Selasa, 17 November 2009

Kemana Idealnya Arah Pendidikan Islam?

Jika Aa Nafis menulis novel runtuhnya surau kami, maka jika kita mau jujur, saat ini ‘lampu kuning’ pendidikan tengah menyala, karena bisa jadi runtuhnya madrasah (baca: lembaga pendidikan) akan terjadi.


BANYAK contoh yang menggambarkan keruntuhan madrasah itu tengah terus terjadi. Bicara kualitas, belum banyak keluarga atau pun lembaga pendidikan Islam yang memiliki kualitas tinggi, hanya bisa dihitung jari. Bahkan, tak sedikit, lembaga pendidikan yang harus gulung tikar, atas sekedar ada saja.

Akibatnya, produk pendidikan Islam dinilai gagal menghadapi realitas sejarah. Tantangan zaman yang menuntut kesanggupan mental, skill dan keterampilan yang mumpuni belum sepenuhnya bisa dihadapi. Bukan sekedar kecerdasan intelektual dan keterampilan, tapi juga kecerdasan emosional dan spiritual harus dimiliki produk pendidikan Islam.

Celakanya lagi, terdapat pemahaman keliru, bahwa pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada lembaga pendidikan formal dan informal. Padahal pengertian lembaga pendidikan Islam termasuk di dalamnya adalah keluarga. Justru keluarga itu lah sebagai tempat inti terjadinya proses pendidikan setiap saat. Bahkan, pendidikan itu sudah dimulai semenjak sang ibu membangun komunikasi penuh cinta dengan sang bayi yang masih di kandungan.

Memang, masih ada keluarga yang menjadi basis pendidikan Islam. Sudah banyak juga lembaga pendidikan Islam seperti pesantren yang melakukan transformasi diri. Namun jumlahnya belum banyak dibanding kebutuhan. Karena jika dilakukan perbandingan, jumlah umat Islam tidak sebanding dengan jumlah lembaga pendidikan Islam berkualitas.

Jika demikian, kemana idealnya arah pendidikan Islam? Sebuah pertanyaan yang menggugat sekaligus mengingatkan kepada kita semua sebagai stakeholder pendidikan Islam, tentang pentingnya merumuskan kembali konsep pendidikan Islam dengan basis epistemologi yang cocok, ideal.

Dalam seminar internasional bertajuk Epistemologi Dalam Perspektif Islam; Teori dan Aplikasinya Dalam Institusi Pendidikan Tinggi, yang diselenggarakan UIN Bandung, 13 November 2009. Sebagai pembicara, hadir Osman Bakar, Deputy CEO, International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia; Ahmad Tafsir, Ketua Program Doktor Pendidikan Islam UIN Bandung dan Nanat Fatah Natsir, Rektor UIN Bandung.

Disimpulkan bahwa peradaban dibangun oleh epistemologi. Praktik epistemologi salah satunya ada dalam pendidikan, lebih praktis lagi ada dalam kurikulum. Dalam praktik nyatanya, orang tua, guru dan dosen menjadi pelaku, mediator dari basis epistemologi tersebut. Pendidikan adalah model transformasi nilai, epistemologi dan pengetahuan antar generasi. Pendidikan adalah sistem keadaban yang ada semenjak manusia ada, diciptakan. Modelnya dari pendidikan sederhana sampai yang sifatnya bertingkat. Akarnya adalah epistemologi.

Namun, soal ini, rupanya sebagian besar pelaku pendidikan banyak yang tidak menyadari atau mungkin tidak memahami. Akibatnya, produk pendidikan Islam atau pendidikan Indonesia seperti kebingungan dan hanya bisa mengekor dengan konsep pendidikan yang basis epistemologinya berasal dari Barat. Terlebih, di lingkup keluarga, sebagai lembaga pendidikan inti, dominasi tayangan televisi telah menjadi guru baru yang menguasai kesadaran dan pengetahuan keluarga.

Osman Bakar, Ph.D dalam paparannya menyatakan semua kebudayaan dan agama, memiliki basis epistemologinya sendiri-sendiri. Karena itu, keliru jika dengan serta merta dan tanpa sikap kritis mengambil epistemoli dari peradaban Barat. “Tak mungkin kita memiliki epistemologi yang unggul tanpa memiliki kosmologi (pandangan dunia tentang alam) dan psikologi (pandangan dunia tentang manusia) yang komprehensif,” katanya.

Lebih lanjut, Osman menyatakan, kosmologi dan psikologi Islam dibangun dengan prinsip tauhid. “Kita bersedia untuk mengambil dari berbagai sumber, selama itu cocok dengan semangat tauhid yang menjadi konsep keimanan umat Islam,” tegasnya.

Pengetahuan dan kebenaran, lanjut Osman, sangat penting dalam prinsip epistemologi Islam. “Islam adalah agama pengetahuan. Ilmu pengetahuan menuntut kebenaran. Ilmu dan kebenaran adalah dua asmaulhusna yang penting,” ujarnya.

Nanat Fatah Natsir, Rektor UIN Bandung yang juga pembicara seminar tersebut menegaskan bahwa tidak perlu lagi ada dikotomi (pemisahan) antara ilmu agama dengan ilmu umum. Dengan prinsip dasar ini, semua ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam harus didasarkan juga pada nilai-nilai agama, tauhid. “Semua ilmu dikembangkan dari Sang Maha Pencipta, Allah Swt, baik dalam bentuk ayat qauliyah (al-Quran) dan ayat kauniyah (alam semesta). Mempelajari ilmu itu dalam rangka pengabdian diri sebagai khalifah dan abdi Allah di bumi ini,” tegasnya.

Dapat disimpulkan, basis epistemologi pendidikan Islam adalah tauhid. Dengan prinsip tauhid, tidak perlu lagi ada dikotomi antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Dengan demikian, tidak perlu lagi ada kepribadian yang terbelah dari produk pendidikan Indonesia .

Dalam praktiknya, seluruh lembaga pendidikan Islam, termasuk di dalamnya keluarga, harus merumuskan ulang model pendidikannya. Mulai dari merumuskan epistemologi, kurikulum, Satuan Acara Perkuliah/Pengajaran, dan bahan ajar. Dalam keluarga, sistem pendidikan keteladanan dan peran orang tua dalam mendidik anak sangat vital.

Mungkin rumit, namun harus dimulai dan dilakukan. Atau pendidikan Islam akan semakin dibanjiri oleh sistem yang keliru, memproduk manusia yang gagal. Akibatnya peradaban menjadi peradaban gagal. Seperti sesaknya hati kita melihat carutmarut hukum di negeri ini. Sebagaimana muaknya kita melihat korupsi yang terjadi dimana-mana. Sadar atau tidak, itu produk pendidikan yang keliru.

Seperti pohon, akarnya harus benar, disiram dan dipupuk yang tepat. Dengan demikian, tumbuhnya pun akan baik dan buahnya akan lebat dan bermanfaat. Demikianlah pohon pendidikan Islam harus tumbuh, bukan hanya di dalam lembaga pendidikan formal, resmi seperti pesantren, universitas, sekolah, tapi juga dalam keluarga.

Kini, kembali kepada diri kita semua. Haruskah pendidikan Islam yang ditopang oleh keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan harus semakin tenggelam oleh model pendidikan yang salahkaprah? Marilah memulai dari diri kita, saat ini, dan dari hal yang kecil. Selamatkan generasi muda dari kekeliruan pendidikan, karena masa depan umat ada ditangan kita. Jangan warisi mereka tradisi kebodohan.



0 komentar:

Posting Komentar

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.