Minggu, 25 Januari 2009

Pesantren Kekuatan Ekonomi Bangsa

Pesantren Kekuatan Ekonomi Bangsa

Sejarah telah membuktikan bahwa pesantren merupakan institusi pendidikan yang paling tangguh di Tanah Air. Sebagai bagian dari peradaban bangsa Indonesia yang sudah begitu mengakar, pesantren mampu bertahan dan terus memperbaiki dirinya dari zaman ke zaman. Pesantren pun telah memberi sumbangan yang begitu besar dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.


Asal usul keberadaan pesantren di Indonesia memang belum bisa diketahui secara pasti. Paling tidak, ada dua versi pendapat yang mencoba menelusuri asal muasal kehadiran pesantren di Tanah Air. Versi pertama menyebutkan pesantren berakar pada tradisi Islam, yakni tarekat. Menurut versi ini, pesantren sangat berkaitan dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi.
Versi kedua berpendapat pesantren yang berkembang pesat di abad ke-21 ini merupakan sistem pendidikan yang diadopsi dari orang-orang Hindu di Tanah Air. Pendapat ini didasarkan pada fakta bahwa sebelum Islam datang ke bumi Nusantra lembaga semacam pesantren sudah ada. Apalagi secara bahasa kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”.
Meski begitu, jejak pesantren di Tanah Air telah terungkap dalam karya-karya Jawa klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centini. Menurut kedua karya klasik itu pada permulaan abad ke-16 M di Indonesia telah banyak dijumpai pesantren besar yang mengajarkan kitab Islam klasik dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf.
Menurut catatan sejarah, lembaga pendidikan pesantren tertua di Tanah Air adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo, yang didirikan pada tahun 1724. Sejak saat itu, pesantren tumbuh begitu pesat terutama di seluruh pelosok Pulau Jawa. Departemen Agama menyebutkan pada abad ke-16 M, jumlah pesantren yang ada di Bumi Nusantara mencapai 613.
Dua abad kemudian jumlah pesantren telah meningkat tiga kali lipat. Hal itu didasarkan pada hasil survey Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1819. Pada era itu, jumlah pesantren yang di Indonesia mencapai 1.853 dengan jumlah santri mencapai 16.556 orang. Van den Berg pada tahun 1885 dalam laporannya menyebutkan di Nusantara terdapat 14.929 lembaga pendidikan Islam, 300 di antaranya merupakan lembaga pesantren.
Seiring bergulirnya zaman, jumlah pesantren terus berkembang sangat pesat. Pada tahun 1988/1999 pesantren telah hadir di setiap provinsi, kecuali di Timor Timur yang waktu itu masih menjadi bagian Indonesia. Berdasarkan data Departemen Agama pada tahun itu jumlah pesantren di Indonesia mencapai 6.631 dengan jumlah santri mencapai 958.670 orang dan 33.993 santri.
Di abad ke-21, jumlah pesantren terus meningkat pesat. Berdasarkan data Departemen Agama, antara tahun 2003-2004 terdapat 14.656 pesantren di seluruh Indonesia dengan jumlah santri mencapai 3.369.193 atau tiga juta orang lebih. Alumninya mencapai puluhan juta orang dan tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.
Fakta itu menunjukkan bahwa pesantren merupakan kekuatan potensial dan luar biasa yang dimiliki bangsa Indonesia. Perannya bagi kemajuan negara sungguh tak ternilai harganya. Di era kolonialisme, pesantren telah berperan sebagai kubu pertahanan rakyat dalam melawan penjajah. Pesantren kerap menjadi pemantik perlawanan terhadap penjajah.
Peran para kiai dan santri dalam melawan penjajah sungguh begitu besar. Tak heran bila pesantren menjadi kekuatan yang paling ditakuti Pemerintah Hindia Belanda. Pengaruh kiai dan santri yang begitu kuat diakui Raffles dalam bukunya berjudul The History of Java. Menurut Raffles, Belanda menganggap para kiai memiliki pengaruh yang besar yang dapat membahayakan kepentingan penjajah.
Sebab, di era penjajahan banyak sekali kiai yang aktif dalam berbagai pemberontakan. Kiai tak hanya berpengaruh di kalangan masyarakat awam saja, namun juga diperhitungkan kalangan istana. Salah satu contohnya kiai yang berpengaruh pada masa itu adalah Kiai Hasan Besari, dari pesantren Tegalsari Ponorogo. Ia berperan besar dalam meleraikan pemberontakan di Keraton Kartasura.
Sejarah juga mencatat peran pesantren melalui para alumninya di zaman pergerakan pra-kemerdekaan. Sederet tokoh pendiri bangsa (founding father) yang menjadi pelopor dan pencetus kemerdekaan Indonesia adalah para ulama dan alumni pesantren. Para tokoh bangsa yang dilahirkan pesantren itu antara lain, HOS Cokroaminoto -- pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya.
Selain itu, alumni pesantren lainnya yang menjadi tokoh bangsa yang sangat berpengaruh yakni KH Mas Mansur, KH Hasyim Ash’ari, KH Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir, Mereka tak hanya menjadi guru bangsa, namun juga memiliki perhatian yang amat besar dan ikut ambil bagian dalam percaturan politik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia.
Para santri dan kiai pun ikut angkat senjata dengan mempertaruhkan nyawa untuk mengusir Belanda dari Tanah Air dengan mendirikan tentara Hizbullah. Di awal kemerdekaan pun, alumni pesantren ikut tampil dan ambil bagian dalam pemerintahan. Mereka adalah Mohammad Natsir – perdana menteri pertama – alumnus pesantren Persis. Selain itu ada Moh. Rasyidi – menteri agama -- alumni pondok Jamsaren.
Alumni pesantren lainnya yang ikut serta meletakan dasar kenegaraan antara lain; KH Wahid Hasyim, alumus Pondok Tebuireng serta KH.Kahar Muzakkir dan lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan; KH.Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham Khalid menjadi wakil perdana menteri dan ketua MPRS.
Fakta itu membuktikan bahwa alumni pesantren dan kiai tak hanya menaruh perhatian pada bidang keagamaan saja. Mereka juga turut berjuang dan ambil bagian dalam kancah politik sebagai sarana membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa. Pesantren pun kembali menunjukkan kiprah dan perannya dalam membangun bangsa pada era Orde Baru, sekalipun peran umat Islam ketika itu cenderung dimarjinalkan.
Pesantren tampil sebagai lembaga pendidikan alternative yang mampu meredam dampak pembangunan fisik yang tidak berangkat dari konsep character building. Ketika sistem sekolah umum tidak lagi menjanjikan kesalehan moral dan sosial anak didik, pesantren menjadi solusi dan pilihan masyarakat. Dalam sejarah pesantren tak pernah tercatat terjadi tawuran.
Pesantren justru mendidik anak-anak bangsa dengan kemandirian. Sebuah modal bagi anak bangsa untuk berkiprah dalam kehidupan yang tak dapat diperoleh dari lembaga pendidikan lainnya. Pesantren lagi-lagi member kontribusi yang begitu besar lewat para alumninya, ketika bangsa Indonesia mengalami reformasi.
Sederet tokoh bangsa yang mendorong dan mendukung bergulirnya reformasi seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Hidayat Nur Wahid, Hasyim Muzadi serta Nurcholis Madjid merupakan alumni pesantren. Sekali lagi sejarah membuktikan bahwa pesantren mampu mencetak pemimpin serta tokoh-tokoh bangsa yang berkualitas.
Di era globalisasi ini, pesantren kembali ditantang untuk berkiprah dan menjadi solusi bagi masalah yang dihadapi bangsa. Beban yang dipikul bangsa Indonesia saat ini terbilang begitu berat. Dengan laju pertumbuhan penduduk mencapai 1,3 persen per tahun atau tiga juta jiwa per tahun membuat beban Indonesia semakin berat.
Laju pertumbuhan penduduk yang begitu tinggi itu memberi dampak luas bagi penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Belum lagi jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih tinggi. Problem yang muncul dari pengangguran dan setengah pengangguran tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan ketenagakerjaan, tetapi mempunyai implikasi lebih luas, mencakup aspek sosial,psikologis, dan bahkan politik.
Beban masyarakat semakin bertambah lantaran harga-harga bahan kebutuhan pokok semakin membubung tinggi. Di tengah himpitan beban berat itu, pesantren diharapkan bisa berperan sebagai basis pembangunan wilayah yang strategis. Sejatinya, pesantren tak hanya menjadi lembaga pendidikan keagamaan belaka. Namun, pesantren juga memliki potensi ekonomi yang sangat dahsyat. Beberapa pesantren seperti Pesantren Agrobisnis Al-Ittifaq di Ciwidey, Jawa Barat dan Pesantren Al-Amanah dengan peternakan ayam dan ikannya di Cililin mampu menjadi kekuatan ekonomi lokal.
Salah satu potensi ekonomi yang dimiliki pesantren adalah Inkopotren (induk koperasi pesantren). Lembaga ini bisa dijadikan alat untuk memberdayakan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat pedesaan. Koperasi pesantren sangat berpotensi untuk mencetak wirausaha baru atau peluang usaha baru.
Kini mengatasi kemiskinan tidak bisa diberikan bantuan atau subsidi atau bahkan dengan santuan-santuan. Kemiskinan hanya bisa diatasi dengan dengan menciptakan peluang-peluang kerja. Peluang kerja itu diharapkan mampu menyerap peluang kerja.
Saat ini, dari sekitar 14 ribu pesantren yang tersebar di Indonesia, sekitar 4 ribu di antaranta sudah memiliki koperasi pondok pesantren yang berbadan hukum. Kekuatan ini akan menjadi semacam raksasa bila dikembangkan secara optimal dan maksimal.
Dengan jutaan santri yang dimilikinya, pondok pesantren juga bisa menjadi lembaga pendidikan yang potensial untuk mengurangi angka pengangguran yang terus menjadi beban bangsa. Salah satu caranya, pesantren tak hanya menjadi tempat untuk menimba ilmu keagamaan belaka. Namun, pesantren juga perlu melakukan diversifikasi program dengan beragam kegiatan life skills.
Seiring dengan kuatnya modernisasi pondok pesantren, maka rekonstruksi peran pondok pesantren yang tadinya hanya mempelajari kitab-kitab Islam klasik kiranya dapat diberdayakan secara maksimal sebagai agen dalam pembangunan perekonomian lokal, wilayah hingga nasional.
Melalui pendekatan ini, sumberdaya atau unsur-unsur pondok pesantren termasuk kiai/guru, masjid, santri, pondok, kitab-kitab klasik hingga ilmu pengetahuan yang baru dapat didayagunakan dalam proses pendidikan life skills secara berkelanjutan untuk membangun manusia yang memiliki pemahaman ilmu pengetahuan, potensi kemasyarakatan, dan pembangunan wilayah.
Hal ini berujung pada penciptaan sumber daya manusia yang berdaya saing dan produktif. Dengan demikian, pondok pesantren tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai spiritual saja, tetapi juga mampu meningkatkan kecerdasan sosial, dan keterampilan dalam membangun wilayahnya.
Pesantren akan menjadi basis penting dalam mengatasi pengangguran, bila pendidikan keagamaan dilengkapi dengan pendidikan keterampilan dan keahlian. Selain memiliki Inkopontren, sudah saatnya pesantren juga memiliki semacam balai latihan kerja (BLK) untuk menempa para santri dengan beragam keahlian.
Sehingga kelak, ketika lulus dari pesantren para santri yang sudah bisa hidup mandiri dan membuka lapangan pekerjaan serta terserap lapangan pekerjaan, karena memiliki keahlian. Dengan menguasai pengetahuan dan keterampilan para alumni pesantren dapat berperan sebagai driving force masyarakatnya.
Jika para santri dibekali keterampilan dan keahlian, jutaan alumni pesantren yang lulus setiap tahun akan menjadi solusi bagi masalah yang dihadapi bangsa. Namun, bila para santri hanya diajarkan ilmu keagamaan saja tanpa dibarengi keterampilan dan keahlian, para santri hanya bisa mengaji, tanpa bisa ngejo ( memenuhi kebutuhan hidup). Di era globalisasi ini, pesantren harus kembali menunjukkan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu melahirkan sumberdaya manusia yang berdaya saing. n


0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.