Sunda Mendorong Kemajuan
Oleh: Iu Rusliana
Para karuhun (orang tua dulu) yang arif dan bijaksana selalu mengingatkan generasi penerusnya agar jangan sampai menjadi manusia kuulen (tidak gaul). Tercermin dalam pepatah (etik); Kade Ulah Kurungen Batok.
Secara sederhana, kurungen batok artinya tidak mau terbuka dengan dunia di luar. Senang dengan dunia sendiri, tanpa memperhatikan dunia yang tengah berkembang pesat. Kemajuan bersama harus dijemput. Sikap kurungen batok tak akan mendorong kemajuan. Apalagi dengan pemikiran (perspektif) yang kurung batok. Itu lah saya kira yang dimaksud dengan kampungan. Bukan berarti orang kampong. Kampungan artinya tidak mau menerima fakta adanya kemajuan, malu dan ragu untuk memulai suatu hal yang baik padahal itu adalah akar kemajuan. Takut melakukan sesuatu yang baik, padahal harus dimulai. Kebanyakan diskusi dan berpikir dalam melakukan sesuatu sehingga tidak ada yang dikerjakan. Orang menyindirnya dengan istilah NATO (Not action talk only). Kalau kawan saya di kampus UIN Bandung dulu menyebutnya Kongres, Ngawangkong teu beres-beres (Berbicara terus menerus, tidak selesai-selesai).
Kuulen dalam tulisan ringan ini bukan sekedar tidak gaul, dalam artian tidak membuka mata dan telinga mengikuti apa yang terjadi di dunia ini. Tapi kuuelen karena tidak mau menjadikan keharmonisan bersama menjadi pijakan dalam bersikap dan bergaul bersama yang lain baik itu dengan tetangga, sahabat atau orang lain sekalipun. Hatta, dalam perspektif lebih luas, tidak mau berharmonisasi dengan alam sekitar. Kuuelen karena dirinya merasa sendiri, kumaha aing, tidak toleran, asal aing geunah, teu paduli batur kumaha, dan seterusnya. Kuuelen disini artinya sikap yang egois, tak peduli yang lain. Suatu perspektif mata kuda yang hanya melihat ke jalan di depannya, tak mau menengok ke kiri dan kanan.
Membaca falsafah karuhun Sunda tersebut, saya kira bisa disimpulkan kalau sesungguhnya orang Sunda sangat mendukung kemajuan. Karena para karuhun dulu pun mendorong itu. Jadi, kalau ada yang menilai orang Sunda cenderung tidak dinamis, itu hanya kesalahan pemahaman. Atau, itu lah bentuk penjajahan pikiran, etika yang didoktrinasikan oleh para penjajah dulu, karena memang mereka sangat betah tinggal di daerah Sunda; alamnya sejuk, nyaman, subur dan penuh keindahan.
Nah, sayangnya, tanpa kekritisan kita selaku genarasi muda saat ini, sikap pasif, betah di lembur sorangan, kuat sehingga tidak mau keluar dari daerah atau cara berpikir lama mencari daerah atau pemikiran baru yang lebih dinamis, progresif dan merespon perkembangan jaman.
Sekali lagi, saya harus tegaskan, keliru nampaknya kalau ada pendapat yang menyebutkan orang Sunda mah teu resep merantau. Baik merantaukan dirinya untuk mendapatkan pengalaman langsung, atau merantaukan pikirannya untuk melakukan interaksi pemikiran dengan perkembangan pemikiran yang bergerak cepat di luar.
Tidak gaul bukan berarti sikap anti pergaulan bebas- istilah tidak gaul cenderung negatif, tudingan untuk anak muda yang tidak mau ikut arus jaman yang konsumeris, hedonis, tapi dalam pengertian yang positif, anti kepada kemajuan peradaban.
Sudah saatnya, urang Sunda, utamanya generasi muda Sunda berpikir maju ke depan. Bukan sekedar berpikir primordialisme sempit, namun mau terbuka dan menghijrahkan pikiran dan badannya ke tempat yang lebih maju. Sehingga generasi muda Sunda mau menjemput kemajuan dan menariknya ke masa kini. Generasi muda Sunda menjadi manusia masa depan yang hidup di masa kini. Mereka lah para pemimpin yang siap mempercepat kemajuan yang normalnya dirasakan seratus atau dua ratus tahun yang akan datang kini bisa dipercepat.
Perubahan adalah keniscayaan. Namun pertanyaannya, apakah perubahan yang menuju ke arah yang lebih baik atau bukan? Keluarlah dari kotak (Out of The Box), lakukanlah inovasi, belajarlah ke orang lain yang lebih maju, lalu pelajari bagaimanacaranya, bukan sekedar melihat hasilnya, aplikasikanlah yang mungkin, buang yang tak mungkin. Karena pemimpin yang mampu menjemput masa depan bukanlah mereka yang tidak mau memahami orang-orang yang dipimpin, yang jelas-jelas pasti bingung karena mereka baru berpikir ke-2, sementara sang pemimpin sudah berpikir ke-4, tapi pemimpin yang dengan ramah dan sabar menuntun yang dipimpinnya meraih tangga dengan lebih cepat.
Sekali lagi, saya kira etik karuhun yang menyatakan hendaknya manusia Sunda keluar dari kurung batok harus menjadi nilai dasar bagi masyarakat Sunda untuk berhijrah, bertransformasi dan mendinamisir kehidupannya, menjemput dan meraih kemajuan lebih cepat. Karena kemajuan bersama diperlukan untuk keadilan dan kesejahteraan bersama. Jika ada pandangan yang menyebutkan orang Sunda tidak mau maju, itu adalah kesalahan berpikir yang harus segera dikritisi.
Cicing di lembur (diam di daerah) bukan solusi. Karena perspektif, pengalaman, ilmu dan jejaring tidak akan bertambah. Sementara tanah pun akan semakin menyempit seiring dengan industrialisasi dan semakin banyaknya manusia yang dilahirkan. Kampung sorangan (daerah sendiri) simpanlah di dalam hati. Dengan begitu, ketika kemajuan diperoleh, segeralah mengabdi ke daerah dan ibu pertiwi (lemah cai).
Dengan demikian, tidak akan ada lagi ketimpangan pembangunan karena masyarakat di daerah tersebut sangat dinamis, terbuka dan mau belajar terhadap kemajuan di daerah lain (Teu kurung betoken). Selain maju, karena perspektifnya terbuka, tidak sombong, mau bersinergi dan bersedia berbagi pengalaman. Bertindak lokal, berpikir global.
Cibiru Indah VII Bandung
Minggu, 25 Januari 2009
Sunda Mendorong Kemajuan
Pengelola
- Iu Rusliana
- Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.
1 komentar:
Kmai memohon izin untuk memuat tulisan ini di sunangunungdjati. Kami tunggu karya berikutnya
Posting Komentar