Kamis, 15 Oktober 2009

Derita Ekonomi Pertanian Kita

Oleh IU RUSLIANA

SELAIN bangsa pelaut, negeri ini terkenal dengan bangsa petani. Bertani atau bercocok tanam merupakan warisan nenek moyang yang telah berkembang sejak ratusan abad silam. Dari profesi tertua ini juga lahir falsafah hidup, kebudayaan, bahkan sistem kepercayaan yang unik dan sinkretik. Dengan demikian, ada yang menyebut Indonesia sebagai sebuah kiblat wilayah penelitian etnologi, antropologi, sosial-kemasyarakatan, dan budaya yang tak bakal pernah bosan diamati. Tak heran jika Pramoedya Ananta Toer, menyebut bangsa Indonesia sebagai anak segala bangsa.


Namun, kita terenyak kaget dengan kebijakan pemerintah yang memangkas subsidi pupuk bagi petani. Membaca "Tajuk Rencana" harian ini (Rabu, 30/9) anggaran subsidi yang semula Rp 17,5 triliun pada 2010 tinggal Rp 11,3 triliun tentunya akan menyebabkan petani kewalahan menghadapi kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk. Melihat realitas kebijakan pemerintah tersebut, kita mesti mempertanyakan janji anggota legislatif, presiden, dan wakilnya saat masa kampanye. Betulkah mereka sungguh-sungguh akan membela kepentingan rakyat miskin, yang notabene dihuni kaum petani?

Petani, sebagai penyumbang suara terbesar pemilihan umum, baik legislatif maupun presiden dan wakilnya, tidak begitu seksi menyita perhatian pemerintah. Akibatnya, kebijakan yang ditelurkan lebih berpihak pada "konglomerat berdasi" yang menjanjikan dari sisi ekonomi. Pemerintah pada Agustus meliris tujuh target pemulihan ekonomi, di antaranya menargetkan pertumbuhan ekonomi lima persen serta tumbuhnya pertanian, perikanan, dan kehutanan 3,6 persen.

Memperhatikan petani

Apabila pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi lima persen pada 2010, tentunya mesti memperhatikan perekonomian negara yang disumbang sektor pertanian. Dari sisi ekonomi dan kebudayaan, bercocok tanam merupakan profesi yang masih dilakukan mayoritas penduduk di Indonesia, khususnya, di Pulau Jawa. Tak heran jika dalam bahasa Arab, padi dikenal dengan sebutan "jawawut". Ini mengindikasikan sejak zaman dulu, negeri kita dihuni para petani yang mengekspor hasil panennya ke negeri luar. Kedatangan bangsa Portugis ke bumi nusantara juga karena alasan kekayaan rempah-rempah yang sangat dibutuhkan setiap manusia.

Selama manusia memiliki lidah dan perut, selama itu pula hasil pertanian akan dibutuhkan umat manusia yang hidup di belahan dunia. Ketika harga eceran tertinggi (HET) pupuk tidak bersubsidi atau tidak memenuhi kebutuhan petani (karena hilang di pasaran), selama itu pula kita tidak akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat akan pangan. Jadi keniscayaan bagi pemerintah untuk memikirkan ulang pemangkasan subsidi bagi petani karena akan mengakibatkan bertambahnya tingkat kegelisahan rakyat yang berprofesi sebagai petani.

Kalau toh, pemerintah tidak dapat mengubah kebijakannya, menaikkan harga jual hasil pertanian juga merupakan solusi yang lahir dari niat untuk mengimbangi kebijakan pemangkasan tersebut. Namun, solusi ini juga tidak akan berimplikasi pada terjaminnya hak rakyat untuk dapat mengakses pangan secara mudah. Sebab, dalam beberapa kasus, banyak terjadi rakyat yang rela memakan nasi aking karena tidak mampu membeli beras yang mahal. Oleh karena itu, perlu kerja sama pihak terkait, pengusaha pupuk, bulog, dan departemen pertanian untuk melahirkan solusi yang dapat menyelesaikan masalah ekonomi pertanian kita.

Solusi kemiskinan

Menurut komite penanggulangan kemiskinan (2002), masyarakat miskin ditandai dengan ketidakmampuan dalam hal: 1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan (basic needs). 2) melakukan kegiatan produktif. 3) menjangkau akses sosial dan ekonomi (inaccessibility). 4) menentukan nasibnya sendiri, mempunyai rasa takut dan curiga, serta sikap apatis dan fatalistik (vulnerability). 5) membebaskan diri dari budaya miskin dan memiliki martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor).

Bangsa ini mestinya berkaca pada kesuksesan negara India, yang berhasil menekan angka kemiskinannya dari 40 persen pada 1990-an menjadi 26 persen pada awal abad ke-21 dan target 2015 tidak ada lagi penduduknya yang miskin. Hal ini dapat diraih karena negara tersebut memokuskan pada pengembangan pertanian dan perdesaan serta menciptakan lapangan kerja. Oleh karena itu, India mampu mengangkat harkat dan martabatnya. Pemangkasan subsidi pupuk tentunya akan memberatkan sektor pertanian sehingga tanam padi tahun ini akan dirasakan berat dan berimbas pada ekonomi pertanian masa mendatang.

Jadi, memberikan subsidi secara berimbang di sektor pertanian merupakan langkah cemerlang dalam mengangkat perekonomian Indonesia. Namun, melihat kebijakan pemangkasan subsidi petani kali ini mengindikasikan, pemerintah tidak begitu peduli dengan kesejahteraan petani yang di negeri ini menempati posisi pertama sebagai profesi yang banyak dijalani rakyat. Apakah benar seperti itu? Wallahualam.***

Penulis, dosen Fakultas Ushuludin UIN Bandung, mahasiswa Program S-2 Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia (UI).


Selesaikan Bacanya!......

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.