Senin, 14 September 2009

Puasa dan Pesan Anti Teror

DISAAT umat Islam Indonesia gundah gulana akibat diawasinya kegiatan dakwah oleh Kepolisian, ibadah puasa (shaum) menjadi oase, sekaligus kekuatan bagi umat Islam untuk melatih diri dan menunjukkan jika stereotipe yang berkembang bahwa Islam menjadi biang teroris adalah keliru.


Harus disadari, sebagaimana ajaran agama lain, Islam pun bisa dipahami dari ragam perspektif. Baik itu pemahaman yang terbuka dan toleran atau sebaliknya, pemahaman keagamaan yang ekslusif bahkan keras, sehingga membenarkan cara teror dalam menjalankan keyakinan Islam.
Sarjana muslim maupun sarjana barat yang melakukan studi Islam biasanya mengkategorisasikan menjadi kelompok liberal, inklusif, ekslusif dan radikal. Ragam wajah pemahaman Islam, sama dengan beragam dan berbedanya kemampuan dan pengetahuan tentang agama bagi setiap setiap orang. Jangankan dari keluarga yang berbeda, dalam satu keluarga pun, pengetahuan dan pemahaman agama pasti ada perbedaannya, walau mungkin sedikit. Terlebih, fakta historis mewariskan kepada umat Islam, adanya beragam mazhab fiqih, kalam, tafsir, tasawuf dan pemahaman keagamaan lainnya.
Namun tentu, bagi mereka yang telah secara utuh memahami Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah agama rahmat, terbuka, toleran, namun kukuh dalam pemahaman akidah. Dalam praksisinya, Islam adalah agama yang mendunia juga meng-akhirat, anti kekerasan, namun pemeluknya diajarkan untuk kokoh memegang akidah sebagai prinsip dasar beragama.
Keimanan bukan hanya diukur sekedar ibadah spiritual, namun juga diukur melalui ibadah sosial. Membuang sampah atau duri di jalanan adalah bentuk keimanan. Peduli dan menyayangi saudara dan tetangga sebagaimana menyayangi diri sendiri adalah bentuk keimanan. Demikianlah gambaran sederhana dan salah satu contoh dari konsep Islam yang membumi.
Dengan hadirnya Ramadhan, sesungguhnya dapat dijadikan sarana pelatihan diri bagi seluruh umat Islam yang menjalankan ibadah puasa (shaum) untuk menjadikan Islam benar-benar sebagai agama yang membumi. Membumi dalam pengertian, Islam adalah agama yang peduli kemanusiaan dan lingkungan. Cara-cara teror yang dilakukan oleh para “pengantin” dan teroris yang merindukan surga bukanlah cara benar, melainkan doktrin salahkaprah karena sama dengan bunuh diri yang dibenci Allah Swt. Akan lain halnya jika hal itu dilakukan di daerah yang benar-benar sedang perang seperti di Palestina.
Ada beberapa alas an mengapa puasa menjadi sarana melatih diri umat Islam dan menjadikan Islam sebagai agama membumi yang anti teror. Pertama, di samping sebagai ritual personal, privacy, dan rahasia; puasa juga berdampak secara psikis. Inti pelaksanaan puasa adalah kontrol diri (self contro). Dengan demikian, umat Islam yang melaksanakan ibadah puasa dengan benar akan menjadi manusia yang mampu menahan dirinya dari segala perbuatan yang zalim.
Dalam konteks melawan perilaku keagamaan yang meyakini teror sebagai cara sah melakukan jihad melawan kafir (dimana kelompok keagamaan yang satu ini menjadikannya sebagai salah satu rukun iman), ber-puasa yang sungguh-sungguh diharapkan menjadi cara menjalankan keimanan yang terbaik. Bagi umat Islam, bukan melawan teroris yang harus dilakukan, karena itu tugas pemerintah dan aparat keamanan, yang harus dilakukan umat Islam adalah melatih setiap diri, keluarga dan jamaahnya untuk melawan potensi teroris dalam diri masing-masing.
Ketika si pengamal mampu mengontrol emosinya, tidak bakal ia snewen atau grasak-grusuk menafsirkan doktrin ajaran Islam untuk melegitimasi laku keras dan bengis. Bukankah ketika kita berpuasa dan ada yang mengganggu atau mengajak berkelahi, pesan Rasulullah Saw., jawablah: “Ana Shaaimun”? ya, jawaban dari seorang muslim yang berpuasa adalah “saya sedang berpuasa”. Tidak lantas ia meladeni kebejatan orang lain.
Kedua, ada salah kaprah dalam pemahaman keagamaan kelompok radikal, yang meyakini bahwa teror sebagai cara terbaik dalam berjihad. Rasulullah Saw justru mengingatkan, menahan hawa nafsu justru merupakan jihad terbesar. Dengan puasa lah, latihan mengendalikan hawa nafsu sebagai diintensifkan. Bukan hanya kemarahan, kebencian atau kekerasan, tapi juga ketamakan dan sikap berlebihan.
Ketiga, puasa pada level sosial, akan mendorong semangat saling tolong menolong dan kepedulian kepada sesama. Perihnya rasa haus dan lapar akan meningkatkan rasa kesetiakawanan, sekaligus meneguhkan kesadaran, ketika teror ditebar, akan banyak linangan air mata para keluarga korban yang berjatuhan.
Untuk konteks terorisme, yang mengatasnamakan Islam dalam melegitimasi laku teror, kebencian terhadap Amerika Serikat (AS) bukan dilawan dengan kejahatan lagi. Percayalah, kekerasan tidak bisa menjadi penyelesaian masalah. Malahan menjadikan masalah bertambah. Perang dilakukan untuk menjaga diri, dan itu lah yang dilakukan Rasulullah, Saw. Dari 47 poin Piagam Madinah, hampir seluruhnya menyarankan umat Islam untuk membina perdamaian dengan setiap agama, suku status sosial, dan orang di sekitar.
Aksi teror merupakan satu dari sekian luapan nafsu atau emosi yang tak terkendali. Dengan latihan di bulan Ramadan, seharusnya kita dapat mengambil pelajaran bahwa bulan-bulan ke depan, dimana ibadah puasa sudah tidak dilaksanakan lagi, kita juga harus dapat mengontrol emosi. Sebab, inti berpuasa adalah mampu mengontrol segala emosi yang dapat merugikan kehadiran manusia di muka bumi.
Ingat, perang yang dilakukan umat Islam pada masa kenabian, merupakan bentuk defensif. Mempertahankan tanah air karena diserang secara fisik. Tidak adil rasanya kalau yang diserang oleh pihak asing adalah soal pemikiran, gaya hidup, ekonomi, politik dan kebudayaan; kita membalasnya dengan cara yang tidak tepat, bahkan sangat salah. Orang yang rajin dan ikhlas berpuasa akan dapat berpikir secara jernih, ketika hal itu terjadi dalam hidupnya. Ia tidak akan grasak-grusuk dan bernafsu membalasnya dengan cara yang tidak beradab.
Mari belajar terus menunaikan ibadah puasa dengan benar. Disebut belajar terus karena tak ada kata sempurna dalam beribadah selain terus melaksanakanya semaksimal dan sebaik mungkin. Semoga puasa kita kali ini dapat mengantarkan kita menjadi manusia beradab. Bukan lantas menjadikan kita manusia yang super tak beradab alias biadab! Meminjam bahasa Alfred North Whitehead (Mencari Tuhan Sepanjang Zaman, Mizan, 2009), puasa semestinya dapat membentuk kesadaran sosial (social consciousness), yakni sebuah kesadaran untuk memperlakukan orang lain secara damai dan cinta. Sebab itu, puasa mesti menjadi pesan pembumian konsep pemeliharaan (preservation) dan anti teror. Wallahua’lam

Selesaikan Bacanya!......

Puasa Yess, Konsumerisme No

Setiap tahunnya, ibadah puasa yang dilakukan di Indonesia selalu meriah dan berdampak besar bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Bagi kehidupan sosial, kesadaran sosial dan berbagi sangat menguat.

Ini diindikasikan dengan membesarnya penerimaan infaq, zakat dan shadaqah lembaga zakat. Belum lagi, di kota besar, jumlah pengemis pun semakin banyak. Jumlah pengemis yang membanyak, karena di bulan ini, orang berlomba-lomba untuk bershadaqah. Andai saja, kegemaran umat Islam berinfaq, bershadaqah dan berzakat relatif konstan, ekonomi dan kesejahteraan umat Islam pasti akan meningkat tajam dalam hitungan tahun. Namun di sisi lain, ada penyakit sosial yang meningkat, yaitu kriminalitas.
Secara ekonomi, terjadi peningkatan konsumsi masyarakat, yang berdampak kepada meningkatnya permintaan akan barang-barang. Kondisi tahunan ini biasanya ditumpangi oleh perilaku tak terpuji spekulan, menimbun barang dan melakukan tindakan pemalsuan barang. Terjadilah kenaikan harga dan gairah di berbagai pusat perbelanjaan.
Secara politik, bulan puasa biasanya ditandai dengan menurunnya tensi politik dan disertai dengan berbagai manufer politik yang mengarah kepada kerjasama antar elit dan partai politik.
Dari sisi budaya, puasa menjadi élan vital, bagi tumbuhnya berbagai budaya yang berwarna dalam masyarakat Indonesia. Ngabuburit, ngabedug, keliling kampung waktu sahur dan lain sebaginya begitu mentradisi dalam masyarakat kita.


Mewaspadai Konsumerisme
Barangkali, yang harus menjadi perhatian dan disadari kita semua adalah meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat yang cenderung mengarah pada konsumsi berlebihan atau budaya konsumeris. Bagi kaum postmodernis, konsumerisme adalah trend budaya. Dimana, penanda (icon) status sosial ditentukan oleh barang, toko, tempat belanja dan berapa harganya.
Dari sisi ilmu ekonomi, meningkatnya konsumsi menunjukkan adanya peningkatan pendapatan (kemampuan ekonomi). Ini tentu membahagiakan karena menggambarkan tingkat kesejahteraan ekonomi dan pendapatan per kapita penduduk semakin tinggi. Jangan lupa pula, Indonesia adalah negara yang pertumbuhan ekonominya sebagian besar ditopang oleh konsumsi domestik.
Namun yang harus diwaspadai adalah jika kemampuan ekonomi itu sipatnya buble (gelembung) saja yang disebabkan banyaknya tunjangan, infaq atau bantuan mengingat meningkatnya kegemaran orang kaya membantu si miskin. Lebih mengkhawatirkan lagi, jika meningkatnya daya beli itu karena ditopang oleh utang, misalnya penggunaan kartu kredit, atau pinjaman renternir. Ini mungkin terjadi karena masyarakat cenderung memaksakan diri untuk merayakan lebaran, padahal kemampuan keuangannya sedang memburuk. Perilaku ekonomi semacam itu jelas sangat membahayakan, karena mendorong lahirnya kriminalitas, korupsi dan tindakan tak terpuji lainnya.
Di sisi lain, kelompok sosial menengah ke atas ada kecenderungan untuk bermewah-mewahan. Budaya pamer kesuksesan di kampung halaman ketika mudik, seakan menjadi trend. Pusat perbelanjaan pun selalu ramai, terlebih dengan promo diskon dan berbagai upaya menggaet pembeli lainnya.
Sadar atau tidak, umat Islam yang tengah berpuasa sedang dijangkiti oleh konsumerisme. Penyakit budaya ini justru berlawanan dengan semangat berpuasa yang mendorong seorang muslim untuk sederhana, mampu menahan diri dari hawa nafsu yang negatif, dan peduli kepada sesama.
Setan mungkin diikat dan dikerangkeng Allah Swt. Tapi nafsu berbelanja berlebih menjadi syahwat tersendiri yang membahayakan. Karena itu, ibadah puasa yang dilakukan hendaknya mampu menahan budaya belanja dan perilaku ekonomi yang bermewah-mewahan.
Konsumerisme adalah fakta budaya yang tak bisa dihindari. Konsumerisme adalah sikap budaya yang menjadikan kemewahan dan konsumsi sebagai panglima. Hal ini yang diingatkan oleh Allah Swt dalam surat At-Takatsur, yang mengingatkan bahwa bermewah-mewah membawa kepada kelalaian dan mengantarkan kita masuk neraka Jahim. Jika konsumerisme dibiarkan, hanya akan membuat ibadah puasanya tak bermakna, sekedar lapar dan dahaga.
Tujuan dari ibadah puasa adalah menjadikan seorang mukmin untuk meraih ketaqwaan, sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 183. Istilah taqwa dapat diterjemahkan sebagai “kewaspadaan kepada Allah SWT”. Pada umumnya, ahli tafsir menerjemahkan term tersebut untuk beberapa pengertian seperti kepatuhan, kesalehan, keteguhan, perilaku baik, penjagaan diri dari kejahatan, takut kepada Allah SWT, dan kesadaran akan adanya Allah SWT. Dalam masyarakat sendiri, taqwa diartikan sebagai sikap menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya.
Kata taqwa sendiri berarti “melindungi, berjaga-jaga, berhati-hati dan waspada. Jelasnya ia merupakan sebuah sikap yang melambangkan setiap kebaikan manusia, dan dalam konteks al-Qur’an kebaikan tersebut mestilah ditujukan kepada Allah SWT. Sebagaimana Allah menyatakan, manusia yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa (QS 49: 13).
Patut dicatat di sini, ketaqwaan adalah sebuah sikap mental, dan buah ketaqwaan dapat dirasakan melalui setiap amal perbuatan. Taqwa harus dipahami lebih sebagai kata kerja, bukan kata benda. Maksudnya, taqwa tidak dapat dipahami dalam konteks identitas individu maupun kelompok yang merupakan identitas sosial keagamaan. Ketaqwaan dapat diraih oleh setiap muslim yang melakukan amal ibadah secara sempurna dan penuh keikhlasan. Ketaqwaan tidak identik dengan kiai. ulama, ustadz, orang tua dan semua kedudukan sosial yang berbau kesalehan. Ketaqwaan tidak pula identik dengan seorang muslim yang memiliki gelar haji atau hajjah. Sekali lagi harus ditekankan bahwa ketaqwaan adalah hasil bagi setiap muslim yang secara sungguh-sungguh beribadah kepada Allah dengan ilmu dan keikhlasannya.
Puasa juga mengandung nilai dan sikap meneladani sifat-sifat Allah. Walau tidak selama 24 jam, umat Islam dilatih untuk tidak makan dan minum, serta tidak berhubungan badan. Demikian halnya dalam praktik totalitasnya, seseorang yang tengah berpuasa harus meningkatkan perilaku kesehariannya sebagai pribadi yang berakhlaq baik.
Dengan demikian, ironi kalau ibadah puasa yang dilakukan dicemari dengan budaya konsumerisme yang sangat bertentangan dengan nilai dasar Islam yang melarang perilaku berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. Tentu saja, berbelanja untuk kebutuhan yang sifatnya dasar, primer (dharuriyat), sekunder (haaziyat), bahkan yang sifatnya memperindah diri, tersier (tahsiniyat), adalah kebolehan selama tidak berlebihan atau merugikan orang lain. Jika pun berbelanja, cukupi kebutuhan diri dan keluarga serta berbagilah untuk yang membutuhkan.
Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga berbagai upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi selama berpuasa melatih dan menyadarkan kita arti penting berbagi dan peduli sehingga mencapai target utama puasa yaitu menjadi manusia paripurna (taqwa).
Selesaikan Bacanya!......

Yang Terbaik

Benarkah kita gagal ketika rencana yang telah ditetapkan tidak tercapai? Dalam sudut pandang sebagai manusia yang memiliki keinginan, mungkin ia. Sesal, kecewa, sedih dan marah bercampuraduk.


Sadari dan tanamkan dalam hati dan pikiran, dibalik sesuatu yang dinilai gagal itu sesungguhnya ada hikmah. Bukankah yang terbaik selalu diminta kepada Allah Swt. Allah Yang Maha Rahman dan Rahim selalu memberi yang terbaik, bukan yang selalu diinginkan. Ilustrasinya, sebagai orang tua, apakah kita akan memberikan pisau kepada anak terkasih, sementara pisau itu akan digunakan untuk gagah-gagahan atau menakuti orang lain? Tidak kan. Apakah itu artinya tidak memenuhi keinginan anak? Kita memberikan yang terbaik untuk anak, bukan memenuhi keinginan anak. Faktanya, keinginan dan yang terbaik itu ada kalanya sama, ada saat berbeda. Di sini lah maksud dari firmannya dalam QS Al-Mu'min (40): 60:”Berdo’alah kepada ku, maka akan aku menerima doa kalian.”
Allah Swt pasti akan memenuhi doa, baik langsung atau tidak langsung dan memberikan yang terbaik bagi makhluk-Nya, bukan karena keinginan makhluk-Nya. Karena keinginan itu belum tentu sesuai dengan kadar, kemampuan atau kondisi terbaik makhluk-Nya.
Ini lah yang dimaksud takdir. Secara etimologis, takdir (taqdir) berasal dari kata qaddara. Akar katanya adalah qadara yang diartikan ukuran, memberi kadar atau mengukur. Dengan demikian, sebagai pencipta (khaliq), Allah Yang Maha Kuasa telah menetapkan ukuran, batas tertentu dalam ciptaan-Nya. Seperti produsen yang tahu betul kualitas produk yang dipasarkannya.
Dalam al-Qur’an al-Karim, ada banyak ayat yang berbicara tentang takdir, antara lain dalam QS Al-Furqan (25): 2, Ya Sin (36): 38-39, Al-Shaffat (37): 96, Al-A’la (87): 1-3, dan seterusnya. Dalam QS Al-A’la (87): 1-3 disebutkan: “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi; Yang menciptkan semua makhluk dan menyempurnakannya; Yang memberi takdir kemudian mengarahkannya.”
Keyakinan akan takdir bukan berarti membuat kita pasrah apalagi putus asa. Putus asa sangat dibenci Allah Swt. Allah Yang Maha Kuasa hanya menetapkan batas kemampuan dan ukuran makhluknya saja. Berusaha keras sampai darah tinggal satu aliran, nafas satu helaan adalah wajib hukumnya. Setelah seluruh daya upaya terbaik dilakukan, bertawakal dan memohonlah kepada Allah Swt yang terbaik. Terimalah dengan senyum apapun hasilnya, berusaha keraslah untuk meraihnya kembali jika dianggap masih belum maksimal. Jangan-jangan karena strategi, situasi dan kondisi yang belum pas. Bukankah dalam banyak hal, kita tidak tahu dimana batas kemampuan? Sementara kemampuan itu tumbuh seiring dengan bertambahnya pengalaman, ilmu dan kapasitas diri. Yang hari ini tidak mampu dilakukan, mungkin esok bisa.
Bersabar, pantang menyerah dan tawakal lah atas semua proses yang dijalani. Ini lah hidup, berbuatlah yang terbaik dan bermanfaat bagi diri, manusia dan lingkungan sekitar. Yakinlah, dengan berbagi dan bermanfaat bagi seluruh makhluk, Allah Yang Maha Rahman dan Rahim memberi kita yang terbaik. Wallahu’alam
Selesaikan Bacanya!......

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.