Senin, 09 Februari 2009

Produktif lah, Atau Mati Saja...

Seperti tubuh, bangsa ini tengah sakit keras. Maka jangan lah terus dibuat sakit. Karena bukan mustahil kematian akan segera menjemput jika terapi dan obat penawarnya tidak segera dimakan.


Namun, mesti diingat, obat penawar itu tak mungkin ampuh, jika kita sendiri tidak yakin, tidak ada sugesti, bahwa dengan memakan obat itu akan sembuh. Jadi, hal pertama yang harus dikuatkan adalah keyakinan bahwa masih ada obat, masih ada harapan dan kita bersama akan sembuh dari sakit. Jika persepsi kita yakin akan sehat, kita akan sehat, demikian sebaliknya.
Sakit apakah bangsa ini? Mari kita diagnosa satu persatu sekaligus mencari dan menjadi obat penyembuh. Mencari obat dengan cara mengidentifikasi masalah, melokalisir dan menemukan faktor penyebabnya. Lalu mencari obatnya. Mencari obat saja tidak cukup, tapi menjadi bagian dari upaya menyembuhkan tubuh yang sakit itu.
Saya kira bangsa ini membutuhkan manusia-manusia yang bukan sekedar pengamat, mampu mengidentifikasi masalah atau penyakit (tentu dengan data-data yang kuat dan akurat tentunya) tapi juga pelaksana, leader yang mengeksekusi suatu keputusan dari hasil diagnosa atas suatu masalah atau penyakit.
Dalam kondisi tidak normal, menjadi pasien dan dokter sekaligus adalah mungkin. Jadi dokter atas berbagai macam penyakit harus bisa dilakukan.
Dari sekian banyak penyakit yang diderita bangsa ini, salah satunya adalah budaya malas. Etos kerja anak bangsa ini rendah. Lebih senang tangan di bawah (meminta) dibandingkan tangah di atas (memberi). Lihat saja, dari mulai pengemis jalanan sampai pengemis elit, berdasi, atasnama lobi dan proyek dengan menggunakan proposal tipu-tipu bergentayangan di berbagai lingkungan, lembaga dan instansi.
Obat malas tentunya rajin. Namun menjadi "Me-rajin" itu bukan perkara gampang. Ada setumpuk dan segerombolan pengganggu untuk menjadi manusia rajin. Dalam bahasa ekonominya, rajin dapat berarti produktif. Rumusnya, output lebih besar dari pada input karena proses produksi berjalan efektif, ekonomis dan efisien.
Secara filosofi, produktivitas didefinisikan sebagai suatu pandangan hidup bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Secara ekonomis, produktivitas didefinisikan meningkatkan nilai tambah dan mengurangi pemborosan. Hal ini dilakukan dengan peningkatan efisiensi, efektifitas dan kualitas. Secara teknis, produktivitas didefinisikan sebagai perbandingan antara output dengan input.
Waktu kecil, kita diajari pribahasa; rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. Mungkin itu konteknya dalam hal belajar. Tentu kita bisa pahami dan memang demikian adanya. Namun tentu harus ditambahkan lagi, rajin pangkal kaya. Rajin bekerja atau produktif pangkal kaya.
Produktif disini, seiring dengan majunya peradaban manusia dimana teknologi dan informasi semakin canggih, bukan sekedar kerja keras, namun dalam bahasa beberapa kawan saya, bekerja keras dan cerdas. Bukan hanya mengandalkan otot, tapi otak dan tentunya hati nurani.
Mari kita lihat hasil survey. Tingkat produktivitas Indonesia menurut IDM World Competitivieness Year Book 2005, berada pada peringkat 59 dari 60 negara yang disurvey. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat daya tahan dan daya saing masih rendah sehingga menyebabkan sulitnya mencapai pemulihan dari krisis ekonomi.
Gerombolan pengganggu itu adalah pandangan; mengapa harus bekerja keras, tetangga sebelah saja yang kerjanya santai, kaya raya. Ini jelas pandangan salah. Bisa saja tetangga yang santai itu kaya raya itu hasil dari kerja cerdas.
Bukankah saat ini, dengan kecanggihan teknologi, kerja bisa dilakukan di rumah, tanpa sekat kantor dan jam kerja yang kaku. Internet, 3 G, dan berbagai perangkat teknologi informasi menjadikan dunia ini tak bersekat, menjadi desa buana (global village) yang dapat dijangkau tanpa kehadiran fisik langsung, namun melalui perantara teknologi informasi tersebut.
Kemungkinan kedua, tetangga atau saudara yang kelihatannya bekerja santai karena dapat warisan, nyegik (kalau kita percaya hal ini), atau korupsi. Jika demikian kondisinya, apa hebatnya? Bukankah semua agama mengajarkan, harta yang diperoleh dari cara-cara yang tidak benar tidak akan berkah. Jika tidak hilang, hancur, dirampok, bisa juga habis oleh anak-anaknya nanti. Namun yang jelas, harta seperti tidak akan melahirkan kebahagiaan, percayalah 1000 persen akan konsep ini.
Jika demikian adanya, maka bekerja keras dan cerdaslah. Namun sebelum bekerja cerdas, tentu harus bekerja keras dulu. Sebelum menjadi direktur utama atau manager dulu, tentu harus jadi staf dulu, mengurus tetek bengek hal-hal yang sifatnya teknis dan administratif. Dengan karir yang meningkat, akan menjadi pengambil kebijakan. Pada level ini, bukan otot dan sedikit otak yang dipake (sebagaimana staf), tapi otak lah yang 90 persen dipake. Karena otak, informasi baik dari bacaan, data survey, masukan dari konsultan ataupun staf menjadi penting sebelum keputusan diambil. Keputusan yang baik lahir dari input informasi yang banyak dan baik.
Bekerja keras dan cerdas harus dinikmati. Jika tidak, segeralah beralih profesi. Bekerja keras dan cerdas adalah ibadah, demikianlah ajaran agama-agama. Max Weber bahkan yakin, kapitalisme, etos berusaha dan menjadi kaya di masyarakat Eropa karena pengaruh spirit etika protestan yang meyakini jika di dunia bekerja keras dan kaya raya, maka di akhirat, surga dan kebahagiaan adalah balasannya. Bagi Karl Marx, bekerja menjadikan manusia menemukan eksistensinya.
Dengan bekerja, manusia menemukan dirinya, memenuhi kebutuhan hidup, menggerakkan ekonomi dan memerankan fungsi kekhalifahan (wakil) di bumi. Dengan bekerja juga, ide, kreatifitas dan budaya manusia berkembang sepanjang zaman dengan sangat cepat.
Karena itu, bekerja keras lah dan jadikanlah prinsip produktif pangkal kaya sebagai jimat hidup. Ingat sebelum tidur dan sepanjang hari. Ketahuilah, Anda tidak akan mendapatkan rezeki lebih jika tidak bekerja lebih, di atas rata-rata. Anda tidak akan menjadi pemimpin jika hanya bekerja rata-rata.
Bangsa ini merindukan manusia-manusia produktif, kreatif, inovatif dan pekerja keras. Mari menjadi penyembuh tubuh yang makin sakit dan rapuh. Bangkit dengan semangat mengabdi pada diri sendiri dan bangsa. Seperti laskar pelangi, menjadikan mimpi sebagai kekuatan penggairah untuk belajar, bekerja dan meraih cita-cita. Bukankah itu artinya hidup kita akan mulia. Produktif lah sepanjang hidup. Atau jika tidak bisa, lebih baik jadi mayat saja. Wallahuálam

0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.