Membayangkan kota yang hijau, sejuk, tenang, taman kota dimana-mana, ruang publiknya cukup, pasokan air bersih dan listriknya terjamin, serta keamanannya terjaga, rasanya sudah mulai sulit. Di area publik, ketidaktertiban menjadi keseharian. Lihatlah pasar, jalanan, kesemerawutan terlihat nyata.
Akibatnya, warga pun sudah imun (kebal) dan ikut-ikutan melakukan kebiasaan buruk. Membuang sampah sembarangan, berjualan di pinggir jalan atau trotoar, atau tidak mau memberikan kesempatan ke penyebrang jalan padahal di zebra cross dan perilaku tidak ramah lainnya.
Dari parameter ini, dapat dikatakan, kota Bandung, Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia telah menjadi kota yang tak ramah. Polusi udara, kesemerawutan tata kota, tiadanya ruang publik (jika pun ada sudah pada rusak), sampah yang menggunung, banjir yang saban tahun mengintai dan keamanan yang tak terjamin.
Revolusi BudayaDalam banyak kesempatan melakukan perjalanan di dalam Kota Bandung, dan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), sebuah pertanyaan menggugat kerap muncul, benarkah orang Indonesia itu ramah? Pertanyaan ini hadir ketika melihat fenomena pengguna jalan yang ugal-ugalan, tak mau mengalah, bunyi klakson yang nyaring bersahutan disertai dengan asap hitam dari knalpot mobil angkutan umum yang telah penuh namun terus menaikkan penumpang.
Apakah ini fenomena sosial budaya masyarakat di negara berkembang? Ya, ini merupakan salah satu fenomena sosial masyarakat berkembang. Dari sisi psikologi sosial, ini merupakan bentuk protes, apatisme, frustasi dan kemarahan serta kebosanan atas ketimpangan dan ketidakadilan yang dirasakan warga.
Jika pejabat atau kelompok sosial tertentu yang lewat, jalan pun lenggang tak macet karena dikawal aparat. Sementara, warga yang nota bene sebagai pemilik sah kedaulatan republik ini harus siap berdesak-desakan ketika ingin kendaraan umum, panas-panasan atau hujan-hujanan di jalan, terpaksa di selasar rumah sakit karena tak mampu membayar ruang VIP.
Menggunakan sepeda hanya buat badan kotor dan berdebu saja karena tidak ada jalur khusus yang disediakan. Penyandang cacat, anak-anak dan orang tua, lebih baik diam saja di rumah, karena sedikit ruang publik yang mengakomodasi kebutuhan mereka.
Disparitas sosial yang semakin lebar menyebabkan frustasi sosial. Semuanya pun ingin jadi penguasa. Maka lihatlah di jalanan, semuanya bergerak kencang, pengendara motor, mobil pribadi, angkutan umum pun senang ugal-ugalan. Mereka saling salip dan tak ada kesempatan bagi pejalan kaki atau pengendara sepeda.
Warga akan sakit jika kotanya tidak ramah. Tentu saja bukan sekedar sakit dari sisi medis, tapi secara sosial dan budaya. Karena itu, diperlukan suatu gerakan kebudayaan dalam bentuk revolusi.
Revolusi kebudayaan meliputi pembenahan aturan dan penegakkannya. Dalam hal ini, tugas pemerintah pusat dan daerah yang melakukan penertiban. Jangan pernah mau jadi kacung dari para cukong. Memang akan sulit jika pemerintahannya korup.
Revolusi budaya juga meliputi upaya membangun budaya tertib, anti korupsi dan peduli lingkungan. Awalnya bisa dengan menegakkan hukum. Namun, selanjutnya akan menjadi kebiasaan (budaya) hidup tertib. Pelayan publik tahu diri sehingga tidak sengaja mempersulit dan mau disuap. Warga yang mengurus berbagai keperluan juga tidak mau menyuap.
Revolusi budaya juga berarti merevitalisasi nilai agama dalam keseharian. Semua agama mengajarkan bahwa ciri orang beriman adalah hidup dengan tertib, menjaga lingkungannya selalu bersih dan aman.
Revitalisasi Kota Kota ramah menjadikan warganya dapat memenuhi seluruh hak dasarnya dalam bidang pelayanan publik. Pemimpin di kota ramah menyadari benar, yang harus dilayani adalah seluruh warga kota dari berbagai golongan dan kelompok sosial. Jadi, tidak ada alasan untuk berpihak kepada cukong atau pemilik modal dengan mengesampingkan hak warga atas ruang publik dan berbagai pelayanan umum lainnya. Warga lah yang menjadi pemilik sah kota atau daerah tersebut.
Kota ramah mengandung beberapa ciri. Pertama, tersedianya ruang publik yang cukup bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk untuk anak-anak, penyandang cacat dan orang tua. Ruang publik itu antara lain; taman kota tempat bermain, sarana olah raga, trotoar yang khusus untuk pejalan kaki (utamanya untuk penyandang cacat dan orang tua), gedung yang terpenuhinya prasyarat Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3) juga tersedianya jalur khusus sepeda. Termasuk di dalamnya area untuk melakukan demonstrasi dan menyampaikan berbagai kritik dan masukan dari warga kota kepada pemimpinnya. Ketersediaan listrik dan air bersih pun tercukupi. Pemukiman sehat bagi warga miskin tersedia.
Kedua, efektifnya berbagai peraturan yang menertibkan warga. Aturan soal membuang sampah, merokok dan yang terkait dengan ketertiban umum harus ditegakkan.
Ketiga, berbagai kebutuhan ekonomi terpenuhi dengan baik. Pedagang Kaki Lima (PKL), toko-toko, mini market, pasar tradisional dan hyper market diatur sedemikian rupa sehingga keberadaannya tidak menimbulkan kemacetan dan tidak mengotori lingkungan.
Keempat, kota yang ramah adalah kota yang kegiatan politiknya efisien. Pemilihan langsung yang dilakukan telah memberi ruang untuk melakukan kontrak politik dengan para pemimpin politik kota. Namun, entah rakyatnya sudah lupa atau bosan menagih janji kampanye, atau pemimpin yang terpilih bebal dan tak tahu malu melupakan janji soal pelayanan publik yang akan disediakan jika dirinya terpilih.
Kegiatan politik yang efisien juga ditandai dengan adanya tempat berdemonstrasi dan pusat keramaian. Demikian juga, dalam pelayanan berbagai perizinan dan kepentingan warganya, semuanya serba cepat, mudah dan murah.
Kelima, keamanannya terjamin. Bukan preman atau suruhan oknum aparat keamanan yang jadi penguasanya. Kota ramah menjadikan aparat hukumnya berwibawa. Semuanya tentu perlu pembiasaan, pengawasan dan teladan dari para pemimpinnya. Harus ada gerakan kebudayaan. Mimpi mungkin ini akan tercipta. Tapi jika tidak dimulai dari sekarang dan oleh diri kita, kapan lagi kota ramah akan tercipta.
Senin, 01 Februari 2010
Merindukan Kota Ramah
Pengelola
- Iu Rusliana
- Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar