Rabu, 18 Februari 2009

Mewujudkan Jabar Kreatif

KRISIS global terus menelan korban. Bangkrutnya beberapa korporasi, ketatnya pengucuran kredit perbankan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur seperti tekstil, alas kaki, furnitur dan yang lainnya terus terjadi. Korporasi besar yang masih bertahan nampaknya akan berhati-hati dalam berekspansi. Pertumbuhan ekonomi 5 persen di 2009 adalah angka yang paling realistis.



Kini hanya ada beberapa pelaku dan sektor industri yang bisa diharapkan bakal menjadi kekuatan penggerak ekonomi, yaitu pemerintah dan partai politik. Pemerintah dengan anggaran belanja tahun 2009 seribu triliun rupiah lebih harus menjadi stimulus ekonomi. Termasuk kebijakan untuk menggenjot kredit perumahan kelas menengah ke bawah dan kredit motor serta menurunkan harga BBM (premium dan solar) ke Rp 4.500 per 15 Januari 2009 adalah salah satu kebijakan penting. Demikian juga partai politik, kampanye yang besar-besaran dengan dana triliunan rupiah diyakini akan menggerakkan ekonomi nasional yang tengah terpuruk.
Harapan itu ada, namun apakah akan selamanya begini? Adakah potensi besar yang harusnya disyukuri dan menjadi penopang menuju kemandirian ekonomi? Pada kontek Jawa Barat, misalnya, beberapa industri diperkirakan akan segera melakukan PHK, karena dampak krisis, menyusul menurunnya order dari pasar Eropa dan Amerika Serikat. Dengan jumlah pengangguran yang bakal meningkat, apakah program padat karya yang sifatnya insidental saja yang bisa diandalkan? Bukankah sebaiknya dana bantuan sosial ekonomi yang disalurkan bisa menggerakan ekonomi berbasis masyarakat lokal.

Ekonomi Kreatif
Sebagai bangsa yang kaya sumber daya alam dan keragaman budaya, kita harus menyadari potensi ekonomi yang berasal dari gagasan kreatif masyarakat. Masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat Jawa Barat, telah menyatukan diri dengan budaya dan alam sehingga melahirkan pelbagai produk yang unik dan kreatif.
Pada dasarnya kreativitas manusia dibagi ke dalam dua bentuk, yakni: kreativitas berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge based) dan kreativitas berbasis seni (artistic based). Saat ini, kedua jenis kreativitas ini harus menyatu di berbagai produk sehingga mampu melahirkan kegiatan ekonomi yang sangat besar. Sederhananya, produk teknologi yang didukung seni ataupun produk seni yang didukung teknologi merupakan pilar ekonomi. Ketika produk di atas memasuki pasar, maka didalamnya terdapat potensi ekonomi yang sangat besar. Sektor industri seperti ini populer dengan sebutan industri kreatif. Lahirnya produk ditentukan oleh gagasan-gagasan layak jual yang kreatif dan inovatif.
Ekonomi kreatif adalah sistem perekonomian yang menjadikan kreativitas dan kemampuan intelektual sebagai dagangannya. Ekonomi ini memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan bakat seseorang untuk menciptakan kesejahteraan finansial dan lapangan pekerjaan. Kemampuan seseorang berpikir dan menciptakan gagasan kreatif sangat penting dalam perkembangan industri kreatif.
Kreativitas dapat dihasilkan oleh siapapun tanpa mengenal batas wilayah, umur ataupun golongan. Ada 14 jenis industri kreatif yang berpotensi besar untuk ekspor, seperti film, animasi, software, kerajinan, musik, EO, interior design dan barang-barang yang berbasis pengolahan limbah. Industri kreatif tersebut mempunyai pasar di Eropa dan Timur Tengah, dan Amerika Serikat (Kontan, 23/12/2008).
Departemen Perdaganan (Depdag) mencatat 15 cakupan bidang ekonomi kreatif: (1. Jasa periklanan; (2. Arsitektur; (3. Senirupa; (4. Kerajinan; (5. Desain; (6. Mode (fashion); (7. Film; (8. Musik; (9. Seni pertunjukan; (10. Penerbitan; (11. Riset dan pengembangan; (12. Software; (13. TV dan Radio; (14. Mainan; (15. Video game.
Menurut Agung Bawantara (Most Wanted Creative Jobs, 2007: 2-6), di negara maju Inggris, industri kreatif digenjot untuk menggerakkan perekonomian negara. Hebatnya, sumbangan industri kreatif di negeri ini mencapai 8,7 persen yang melampaui pendapatan Inggris dari sektor industri manufaktur. Lain lagi dengan Negara Singapura. Di Negara ini, industri kreatif menyumbang pendapatan Negara hingga mencapi 47 triliun rupiah per tahun. Di Korea, geliat industri kreatif mengalami pertumbuhan sekitar 20 persen per tahun dan berada pada posisi kedua setelah industri finansial.
Industri kreatif Indonesia menyumbangkan sekitar 4,75% dari Produk Domestik Bruto atau PDB Indonesia pada 2006, berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih. Laju pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 juga sebesar 7,3% per tahun, melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebesar 5,6%. (Bisnis Indonesia, 24/10/2007).
Maka pemerintah Indonesia, dalam menunjang keajegan industri kreatif, pada tahun 2006 meluncurkan Indonesian Design Power 2006-2010. Ini dilakukan untuk menggenjot industri kreatif sehingga mampu memberikan pendapatan Negara sebesar 10 persen pada tahun 2016. melihat potensi Negara ini, dengan kekayaan budaya dan alam, optimisme mewujudkan program itu bukan isapan jempol. Tentunya dengan memperhatikan pranata pendukung yang dapat mewujudkan cita-cita 10 persen pada tahun 2016.
Pranata yang mesti diperhatikan dalam mengembangkan industri kreatif adalah mulai dari masyarakat lokal, institusi formal (pemerintah), lembaga pendidikan, agen, studio, toko sampai pada keberadaan komunitas dan institusi mesti melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghimpun berbagai pengetahuan dan informasi yang terkait dengan industri kreatif. Aspek-aspek yang terkait dengan pengembangan kreativitas, mulai dari proses sampai pemanfaatan sarana informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan perkembangan ekonomi kreatif, sisi teknologi dan prospek bisnis adalah komoditas yang harus mulai digarap serius.

Mewujudkan Jabar kreatif
Untuk konteks Jawa Barat, potensi ekonomi kreatif telah ada namun perlu kebijakan khusus untuk mengembangkannya. Misalnya, industri kreatif di Kota Bandung, sebagai kota yang dihuni 60 persen kalangan muda di bawah 40 tahun dan tempat berkembangnya perguruan tinggi, industri kreatif tumbuh pesat. Hal ini merupakan potensi besar bagi perkembangan industri kreatif di Jawa Barat. Apalagi sektor industri kreatif menyumbang 7,8 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Barat. (www.tempointeraktive.com).
Badan Pusat Statistik tahun 2005 menyebutkan, setidaknya ada 15 sektor industri kreatif yang tumbuh subur di Jawa Barat. Di antaranya periklanan, arsitektur, pameran dan festival, kerajinan, desain, fesyen (Clothing, footwear dan apparel), film, video dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukkan, penerbitan dan percetakan, jasa komputer dan piranti lunak, riset dan pengembangan serta kuliner.
Penting kiranya mendorong kemampuan masyarakat (individu) agar mampu berkreasi dan menjadi bagian dari sektor industri kreatif. Maka, dua hal yang penting diperhatikan untuk mendorong tumbuhnya budaya kreatif, yaitu: pertama, pemanfaatan internet dan saluran informasi (information tool) untuk dapat memetik dan mempelajari kreativitas dunia; dan kedua, menciptakan pasar domestic dan pasar ekspor yang menyerap berbagai produk kreatif ini. Ketiga, tdengan cara menggandeng komunitas kreatif.
Kita tidak bisa berharap kepada APBD dan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN 2009 yang mencapai Rp 23,969 triliun. Itu hanya stimulus saja. Jawa Barat punya potensi ekonomi kreatif yang besar dan unik. Unik karena tiap daerah punya ciri khas dan terbukti menjadi penggerak ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Tahu Cibuntu, tahu Sumedang, ubi Cilembu, Tas dan Sepatu Cibaduyut, Kerajinan Rotan Cirebon, kerajinan kulit Garut, dodol Garut, Factory Outlet Kota Bandung, dan sederet potensi ekonomi kreatif yang tak tertandingi dan telah melakukan kegiatan ekspor. Industri ini tak pernah mati karena menjadi bagian dari budaya masyarakat. Namun tak bisa tumbuh pesat karena belum ada sentuhan serius dari pemerintah. Pemerintah daerah tidak perlu mencari-cari ke luar daerah apalagi ke luar negeri. Kita telah punya potensi, tinggal dikembangkan dan dikelola dengan baik.
ITB, IPB, UIN Bandung, UPI dan kampus terkemuka lain ada di Jawa Barat. Mengapa tidak, industri kreatif berbasis teknologi dikembangkan melalui kerjasama pemerintah daerah dengan kalangan akademik. Sinergi stakeholder terkait; pemerintah, komunitas kreatif, dunia usaha, kampus dan masyarakat lokal menjadi penting dilakukan untuk membangun industri kreatif ini.
Ke depan, konsep one village one product (OVOP) bisa dikembangkan, bukan hanya berorientasi pada pasar domestik, tapi juga pasar dunia. Ini soal political will dan merupakan bagian dari pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sesungguhnya. Jika ini dikelola dengan serius dan sinergi antar stakeholder tercipta dengan baik, bukan mustahil jika toko sepatu Cibaduyut menjamur di Eropa, dodol Garut jadi menu orang Asia dan sebagainya. Wallahu'alam

Artikel ini ditayangkan di Harian Pikiran Rakyat, 18 Februari 2009

0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.