Sabtu, 07 Februari 2009

Pluralisme Islam dan Tantangannya

Semula, para pemeluk agama hidup dalam komunalitas beragama yang sama. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, kehidupan bersama dengan pemeluk agama lain adalah keniscayaan. Pemeluk suatu agama berada dalam masyarakat yang menganut agama berbeda satu sama lain. Kenyataan ini dapat kita lihat di kota-kota besar.

Pluralitas agama menjadi keniscayaan dan merupakan sunnatullah. Karenanya diperlukan sikap teologis yang sesuai dengan kepluralan situasi keberagamaan yang ada. Dalam hal ini, pluralisme agama dapat dijadikan sebagai teologi alternatif. Pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan yang melahirkan sikap toleran. Pluralisme berbeda halnya dengan relativisme. Relativisme melahirkan keyakinan bahwa semua agama benar. Sementara itu, pluralisme agama menegaskan keimanan sendiri, sembari menghargai keimanan yang lain ditengah beragamnya keyakinan teologis. Pluralisme mendorong tumbuhnya toleransi antar umat beragama.
Dalam diskursus teologi, konsep pluralisme agama paling tidak ada model yaitu pluralisme realistik dan pluralisme regulatif. Pluralisme realistik adalah pandangan bahwa semua agama merupakan jalan yang berbeda-beda, atau merupakan berbagai versi, dari suatu kebenaran yang sama. Pluralisme regulatif merupakan pandangan teologis yang menyatakan bahwa sementara berbagai agama memiliki nilai-nilai dan kepercayaan masing-masing, mereka mengalami suatu evolusi historis dan perkembangan ke arah suatu kebenaran bersama, hanya saja kebenaran bersama tersebut belum lagi terdefinisikan.
Sebagai umat beragama yang mayoritas, sudah seharusnya umat Islam menegaskan konsep teologis yang ramah dan menghargai agama lain. Umat Islam harus merumuskan dan melandaskan konsep hubungan antar umat beragama dengan pluralisme Islam. Term pluralisme Islam dimaknai sebagai konsep teologis yang menegaskan keyakinan akan kebenaran Islam, sembari menghargai keyakinan teologis yang lain ditengah beragamnya keyakinan teologis yang ada dan tumbuh di dunia. Pluralisme Islam disandarkan kepada ajaran al-Qur’an dan pengalaman historis di jaman Nabi.
Prinsip-Prinsip Pluralisme Islam
Adnan Aslan dalam karyanya yang berjudul “Religious Pluralism in Christian dan Islamic Philosophy; The Thought of John Hick and Seyyed Hossein Nasr” menjelaskan beberapa prinsip bagi konsep pluralisme Islam. Pertama, universalitas dan keragaman wahyu Tuhan kepada manusia ditegaskan Islam secara eksplisit mendukung universalitas wahyu Tuhan, yang memainkan peran penting dalam pemahaman Islam akan agama lain. Tuhan dalam al-Qur’an bukan hanya Tuhan kaum muslimin, tetapi Tuhan sekalian alam.
Tuhan semua manusia tidak akan membiarkan bangsa manapun dalam kegelapan, sebaliknya Dia menerangi mereka dengan mengutus para rasul (QS 10:47, QS 16:36, QS 35:24). Meskipun demikian, Tuhan tidak menyebutkan secara keseluruhan para nabi dan rasul itu dalam al-Qur’an (QS 40:78). Semua rasul itu berbicara tentang realitas yang sama dan menunjukkan kebenaran yang sama, pesan yang mereka sampaikan tidaklah identik dalam bentuk teologisnya. Hal ini terjadi karena ajaran tersebut disampaikan dengan menggunakan “bahasa” kaum tersebut. Maksudnya, ajaran tersebut telah “dilokalkan” sedemikian rupa sehingga selaras dan bisa diterima oleh budaya yang menjadi tujuannya. Seorang rasul tentu harus dapat berbicara dalam konteks kultural umat yang diberi pesan tersebut.
Kedua, keragaman ras, warna kulit, komunitas dan agama dipandang sebagai tanda rahmat dan keagungan Tuhan yang ditunjukkan melalui makhluk-Nya. Dengan demikian, kemajemukan adalah sesuatu yang bersifal alamiah. Kemajemukan juga menegaskan kondisi manusia yang terbatas. Pengakuan akan kemajemukan merupakan bentuk pengakuan pada keterbatasan manusia, sebaliknya menapikan kemajemukan merupakan sikap yang mengingkari sunnatullah.
Ketiga, setiap agama yang diwahyukan dapat disebut Islam, jika dipandang sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan” (makna harfiah Islam). Al-Quran sendiri mengemukakan gagasan ini dengan menyatakan bahwa Islam bukanlah sekedar sebuah nama yang diberikan kepada suatu sistem keyakinan atau agama, tetapi juga nama tindakan pasrah kepada kehendak Tuhan (QS 3:67, QS 2:128).
Keempat, Islam mengajarkan bahwa menganut Islam harus didasarkan pada ketulusan, bukan paksaan (QS 2:256, QS 18:20, QS 10: 99). Apabila Islam disampaikan dengan kekerasan, jelas sangat bertentangan dengan pengertian Islam itu sendiri.
Kelima, pengertian Islam yang berarti sikap pasrah kepada kebenaran, menyebabkan tafsir atas ayat yang menyatakan bahwa agama yang diridlai oleh Allah adalah Islam harus dipahami bukan dalam pengertian Islam sebagai kelompok agama, tetapi sebagai ajaran yang ada semenjak Adam hingga Muhammad yang menjadi penyempurna risalah Tuhan kepada manusia.
Keenam, apabila kebenaran dan kebaikan hanyalah milik kaum muslimin dalam pengertian ekslusiv, maka bagaimana menghukumi kebaikan yang dilakukan oleh non-muslim. Pada problem “kebaikan sosial” inilah, teologi ekslusiv mengalami keterbatasan ketika harus menjelaskan mengenai kebaikan yang dilakukan oleh non-muslim yang mungkin dirasakan juga oleh kita sebagai muslim. Padahal dengan jelas Allah dalam al-Qur’an menyatakan bahwa setiap kebaikan sebesar atompun akan memperoleh balasan (QS 99:7-8). Apakah kebaikan yang dilakukan oleh non-muslim bukan merupakan kebaikan?
Kebenaran yang sesungguhnya adalah Tuhan itu sendiri, sehingga tidak ada keraguan bagi kebenaran Tuhan. Klaim kebenaran mutlak merupakan bentuk pengingkaran atas mutlaknya kebenaran Tuhan. Manusia dengan segala keterbatasannya hanya memiliki secuil kebenaran dan diwajibkan untuk berusaha mendekati sumber kebenaran itu sendiri.
Bagi kaum muslimin yang kesehariannya hidup bersama non-muslim dan merasakan kebaikan dari mereka, bukankah akan melahirkan problem teologis. Hal ini sangat dirasakan oleh Farid Esack yang kemudian menulis “Qur’an, Liberation and Pluralism. An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression”. Bagi Esack, identifikasi kafir bagi non-muslim menjadi kabur, ketika ia bersama non-muslim di Afrika berjuang melawan politik apharteid. Apakah mereka layak disebut kafir hanya karena berbeda agama, sementara banyak kaum muslimin yang saat itu menjadi penjilat dan berpihak kepada pemerintah apharteid. Sementara itu, pengertian teologis tentang iman, kafir dan yang lainnya kita peroleh dari pemikiran kalam klasik yang juga tumbuh dalam pergolakan politik umat Islam saat itu.
Sifat dari suatu kebaikan dan kebenaran adalah universal. Kebaikan dan kebenaran hanya dapat dirasakan oleh nurani. Kebenaran dan kebaikan tidak mengenal primordialitas agama atau ras.
Ketujuh, berkaitan dengan problem keselamatan. Dalam hemat penulis, konsep keselamatan merupakan konsep teologis yang seharusnya diyakini secara dualistis. Sebagai seorang muslim, kita wajib meyakini sedalam-dalamnya, bahwa Islam adalah agama yang menyelamatkan. Disisi lain, persoalan keselamatan di dalam agama lain adalah urusan Tuhan. Manusia tidak memiliki pengetahuan apakah mereka yang berbeda agama akan memperoleh keselamatan. Bahwa kita meyakini hanya agama kitalah yang akan memberikan keselamatan, memang demikianlah seharusnya keimanan kita. Sementara itu, persoalan keselamatan pemeluk agama lain sebaiknya “ditunda” dan diserahkan kepada Tuhan. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan bagi seluruh agama, rasa dan golongan umat manusia yang ada dimuka bumi ini semenjak Adam hingga kiamat.
Salah satu sifat khas al-Qur’an adalah menghindari membuat penilaian umum atas kelompok masyarakat tertentu. Menjadi seorang muslim bukanlah jaminan untuk memperoleh keselamatan. Di samping beriman, seorang muslim harus berbuat baik dan juga berusaha semaksimal mungkin untuk menjalankan kehidupan moral yang sempurna. Muhammad yang jelas-jelas telah dima’shum, secara terus menerus selalu meningkatkan nilai ibadahnya. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya memuji kesalehan kaum Ahli Kitab, disisi lain, mengkritik kaum Ahli Kitab. Demikian juga hal ini diarahkan kepada kaum muslimin. Dari sini dapat dijelaskan bahwa konsep keselamatan tidak harus menjadi konsep teologis ekslusiv, karena keselamatan hanya mungkin diperoleh dengan semaksimal mungkin mempertahankan keimanan dan meningkatkan ibadah baik yang berdimensi sosial (horizontal) maupun vertikal.

Beberapa Tantangan bagi Pluralisme Islam
Tantangan yang bersifat internal datang dari kalangan Islam radikal. Radikalisme Islam dalam pengertian keyakinan tauhid adalah kemutlakan bagi setiap muslim. Namun, ketika jalan kekerasan yang dipergunakan sebagai ekspresi iman, hal tersebut jelas bertentangan dengan makna dari Islam itu sendiri. Islam adalah ajaran yang dalam pengamalannya menimbulkan keselamatan dan kedamaian baik bagi penganutnya maupun yang ada disekelilingnya. Islam radikal adalah salah satu gerakan dalam Islam yang sering menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengekspresikan keimanannya.
Tantangan lain datang dari Islam politik. Hal ini terjadi karena, isu Islam sering dijadikan sebagai komoditas politik untuk menguntungkan kelompok tertentu. Friksi antar sesama umat Islam sering terjadi karena perbedaan pilihan politik. Pengalaman pada pemilihan umum beberapa waktu yang lalu sebagai contohnya.
Kecenderungan sebagian umat Islam yang belum mampu mengapresiasi perbedaan diantara sesama umat Islam adalah salah satu problem yang masih tumbuh dikalangan umat Islam. Masih kurangnya upaya saling menghargai ditingkat grass root umat terhadap perbedaan pandangan keagamaan merupakan problem mendasar dalam hubungan antar umat seagama.
Selain itu, tantangan yang dihadapi oleh pluralisme agama adalah sejarah panjang saling tidak percaya antara Islam dan Kristen. Isu keagamaan yang sangat mengganggu antara umat Islam dengan umat Kristiani adalah isu kristenisasi. Sebalik umat Kristiani tetap hidup dalam baying-bayang isu Islamisasi. Sebagai agama yang sama-sama memiliki klaim universalitas ajaran, memang sangat tidak bisa dihindari ketidakpercayaan satu sama lainnya. Kecurigaan akan Islamisasi dan Kristenisasi seakan tidak akan terselesaikan sampai kapanpun.
Berbagai bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh negara adi kuasa atas umat Islam dan perlakuan Israel atas Palestina diyakini sebagai akar tumbuhnya radikalisme agama. Salah satu faktor tumbuhnya radikalisme agama adalah ketidakadilan. Selama ketidakadilan masih ada, maka radikalisme agamapun akan tumbuh.
Penutup
Pluralisme Islam, demikian penulis menyebutnya, harus dipandang sebagai pandangan teologis yang berusaha untuk menegaskan keimanan yang dimiliki dan menghargai keyakinan teologis yang lain ditengah keragaman keyakinan teologis yang ada. Berbagai tantangan yang ada seyogyanya tidak menjadi penghalang bagi pengembangan konsep pluralisme dikalangan umat Islam. Berbagai tantangan tersebut harus diminimalisir dengan terus meningkatkan ukhuwah Islamiyah dan wathaniyah dikalangan umat Islam. Umat Islam sesuai dengan sifatnya, harus mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu’alam

0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.