Oleh IU RUSLIANA
Bangsa Indonesia akan melaksanakan hajatan besar demokrasi untuk memilih anggota legislatif dari tingkat kota/kabupaten, provinsi dan pusat, perwakilan daerah (DPD) dan dilanjutkan dengan pemilihan Presiden. Pada moment inilah gairah demokrasi menampakkan iklim mengagumkan karena memberikan peluang kepada siapapun yang memiliki "hak memilih" dan "dipilih" untuk menggunakan atau tidak menggunakannya.
Di tengah riuhnya arus demokrasi di Indonesia ini, muncul perdebatan soal seruan golput (pilihan untuk tidak memilih) dan perlu tidaknya fatwa haram bagi yang tidak menggunakan hak pilihnya. Fenomena golput disinyalir akan mewarnai demokratisasi di negeri ini pada pemilu 2009. Golput – sebagai sikap politik – tentunya mengundang munculnya perdebatan dari pelbagai kalangan.
Golput adalah politik protes. Namun, politik protes ini hanya berada di luar lingkar pembentukan kekuasaan yang dicita-citakan. Mungkin, jika yang memilih golput jumlahnya di atas 50 persen bisa terjadi huru-hara politik baru. Potensi penggulingan kekuasaan juga menjadi mungkin, walau sistem politik di Indonesia masih belum memungkinkan. Eksistensi pemerintahan terpilih bakal diragukan karena bukan sebagai wakil dari suara mayoritas.
Mereka yang memilih golput sesungguhnya bertujuan dan memiliki harapan untuk memiliki wakil rakyat atau pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Golput lahir sebagai reaksi dan apatisme atas semua fenomena politik yang dipandang telah rusak secara akut. Sementara itu, eksistensi dan peran partai tidak memenuhi harapan masyarakat. Partai politik beserta kader-kadernya tidak "mengenal" dan "dikenal" rakyat karena gerakannya cenderung sporadis, misalnya, menebarkan janji-janji politik yang diketengahkan saat pemilihan saja.
Keputusan politik
Pada konteks ini, yang harus dicermati bukan apakah fatwa itu layak dikeluarkan atau tidak, salah atau tidak orang yang menyerukan golput. Namun yang harus dijawab adalah, masih adakah putusan politik individu yang mungkin dilakukan secara objektif-rasional. Secara umum, keputusan untuk tidak memilih dan golput bisa disebabkan dua hal.
Pertama, buruknya sistem administrasi pemerintah, sehingga banyak rakyat yang memiliki hak pilih kehilangan dan menghilangkannya. Fakta buruk itu terungkap dengan kasus adanya calon pemilih yang memiliki kartu pemilih dua dan lebih, bahkan sudah meninggal pun tetap mendapatkan undangan untuk melakukan pencoblosan. Tentunya pencoblosan itu tidak dilakukan si mayit, tetapi oleh orang lain.
Kedua, keputusan untuk tidak memilih mendasarkan argumentasinya pada realitas di lapangan, sampai saat ini belum ada kebijakan politik yang benar-benar berpihak pada rakyat. Elit politiklah yang merasakan keuntungan dari hajatan tersebut. Pemilu hanya merupakan dagelan politik yang tidak memiliki peran signifikan bagi perubahan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi yang lebih baik. Padahal biaya yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah untuk sebuah pemilu atau pilkada itu sangat besar. Sementara, yang terjadi hanyalah pergantian rezim, dengan perilaku politik dan memproduksi kebijakan yang kurang lebih sama.
Akibat kekecewaan itu, rakyat memandang mencoblos pada saat pemilu atau pilkada hanyalah kesia-siaan. Akan lebih baik tetap bekerja atau istirahat di rumah. Memilih untuk golput adalah hak politik individu. Namun, tampaknya pilihan itu juga kurang tepat. Mengingat sistem pendukung untuk menghasilkan kebijakan politik pembangunan diawali dengan memilih anggota DPRD, DPR, DPD, Walikota, Bupati, Gubernur dan Presiden serta wakilnya.
Pemilih kritis
Kalaulah demikian, mengapa kita tidak melakukan perlawanan dengan menolak politisi busuk dan memilih secara kritis. Jatah kampanye yang cukup panjang harusnya jadi kesempatan untuk mengidentifikasi partai, caleg dan capres manakah yang pantas dipilih. Memilih secara kritis berarti memilih secara cerdas. Pemilih cerdas artinya memilih dengan nurani dengan informasi yang cukup tentang calon yang akan dipilih pada pemilu 2009 nanti.
Hak pilih itu ada dalam setiap warga Negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih sebagaimana diatur undang-undang. Maka, hak pilihnya seharusnya dapat dipergunakan untuk kepentingan masa depan sendiri dan bangsa. Kondisi bangsa ke depan semestinya ditentukan oleh rakyat dengan cara memilih secara kritis. Sebab, pilihan kita sangat berpengaruh bagi penentuan arah perjalanan bangsa ini ke depan.
Dengan demikian, selain faktor pemilih yang harus aktif mencari informasi, peran partai dan lembaga pendidikan pemilih serta penyelenggara pemilu (parpol dan KPU) menjadi penting untuk mengedukasi calon pemilih. Sesungguhnya masih ada politisi yang bersih – meski sedikit – dan di pundak merekalah harapan perubahan bangsa itu terletak. Partai politik juga masih ada yang mampu memproduksi kader yang berkualitas dan memiliki integritas moral yang tinggi.
Nah, kepada politisi dan partai politik semacam itulah kita dapat memberikan suara dan menyalurkan aspirasi. Suara hati dan pengetahuan kita juga dapat menentukan mana politisi dan partai politik yang bersih. Karena itu, mengakses pengetahuan dan penyampaian informasi kepada publik secara tepat dan akurat merupakan sesuatu yang penting. Pada konteks pemilu 2009 nanti, memilih secara kritis artinya memilih dengan berlandaskan pada pengetahuan mengenai kualitas calon anggota legislatif (Caleg) dan plat form yang diusung partai politik pengusungnya.
Dengan demikian, partai politik berkewajiban memberitahukan kepada publik mengenai track record seseorang yang akan dicalonkan oleh partai politik. Hal itulah yang nampaknya belum dilakukan partai politik yang ada. Selain itu, belum ada peraturan dan political will dari elit partai untuk memberikan informasi pada publik mengenai track record seorang calon yang diajukannya. Track record seorang calon seyogyanya dapat diakses publik, agar para pemilih tidak terjebak "membeli kucing dalam karung". Wallaahu'alam
Minggu, 11 Januari 2009
Politik Protes Golongan Putih
Pengelola
- Iu Rusliana
- Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar