Selasa, 17 November 2009

Kuasa dan Kebenaran Dalam Wacana Cicak Lawan Buaya

Teater politik dan hukum Indonesia masih didominasi episode cicak melawan buaya. Siapa yang menang dan kalah, endingnya belum dapat diketahui. Demikian juga, siapa yang terlibat, yang menjadi dalang, yang menjadi martir atau dikorbankan, publik belum bisa menyimpulkan.

Namun, di tengah ramainya pentas teater itu, para facebooker membuat kejutan dengan memberikan dukungan atas pembebasan Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Suatu dukungan yang hingga tulisan ini dibuat, jumlahnya sudah 1,2 juta lebih. Untuk sementara, pemenang dari teater cicak lawan buaya adalah facebooker itu sendiri.
Dari berbagai ulasan yang dibuat terkait soal cicak lawan buaya, suatu wacana yang diproduksi oleh Polri dan diralat oleh Kapolri, penulis melihat ada yang luput dari perhatian, yaitu keterkaitan antara kuasa, wacana dan produksi kebenaran. Suatu fakta baru, bangkitnya kekuatan sipil yang dalam ekspresi politiknya menggunakan media facebook.
Bentuk keterbukaan informasi dan pandangan politik masyarakat yang terbuka dan bebas. Terbuka dan bebas karena tidak adanya aturan main (rule of games) yang bisa diatur dan dicurangi oleh kelompok kepentingan tertentu. Setiap orang dapat menyampaikan idenya dan tak ada satu institusipun yang berhak untuk menutupnya. Facebooker merdeka kepada dan untuk dirinya sendiri. Jika media massa masih bisa dikangkangi oleh kepentingan pemilik modal, maka facebooker tak dapat disumbat. Karena jika pun disumbat, ada media lain yang bisa dijadikan media seperti twitter dan yang lainnya.

Kuasa
Michel Foucault, salah satu filosof Prancis terkemuka menyatakan, saat ini, kuasa bukan lah milik seseorang, seperti raja atau pejabat, tapi strategi. Kuasa dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang strategis berkaitan satu sama lain dan senantiasa mengalami berbagai pergeseran.
Kita bisa melihat dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan dan sistem-sistem regulasi. Itu lah bentuk kuasa dan di situ kuasa sedang berkerja. Kekuasaaan selalu terakumulasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa memproduksi realitas, memproduksi lingkup-lingkup, objek-objek dan ritus-ritus kebenaran. Menghukum dan membentuk publik lewat opini. Publik tidak dikontrol menurut kekuasan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat wacana
Kuasa dalam pentas teater cicak lawan buaya diproduksi oleh facebooker dan media massa baik cetak dan elektronik yang secara masif memberitakan perkembangan kasus tersebut. Facebooker memperteguh kuasanya dengan melipatgandakan jumlah pendukung. Suatu pembuktian atas tesis yang menyatakan media massa sebagai salah satu pilar demokrasi di tengah mandulnya gerakan politik di parlemen. Hal ini juga menunjukkan bahwa civil society (masyarakat sipil) terus melakukan edukasi dan pencerdasan atas dirinya. Suatu fakta menggembirakan sekaligus ironi. Menggembirakan karena publik menunjukkan dirinya sudah tidak bisa dibodohi lagi. Di sisi lain, menjadi ironi karena diam-diam telah terjadi delegitimasi dan semakin melemahnya kepercayaan publik kepada aparat hukum.
Presiden, Mahkamah Konstitusi (MK), KPK, Kepolisian, Tim 8 dan Kejaksaan hanyalah salah satu produsen kuasa yang terbukti tak berkutik menghadapi dominasi facebooker yang kekuatannya terus membesar di setiap menit seiring semakin banyaknya yang bergabung.

Wacana
Menurut Foucault, setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu menimbulkan efek kuasa.
Produksi wacana berkait bagaimana terbentuknya bangunan wacana. Produksi wacana selalu berkaitan dengan realitas. Realitas tidak bisa didefinisikan jika tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar. Wacana membentuk dan mengkonstruksi peristiwa tertentu dan gabungan dari peistiwa tersebut ke dalam narasi yang dapat dikenali dalam kebudayaan tertentu.
Dalam teater cicak lawan buaya, wacana yang diproduksi kepolisian dikalahkan dengan telak oleh wacana yang dibangun media massa dan facebooker. Suatu realitas yang tidak terbantah sebagai salah satu bentuk demokratisasi dan menguatkan kekuatan sipil (civil society). Facebooker telah menjadi wacana dominan, mainstream dari wacana cicak lawan buaya. Wacana yang dibangun oleh selain itu tenggelam tak terdengar. Terciptalah wacana, Kepolisian dan Anggodo salah. Sementara, Bibit dan Chandra tertindas, benar dan harus dibela. Kepolisian pun dihakimi dan KPK pun dibela. Walau tentu faktanya belum tentu demikian. Semuanya masih mungkin terjadi, hanya Tuhan dan pelakunya yang tahu. Namun, wacana yang terbentuk telah memberikan kesimpulan bahwa Bibit dan Chandra tidak menerima suap dan KPK harus dibela. Di tengah carutmarutnya sistem hukum di Indonesia, gerakan facebooker tersebut seperti oase yang membuat dahaga akan keadilan dan kebenaran sejenak terpuaskan. Karena lembaga hukum yang seharusnya memproduksi keadilan dan kebenaran terbukti telah dikangkangi oleh segelintir manusia serakah yang kemaruk dengan harta.

Produksi Kebenaran
Kuasa menjamin perbedaaan antara benar dan tidak benar. Ada berbagai prosedur untuk memperoleh dan menebarkan kebenaran. Dukungan 1,2 juta lebih facebooker adalah prosedur untuk memperoleh dan menebarkan kebenaran tersebut.
Prosedur dan model penebaran kebenaran tersebut harus dilihat sebagai bentuk baru yang bisa jadi akan menjadi strategi berbagai kelompok kepentingan di masa yang akan datang.
Memang hanya sekian persen dari total penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta. Tapi itu semua merupakan ekspresi politik kelas menengah. Ingatlah, perubahan sosial politik baik dalam bentuk reformasi maupun revolusi dilakukan oleh kelas menengah. Suatu produksi kebenaran yang akan memiliki dampak sosial politik dan ekonomi.
Jika dukungan tersebut adalah bentuk kekecewaan publik atas penegakkan hukum, akan melahirkan ketidakpercayaan publik baik di dalam maupun luar negeri. Jelas, berdampak kepada investasi di satu sisi. Di sisi lain, bisa berdampak kepada meningkatnya kebrutalan masyarakat dalam menyelesaikan perkara hukum karena tidak adanya institusi yang diyakini dapat memberikan keadilan. Karena itu, kita berharap rekomendasi Tim 8 akan memberikan masukan yang tepat kepada Presiden sehingga dapat mengambil langkah tepat dan cepat untuk mengakhiri kemelut hukum ini.
Terlepas dari fakta dan data yang nantinya akan diungkap oleh Tim 8, kini, produksi kebenaran telah diambilalih oleh dunia maya, facebook. Suatu bentuk baru dari produksi kebenaran yang menghakimi sistem pengadilan kita karena selama ini dituding hanya menjadi bahan permainan para mafioso pengadilan.
Facebooker telah menyatukan visinya untuk menjadikan Indonesia yang berkeadilan secara hukum. Suatu bentuk pengambilalihan peran yang tragis, karena seharusnya peran ini dilakukan oleh aparat hukum.
Sebegitu parahkah sistem hukum Indonesia, facebooker telah menghakimi dan memutuskannya. Kini kembali kepada Presiden, sejauhmana upayanya yang tegas dan adil dalam menyelesaikan kemelut ini. Atau, bisa jadi gerakan facebooker berubah menjadi gerakan mendelegitimasi kekuasaan yang sedang menyemai kinerja 100 hari pertama. Jangan sampai ini terjadi, karena pertumpahan darah mungkin terjadi dan bangsa ini kembali mundur ke pusaran sejarah konflik yang membuat bangsa ini lambat bangkit. Ini lah tantangan KIB II untuk “memproduksi kebenaran rasa publik” dan sesuai rasa keadilan publik.




0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.