Senin, 22 Juni 2009

Kejujuran Dalam Berbisnis

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang; (yaitu) orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi;
dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka
mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam”
(Al Muthaffifin [83]: 1-6).


Ayat di atas mengajarkan makna kejujuran dan dampak dari kecurangan. Tentu saja, bukan hanya Islam, agama lain dan etika bisnis modern menjadikan kejujuran sebagai prinsip dasarnya.
Sedari awal, Allah Swt sudah memperingatkan bahwa manusia memiliki sifat ingin menguntungkan diri sendiri. Dengan demikian, sedari awal Allah Swt sudah memperingatkan jika kecurangan bukan hanya mungkin dilakukan pedagang, pembeli pun bisa melakukannya. Pengertian pedagang dan pembeli pun bukan sekedar dalam pengertian umum, sebagaimana dipahami. Lebih dari itu, dimaknai juga dalam pengertian pelayanan di birokrasi, pelayanan publik atau interaksi mualamah lainnya. Dimana, ada pihak yang dilayani dan melayani. Ketika terjadi kecurangan, ada yang dirugikan ada yang diuntungkan. Islam jelas dan tegas melarang hal itu terjadi.
Bahkan, melalui ayat tersebut, Allah Swt telah memperingatkan bahwa perilaku curang itu akan membawa kepada kecelakaan. Bukan hanya kecelakaan di dunia, tapi juga di akhirat.
Di dunia bsinis, reputasi yang buruk akibat sikap tidak jujur akan membuat orang kehilangan kepercayaan (trust). Padahal, kepercayaan dan imej adalah kunci dalam bisnis saat ini. Marak dan pesatnya bisnis media cetak dan elektronik serta jasa periklanan adalah satu satu buktinya. Imej atau kesan konsumen atas suatu produk menjadi kunci bagaimana produk itu diterima oleh konsumen. Ini juga menyangkut kepercayaan. Jika kejujuran sudah tiada, kepercayaan sudah tiada, maka kerusakan datang bak banjir bandang. Naudzubillah.
Banyak contohnya bagaimana suatu produk yang sedang booming, laku keras, hanya karena isu tertentu, langsung anjlok penjualannya. Bahkan, soal kepercayaan ini, jasa periklanan menjadikannya sebagai tujuan. Sayang, umat Islam tidak bisa menangkapnya dengan cepat maksud lain dari ayat tersebut. Jadi, bukan sekedar kejujuran, namun mampu mengemas kejujuran sebagai suatu jasa yang mampu menggerakkan ekonomi. Mudharabah, musyarakah, wakalah dan kegiatan bermualah lainnya harus didasarkan pada kejujuran. Jadi, kejujuran bukan hanya sebagai sifat, nilai dasar yang harus dimiliki, namun saat ini menjadi kebutuhan dan sifatnya telah menjadi kebutuhan bisnis global di seluruh sektor. Bukankah krisis keuangan di Amerika Serikat yang dampaknya terasa ke Indonesia juga gara-gara hilangnya kejujuran?
Selain kejujuran, hal lain yang membedakan dengan etika bisnis umum adalah adanya janji hari pembalasan. Tentu saja, bagi manusia sekuler atau yang tak yakin adanya kiamat dan hari pembalasan, itu semua hanyalah omong kosong. Namun jika kita lihat, konsep hari pembalasan ada dalam setiap konsep agama-agama besar di dunia ini.
Secara logika, hari pembalasan itu wajib ada, karena mengandung prinsip kausalitas, sebab akibat. Jika kaum sekuler tidak percaya hari pembalasan, mereka lucu, karena hari pembalasan itu niscaya, sebagai bentuk keadilan.
Saya kira, dengan kondisi ekonomi umat yang masih terpuruk secara sosial ekonomi, menengok ulang nilai-nilai Islam dalam praktik bisnis adalah kebutuhan. Secara praktis, bagi seorang muslim, berbisnis harus melandaskan pada kejujuran sehingga aktivitas ekonomi tidak hanya mengarah pada hasil duniawi semata. Di dalam bisnis, terdapat sejumlah usaha untuk mendapatkan keuntungan.
Sebagai muslim, mestinya kita memberikan sumbangsih bagi kemajuan ekonomi umat. Pertama, memperkokoh aspek keislaman sehingga memberikan pondasi
yang kuat untuk membangun integritas moral bagi para pelaku bisnis (karyawan, pengusaha, kaum profesional). Misalnya, dalam setiap praktik bisnis mesti dipenuhi dengan kejujuran, kesederhanaan, dan menjunjung tinggi etika kebenaran. Itulah integritas yang harus di miliki seorang pebisnis muslim.
Kedua, mampu mengembangkan etos kerja yang berorientasi pada kemajuan dan keunggulan kinerja (excellent performance). Pada posisi ini, spiritualitas mestinya mampu dijadikan driving force (kekuatan pendorong) yang kuat untuk menancapkan motivasi dan etos kerja yang selalu mengacu pada prestasi terbaik. Sebuah niat suci untuk selalu menganggap pekerjaan kita sebagai sebuah ibadah dan bentuk pengabdian kita pada Allah Swt.
Ketika kita bekerja di kantor dengan asal-asalan, atau ketika hanya mampu menciptakan pelayanan yang amburadul dan membikin para pelanggan jera dengannya, mestinya kita menanggap ini semua sebagai "dosa" dan merasa malu kepada-Nya.
Sebaliknya, ketika kita selalu bisa mempersembahkan kinerja yang istimewa, atau ketika kita mampu mengagas dan melaksanakan ide-ide kreatif untuk memajukan perusahaan, mestinya tidak melulu didasari keinginan untuk naik pangkat, atau mendapat bonus yang besar, melainkan dilatari oleh niat suci untuk beribadah. Sebuah niat yang didorong oleh kehendak untuk mengabdi dan memuliakan-Nya.
Ketiga, kita mesti mampu membangun apa yang disebut dengan learning organization. Sebab, hampir semua agama mendorong umatnya untuk terus belajar dan menuntut ilmu. Dalam Islam misalnya, ayat pertama yang diturunkan berbunyi iqra' (artinya, bacalah!): merupakan simbolisasi yang menekankan pentingnya proses belajar dan menuntut ilmu bagi kemajuan peradaban manusia. Dengan demikian, upaya membangun “learning culture” di bidang bisnis, adalah upaya mendorong para karyawan untuk terus merengkuh ilmu.
Islam mengajarkan kepemilikan mutlak ada di tangan Allah. Allah menganugerahkan sumber daya alam agar manusia bisa mendayagunakannya. Kerja merupakan unsur utama produksi untuk memenuhi hak hidup, hak keluarga, dan masyarakat guna
mendorong fungsi produksi dalam mengoptimalkan sumberdaya insani. Wallahuálam

Selesaikan Bacanya!......

Senin, 08 Juni 2009

Mengenal Tarekat

Salah satu fenomena keberagamaan yang menarik adalah berkembangnya tarekat di kalangan umat Islam. Bahkan, pengaruhnya sangat kuat. Para politisi pun rela antri datang untuk menjadi murid dan meminta restu. Sebut saja, Habib Luthfi Bin Yahya, sosok ulama kharimatik di Pekalongan, sosok tokoh tarekat yang jumlah muridnya ratusan ribu.
Sebenarnya apa sih tarekat itu? Istilah “tarekat” (thariqah atau al-thariq) secara harfiah berarti “jalan” atau jalur yang ditempuh dengan berjalan kaki. Dari pengertian ini kemudian kata tersebut dipergunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan pekerjaan, baik terpuji maupun tercela (Shihab, 2001: 171).
Dalam terminologi tasawuf, tarekat adalah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju ke hadapan Allah SWT. Perjalanannya mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya. Sufi yang tengah melakukan perjalanan disebut pengembara (salik). Dari sini kita dapat mengambil pengertian bahwa tarekat adalah perjalanan para salik yang melangkah untuk membuka hijab dan mendekati realitas ruhaniah (Ali Kianfar dalam Zauqi Shah (ed), 2002: 84). Tarekat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syarat, karena jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq. Salik melakukan perjalanan spiritual melalui tahapan spiritual (maqam) tertentu setelah melalui jalan (thariq), guna mencapai tujuan bersatu dengan-Nya.
Tarekat juga dalam tasawuf adalah hal penting sehingga disebut ilmu suluk. Tarekat itu pada dasarnya tak terbatas jumlahnya, karena setiap “salik” semestinya harus mencari dan merintis jalan (thariq)-nya sendiri, sesuai dengan bakat dan kemampuan atau pun tarap kebersihan hati mereka. Kaum sufi percaya, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama (syari’ah). Sedang jalan lain (thariqah) merupakan cabang yang lebih sempit dan lebih sulit dijalani salik (Schimmel, 2000: 123).
Dalam perjalanan spiritual ini, salik akan melalui maqam dan hal. Maqam adalah suatu taraf yang berlangsung terus yang dicapai oleh manusia berkat usahanya sendiri (Schimmel, 2000: 125). Ia adalah hasil dari usaha riyadlah dan mujahadah para salik. Sedangkan hal adalah keadaan spiritual yang turun dari Tuhan ke hati manusia, tanpa dapat ditolak kedatangannya atau dicegah kepergiannya, dengan usahanya sendiri (Schimmel, 2000: 124). Hal merupakan karunia dari-Nya. Di setiap maqam dan hal inilah salik menyingkap (mukasyafah) hijab yang ada di dsalam dirinya. Jika di dalam tasawuf kita kenal ada proses penyingkapan Tuhan, itu terjadi karena salik sudah sampai pada maqam tertinggi, sehingga hijab-hijab yang menghalanginya telah tiada dan ia pun suci.
Meski tarekat beragama jalannya tak terhingga, namun nampaknya secara umum jalan ruhaniah itu dapat diringkas jadi tiga tahap, yaitu: pertama, penyucian hati. Pada penyucian hati, salik harus melakukan dua hal: mawas diri dan menguasai atau mengendalikan nafsu-nafsu. Kemudian, membersihkan hati dari ikatan pengaruh keduniawian (Simuh, 1997: 47).
Kedua, konsentrasi untuk ber-dzikir pada Allah. Pada tahapan ini, kaum sufi tidak memberikan satu detik pun hatinya untuk lalai dari Allah. Bagi kaum sufi, dosa adalah lalai dari usaha ber-dzikir pada Allah. Ada banyak metode yang digunakan kaum sufi dalam ber-dzikir.
Ketiga, fanna’ fillah. Pada tahap ini, kaum sufi telah sampai pada puncak spiritual tertinggi. Di sinilah terdapat perbedaan tajam antara para sufi yang cenderung falsafi dengan yang cenderung “akhlaqi”. Bagi yang menganut faham kesatuan Tuhan (wihdatul wujud), mereka bisa mengalami syukr (mabuk) dan fana’ sehingga ketika berucap mereka sering ber-syathahat. Mereka pun percaya bahwa Tuhan itu ada pada diri manusia, sehingga Tuhan itu immanen sekaligus transenden.
Bagi yang cenderung akhlaqi, kesatuan dengan Tuhan tidak berarti kita bersatu dengan-Nya, tapi merasa Dia bersama kita, sehingga seluruh perilaku kita adalah perilaku-Nya. Tarekat selain dilihat sebagai jalan spiritual, juga mengandung arti sebagai kesatuan persaudaraan kesufian (sufi brother hood) (Madjid, 1995: 110).
Sebagaimana dijelaskan di atas, tarekat adalah jalan spiritual, berarti tarekat adalah bentuk pengalaman individual. Namun, dari pengalaman individu itu kemudian seseorang mengalami publikasi dan itu dialami banyak orang sehingga yang semulanya privacy jadi milik publik. Dari segi sosial dapat kita temukan bahwa tarekat berarti persaudaraan kesufian. Segi sosial tarekat, lahir dari kewajiban dan rasa tanggung jawab untuk mengajar dan membimbing umat. Maka, kita mengenal ada istilah pembimbing spiritual (mursyid) dan salik (murid). Alasan menggunakan mursyid, karena diyakini perjalanan spiritual itu penuh dengan halangan dan godaan, sementara salik baru masuk ke dalam alam spiritual. Maka ia perlu pembimbing yang telah mengetahui dan mengalami jalan ruhani.
Tarekat kemudian berkembang jadi persaudaraan kesufian yang berkembang luas. Secara historis pertumbuhan tarekat sudah dimulai sejak abad ke-3 dan ke-4, seperti al-Malamatiyah yang didirikan Ahmadun Al-Qashar, atau Ta’rifiyah yang mengacu pada Abu Yazid al-Busthami, atau pun al-Khazzajiyah yang mengacu pada Abu Dzaid al-Khazzaz, tarekat-tarekat tersebut dan semacamnya masih dalam bentuk yang amat sederhana dan bersahaja.
Perkembangan dan kemajuan tarekat justru terjadi pada abad ke-6 dan ke-7 H, dan yang pertama kali mendirikan tarekat pada periode tersebut adalah Syeikh Abdul Qadir al-Jailani pada awal abad ke-6 H, kemudian menyusul tarekat-tarekat lainnya. Semua tarekat yang berekembang dalam periode ini merupakan kesinambungan tasawuf Sunni al-Ghazali dan dengan berdirinya berbagai tarekat tasawuf Sunni mengalami tahap perkembangan baru hingga kini (Alwi Shihab, 2001: 172).
Dari pelacakan historis di atas, kita dapat membagi fase historis tahapan perkembangan tarekat ke dalam tiga fase yaitu: pertama, tahap khanqah (pusat pertemuan sufi), di mana syaikh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat. Hal ini berbeda dengan tahap selanjutnya yaitu: tahap thariqah, yakni pada tahap ini, tasawuf sudah membentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode yang sangat ekslusif.
Selanjutnya adalah tahap tha’ifah, di mana pada fase ini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Tarekat berkembang pesat hingga belahan dunia yang lainnya, pemujaan kepada syaikh jadi kebiasaan. Tasawuf pada fase ini mengambil bentuk kerakyatan. Sehingga pada fase ini, tarekat memiliki makna lain yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syaikh tertentu (Nasution, 1998: 366-367).
Proses perjalanan ruhaniah yang dilakukan di dalam tarekat dimulai dengan pengambilan “bai’at” (sumpah) dari murid (salik) di hadapan syaikh setelah murid menjalani penyucian diri. Setelah mencapai tahapan sempurna, murid akan memperoleh “ijazah” dari mursyid dan setelah itu salik biasanya berhak menjadi mursyid. Dalam tarekat ada tiga ciri umum yaitu: syaikh, murid dan bai’at (Shihab, 20001: 172).
Ototritas mutlak mursyid dalam masalah-masalah spiritual maupun material terhadap murid-muridnya adalah salah satu ciri khas tarekat. Sehingga, dalam tarekat, mursyid lah yang membai’at muridnya. Akibatnya, muncul kultus individu atau “idiolatri” atas mursyid oleh para muridnya. Karena sifatnya yang teratur dan ekslusif serta ajarannya yang khas, tarekat kemudian jadi pseudo religion atau agama dengan struktur ide-ide, praktik-praktik dan organisasinya sendiri yang ekslusif (Rahman, 1984: 217).
Di Indonesia sendiri dikenal beberapa tarekat yang memiliki keterkaitan dengan tarekat yang berasal dari luar Indonesia atau pun tarekat yang lokal. Di antaranya tarekat Qodariyah, Naqsabandiyah, Wahidiyah, Shiddiqiyah, Syahadatain, Tijaniyah, Sanusiyah (Shihab, 2001: 174-175).
Semua yang berkembang itu adalah pendekatan keagamaan. Maka, biarkan lah itu berkembang menjadi pendekatan. Tak harus saling mengakimi siapa yang benar, yakini saja apa yang diyakini, amalkan sebaik mungkin, selesai. Karena kita pun tak tahu, mana yang lebih benar. Wallahu'alam

Selesaikan Bacanya!......

Demokrasi Lahan Subur Tumbuhnya Ekonomi Kreatif

Ekonomi kreatif hanya mungkin tumbuh dalam sistem politik dan masyarakat yang mengakui kebebasan berekspresi. Demokrasi, kalau dipercaya sebagai jalan politik yang mengakui kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai hak asasi, adalah ladang subur semaian ekonomi kreatif.

Lebih lanjut, perlindungan hak kekayaan intelektual menjadi faktor penting yang dibutuhkan untuk merawat tumbuh suburnya ekonomi yang berbasis budaya (baca: ide) tersebut. Kalau pra syarat tersebut tak terpenuhi, yang ada adalah pemalsuan-pemalsuan karya dan kekayaan intelektual seseorang, bukan orisinalitas karya yang lahir. Perlindungannya bukan hanya di level nasional, tapi internasional.
Mengapa perlindungan hak kekayaan intelektual penting? Karena ekonomi kreatif lahir dari gagasan atau ide kreatif banyak orang. Jika tidak dilakukan perlindungan akan menimbulkan sengketa hukum dan sikap prustasi dari manusia-manusia kreatif karena merasa karyanya tak dihargai.
Sebagai negara yang kaya budaya, Indonesia memiliki rekam jejak yang potensial dalam membangun ekonomi kreatif. Karena berekonomi sama artinya dengan menjaga tradisi leluhur, warisan orang tua yang harus dipelihara. Sebagaimana kita temukan dalam ekonomi lokal batik, sepatu Cibaduyut dan karya ekonomi berbasis budaya lokal lainnya..
Meski dengan basis budaya pop dan modern, kelahiran berbagai sektor industri kreatif seperti animasi, komik dan lainnya di Indonesia harus diapresiasi sebagai sentuhan baru dalam ekonomi kreatif. Fakta ini tak bisa ditolak seiring dengan semakin canggihnya teknologi.
Bagi saya, karya ekonomi berbasis budaya lokal yang sifatnya turun temurun dan yang lahir dari tangan anak muda kreatif dengan basis teknologi canggih tak harus dipertentangkan. Walaupun tidak ada garis batas yang jelas, pada dasarnya kreativitas yang muncul dapat dipisah menjadi dua hal pokok, yakni kreativitas berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge based) dan kreativitas berbasis seni (artistic based).
Menurut Departemen Perdagangan, tahun 2006, sekitar 1,5 juta usaha kecil dan menengah kreatif Indonesia menyerap 4,5 juta tenaga kerja dan menyumbang 7.8 persen terhadap PDB. Fakta ini menunjukkan betapa akan membesarnya ekonomi kreatif jika dikelola dengan baik melalu kebijakan yang tepat.
Agar memilik nilai lebih (added value), terpasarkan dengan baik, menyerap tenaga kerja dengan sangat besar, menghasilkan pendapatan bagi negara dari pajak dan retribusi serta memberi multiplayer effect bagi masyarakat sekitar lah, perlu dilakukan industrialisasi atas ekonomi kreatif. Itu lah yang disebut industri kreatif. Kalau proses industrialisasi dilakukan, suntikan modal mutlak dilakukan karena umumnya sektor ini masih merupakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sektor ini mampu bertahan karena dirasa menjadi bagian dari hidup, warisan orang tua yang harus dijaga. Jangan aneh jika banyak sekali sektor usaha ekonomi kreatif di daerah yang tidak disentuh kebijakan pemerintah, akhirnya mati.

Membangun Manusia Kreatif
Di atas itu semua, faktor manusia sebagai produsen ide kreatif lah yang menjadi panglima tumbuh atau tidaknya industri kreatif. Menurut hemat saya, kreativitas adalah landasan setiap industri apa pun. Apabila kita telaah, pergeseran yang terjadi secara global dari era agro, industri, informasi, dan sekarang era ekonomi kreatif terlihat adanya pergeseran dunia ke suatu parameter yang lebih mendasar secara vertikal dan bukan sekadar menciptakan sektor baru.
Perusahaan air kemas mineral umpamanya, memerlukan sumber daya kreatif
karena tidak bisa melepaskan diri dari perkembangan teknologi informasi. Perusahaan ini harus merekrut tenaga kerja kreatif agar apa yang diproduksinya laku di pasaran. Jadilah industri jasa iklan tumbuh besar. Tim kreatif suatu perusahaan menjadi penentu hidup atau tidaknya perusahaan itu. Terjadilah pergeseran ke konsep human capital. Dimana, karyawan pun dinilai sebagai aset berharga, bukan sekedar bagian dari faktor produksi yang sama dengan mesin, modal dan lahan.

Membangun Kota Kreatif

Kita punya Bali yang menjadi tujuan wisata internasional. Dalam berbagai perjalan saya ke berbagai kota di Indonesia dan negara lain, industri kreatif menjadi pilihan dan tumbuh subur ketika pariwisata menjadi primadona.
Di Bandung misalnya, kita akan melihat pertumbuhan industri kreatif ini seperti home industry, percetakan, penerbitan, factory outlet, distro, dan sektor yang memanfaatkan jasa. Bandung dan Jawa Barat, umumnya Indonesia, berpotensi menjadi tempat industri kreatif besar di dunia berkat kekayaan alam, keragaman budaya, serta kemampuan manufaktur dan home industri.
Tidaklah mengherankan apabila Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia yang pernah menjuarai beberapa kali ajang bergengsi British Council International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Award di Inggris. Yang menarik disimak, wakil nasional untuk IYCE Design Award (arsitek Ridwan Kamil dan pemimpin komunitas kreatif Gustaff Iskandar tahun 2006 dan 2007) berasal dari Bandung. Pada tahun 2008 juga, tercatat beberapa wakil yang berasal dari daerah Bandung (Irfan Amalee).
Jadi, tidaklah salah kalau saya menyebut Bandung sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia yang akan menjadi penggerak sektor ekonomi kreatif. Seperti yang pernah dibibicarakan Jacoeb Oetama, ketika seseorang bergelut di industri dan ekonomi kreatif, dia tidak akan merasa resah dari pemutusan hubungan kerja. Selama masih memiliki otak dan pikiran, selama itu pula dia akan bertahan di dunia kerja.
Sebab, industri kreatif mengandalkan ide dan gagasan kreatif yang akan lahir selama seseorang mampu menelurkan gagasan-gagasan kreatif dan imajinatif.
Bahkan teman saya – lebih tepatnya kader saya semasa aktif di organisasi kemahasiswaan – setelah selesai kuliah menggantungkan hidupnya dari aktivitas jula-beli gagasan kreatif. Dengan menjadi tenaga lepas di sebuah penerbitan dan kadang menulis buku Agama popular, ia sudah mampu menghidupi dirinya. Ia telah menjadi warga yang mandiri disebabkan memiliki gagasan kreatif. Meskipun secara formal dia tidak terikat oleh sebuah perusahaan atau tidak menjadi pekerja formal di salah satu industri, toh dapat menghasilkan uang dari atraksi kreativitas yang memukau. Wallahua’lam



Selesaikan Bacanya!......

Pengelola

Foto saya
Pewarta di Jawa Pos Group, staf pengajar filsafat di UIN Bandung, dan Aktivis di Muhammadiyah. Asli urang Sukabumi dan menyelesaikan studi S2 Ekonomi Syariah di Universitas Indonesia (UI) tahun 2010. Alumni Jurusan Aqidah Filsafat UIN Bandung ini yakin bahwa berbagi kasih adalah misi suci setiap agama di muka bumi. Berbagi tidak mengurangi milik kita, tapi akan menambahkannya, sebagaimana janji-Nya.