai.
Pemilu hanyalah pesta dari suatu keputusan bersama, falsafah politik bernama demokrasi. Dalam pemilu lah, pesta digelar dan diharapkan lahir para pemimpin bangsa yang benar-benar merealisasikan keinginan bangsa. Pemilu bukan sekedar pesta yang dari sisi ekonomi menghabiskan dana penggerak ekonomi sampai Rp 30 triliun. Pemilu, lebih merupakan upaya bersama mendapatkan pemimpin terbaik, dimana cita-cita berbangsa direalisasikan.
Dalam pemilu itu lah ada jualan, agar dagangannya laku, setiap kandidat harus mampu menjual dirinya dengan baik. Kalau kita perhatikan, calon Presiden-Wakil Presiden selain memerlukan basis masa riil, mesin politik yang produktif, juga harus mampu mencitrakan dirinya sebagai pribadi yang memang tepat untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Maka tidak pelak lagi, mereka harus memoles dirinya dengan publikasi besar-besaran baik melalui media masa baik elektronik, cetak, media luar luar seperti billboard, baligho, bahkan melalui berbagai media alternatif seperti pamplet, spanduk, dan sticker. Para kandidat harus berusaha menampilkan citra positif atas dirinya, sehingga diharapkan rakyat akan memberikan kepercayaan politik kepada dirinya.
Dalam berkampanye, para calon Presiden-Wakil Presiden dan teamnya berusaha menampilkan diri sebagai sosok yang relatif sempurna. Kontrak politik, pendidikan murah, pembukaan lapangan kerja sebesar-besarnya, pemberantasan korupsi, harga murah, ketertiban dan keamanan serta jaminan sosial (kesejahteraan) menjadi bahan kampanye yang tidak habis-habisnya disampaikan oleh para juru kampanye masing-masing calon. Lagu lama itu diputar kembali dengan harapan rakyat akan terpengaruh dan kemudian memilihnya.
Kita mungkin layak menyebut diri sebagai bangsa pemimpi. Bahkan kitapun jangan-jangan akan dipimpin oleh para pemimpi. Dimana janji-janji saat kampanye hanya menjadi omong kosong yang sulit terealisasi. Kampanye hanya menjadi ajang pesta pora dan bukan sebagai ajang presentasi visi dan misi para kandidat.
Pemilu bukanlah “permainan” atau “hiburan”, demikian syair lagu Iwan Fals dalam albumnya “Manusia Setengah Dewa”. Kita adalah pemilik kedaulatan negeri ini. Kita hanya menitipkannya kepada mereka kedaulatan, dan berhak menagihnya kembali.
Siapapun calon Presiden dan Wakil Presidennya, mereka tentu dapat membungkus dirinya dengan tampilan kebaikan dan janji. Siapapun tentu akan mengklaim dirinya bersih, jujur, dan amanah. Tetapi, realitas objektifnya belum tentu demikian adanya. Karenanya, publik (baca:rakyat) harus memperoleh informasi berimbang yang tidak hanya dari seluruh team kampanye, tetapi dari media dan pengamat. Sehingga akan diperoleh informasi imbang mengenai track record para calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan dipilih nanti.
Memilih Secara Kritis
Bagi kita sebagai pemilih, kekritisan menjadi sikap politik penting yang diperlukan. Kita jangan sampai terbius oleh janji-janji para calon Presiden-Wakil Presiden. Segala bentuk upaya kecurangan seperti money politic harus dijadikan catatan untuk menilai apakah mereka layak kita titipi amanah atau tidak.
Ada beberapa informasi objektif yang harus kita miliki sebelum memilih. Pertama, ketahuilah track record masing-masing kandidat. Terkait didalamnya mengenai kekayaan, keluarga, hubungannya dengan rezim politik masa lalu dan prestasi yang dilakukannya selama ini. Hal ini diperlukan untuk menilai kualitas pribadi para kandidat. Bukan hanya informasi searah dari para tim kampanye yang harus kita ketahui, tetapi informasi dari berbagai sumber yang objektif seperti media masa dan para pakar.
Keterkaitan kandidat dengan rezim masa lalu -yang telah membawa kehancuran negeri ini dengan merajalelanya korupsi,kolusi dan nepotisme- menjadi salah satu bahan pertimbangan kita selaku pemilih, karena apabila mereka yang terkait dengan rezim masa lalu menjadi Presiden negeri ini, akan sulit diperoleh keputusan tegas darinya. Hal ini terjadi karena ada beban sejarah dan politik kepentingan "saling menyelamatkan" diantara mereka.
Apakah kita tidak merasa akan dibodohi lagi? Atau jangan-jangan memang kita masa bodoh dan menganggap memilih mereka sama-sama saja, karena tidak ada perbaikan yang berarti. Atau karena tergiur oleh iming-iming materi yang tidak seberapa dan sesaat.
Kedua, ketahuilah visi misi dan program kerja setiap kandidat. Semua program yang disampaikan oleh para kandidat atau tim kampanyenya sangat luar biasa karena memang disusun oleh para ahli. Persoalannya terletak pada sejauhmana tingkat kongkritisasi program sehingga mereka benar-benar mampu merealisasikannya. Siapakah yang akan dipercaya untuk merealisasikannya dan bagaimana kemungkinan pencapaiannya?
Publik bersama-sama harus berusaha dan diberikan hak mengetahui bagaimana program kerja kongkret, siapa menterinya, dan apa target yang hendak dicapai dalam 100 hari pertama. Inilah bentuk kontrak sosial-politik yang penting dilakukan oleh publik atas calon Presiden dan Wakil Presiden. Apabila tidak dilakukan upaya tersebut, dipastikan kita akan kembali menjadikan Pemilu Presiden-Wakil Presiden pertama ini sebagai ajang pesta sesaat yang hanya akan menghasilkan rezim baru yang sama sekali tidak akan memberikan perbaikan nasib bangsa.
Ketiga, dapatkan informasi objektif mengenai sekeliling para kandidat. Informasi ini penting untuk membaca arah policy yang akan dikeluarkan ketika mereka terpilih nanti. Apakah yang menjadi team kandidat tersebut adalah para tikus bangsa atau yang merugikan umat? Pertanyaan ini harus diajukan karena ditangan Presiden akan dihasilkan keputusan yang menyangkut hajat hidup warga bangsa ini. Kitapun berhak mengetahui siapa, organisasi apa yang mendukung para kandidat tersebut.
Keempat, pastikan kita terlibat aktif dalam proses Pemilu ini dengan menjadi pengawas, sehingga kita dapat menemukan kandidat manakah yang banyak melakukan pelanggaran dan kandidat mana yang tidak atau lebih sedikit. Terlebih berkaitan dengan money politic, pastikan kita tidak memilih calon Presiden-Wakil Presiden yang melakukan money politic.
Semoga saja kita bukan bangsa pelupa dan pemimpi. Oleh karena itu, mari kita pilih Presiden-Wakil Presiden yang amanah agar tercipta kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Kemudian secara bersamaan kita tumbuhkan gerakan kultural yang mampu bersinergi dan mengkritisi setiap kebijakan negara demi merealisasikan mimpi-mimpi bangsa.
Merealisasikan mimpi bangsa bukanlah pekerjaan sederhana. Sehingga seluruh elemen bangsa harus bersinergi satu sama lain. Mimpi bangsa telah dicanangkan dengan jelas dalam teks-teks konstutusi dan falsafah negeri ini. Mimpi bangsa telah dipancangkan oleh para founding father bangsa, persoalannya terletak kepada political will pemerintah dan dukungan warga bangsa. Momentum pemilihan Presiden-Wakil Presiden harus dijadikan langkah perbaikan bangsa. Masihkah kita ingin menonton dagelan politik dan hukum yang bertentangan dengan rasa keadilan. Apakah kita mau mimpi indah tentang kesejahteraan itu akan sirna dengan mimpi buruk bangsa yang ada diambang kehancuran. Karenanya, sebagai sumbangsih kepada bangsa kita harus menjadi pemilih yang kritis.
Nuranilah yang harus menuntun kita menentukan pilihan politik. Bukan karena sedikit sumbangan (baca:money politic) atau keterpesonaan kita akan pribadi kandidat yang lebih banyak manipulasinya tinimbang kenyataan yang sebenarnya. Semoga Tuhan membukakan hati kita untuk memilih kandidat terbaik untuk memimpin negeri ini dan memberikan kita kekuatan memberdayakan diri dan yang lain demi masa depan bangsa yang lebih baik. Jangan terjebak dengan pesta, karena itu hanya kampulase dan peramai saja. Lampu pesta pasti menyilaukan, tapi bukan berarti kita silau dan tak tahu mana yang baik dan sekedar polesan kan? Semoga…

Graha Pena Jakarta, 1 April 2009




Selesaikan Bacanya!......

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.